Perempuan dan Anak Semakin Terlibat Aksi Teror

News

by Akhmad Kusairi

Deputi Kerjasama Internasional Badan Nasional Terorisme (BNPT) Andhika Chrisnayudhanto mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini trend pelibatan perempuan dan anak-anak semakin meningkat. Menurutnya, pelibatan perempuan dan anak-anak tersebut tidak terjadi di jaman Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah.

“Trend terorisme pelaku perempuan ini meningkat. Anak juga dilibatkan dalam aksi terorisme. Contoh kasus (Bom) Surabaya satu keluarga diajak aksi terorisme. Di jaman JI perempuan dan anak-anak tidak diajak,” kata Andhika dalam diskusi yang diadakan oleh BNPT secara live melalui Instagram pada Kamis (15/4/2021).

Lebih lanjut, Andhika mengutip laporan IPAC yang menyatakan bahwa pada masa sebelum ISIS, Densus 88 Anti Teror Mabes Polri hanya menangkap empat orang perempuan. Namun sejak jaman ISIS mulai rentang waktu tahun 2015 sampe 2019 Densus menangkap 32 perempuan. Dalam konteks global, berdasarkan data yang dia kumpulkan, orang-orang yang bepergian ke daerah konflik seperti Suriah, Irak, Afghanistan maupun Filiphina itu berasal dari 80 negara. Sebanyak 12 persen diantaranya adalah perempuan, dan 13 persennya adalah anak-anak. Angka ini sangat signifikan.

“Sekarang ini Perempuan bukan hanya supporter. Tapi juga menjadi pelaku. Karena itu perlu gender perspektif, bagaimana peran mereka, ini juga banyak beragam, aspek perempuan. Kebetulan ISIS mendorong dan menerima peran perempuan sebagai pelaku,” imbuh Andhika.

Trend selanjutnya, menurut Andhika, adalah pelaku terorisme berumur di bawah 30 tahun. "Youth menjadi sasaran propaganda terorisme,” ujarnya.

Andhika menjelaskan bahwa penyebab utama yang menjadi bibit terorisme adalah daerah-daerah yang ada konflik sektariannya. Hal itu terlihat dari sepuluh besar negara yang berada di global terorisme Indeks.  Misalnya yang terjadi di Suriah diawali dari perang sipil. Begitu juga yang terjadi di Filiphina Selatan dan Afghanistan.

“Tapi bukan berarti negara maju, seperti Amerika, Inggris dan Perancis tidak ada serangan terorisme. Bahkan secara peringkat mereka lebih baik dari Indonesia. Karena itu untuk mempertahankan itu jangan sampai kejadian lagi," jelas Andhika. Menurutnya, kerja keras Densus 88 sudah baik dalam mengurangi terorisme di Indonesia. "Sekarang ini dampaknya tidak sebesar Bom Bali lalu. Kita pernah menurun 7 peringkat. Kita naik lagi, karena tidak ada kejadian seperti di Surabaya,” tambahnya.

Sebagai upaya pencegahan, Andhika mengungkapkan bahwa pihaknya melibatkan masyarakat sipil  agar orang Indonesia tidak pergi ke daerah konflik seperti Suriah. Salah satu caranya adalah dengan melibatkan korban yang pernah pergi ke Suriah. “Bagaimana agar teman-teman di tanah air agar tidak ke sana. Kita sharing tentang pengalaman pelaku, bagaimana mereka ketika sampe sana tidak sama dengan yang dijanjikan. Dijanjikan kerjaaan tidak dapat. Dijanjikan hidup enak tidak dapat. Intinya mereka dibohongi, ini metode yag baik,” pungkasnya

Komentar

Tulis Komentar