Sinergitas Memutus Mata Rantai Terorisme

News

by Eka Setiawan

Perekrutan terhadap mantan narapidana terorisme (mantan napiter) oleh kelompok lamanya agar kembali bergabung di “jalan kekerasan” terus dilakukan. Perlu upaya-upaya tepat untuk memutus mata rantai terorisme dengan fenomena seperti itu.

Di Jawa Tengah, muncul sinergitas untuk upaya pencegahan itu. Negara dan masyarakat tak terkecuali para mantan napiter bersinergi. Seperti yang dilakukan Idensos Mabes Polri Satgaswil Jawa Tengah bersinergi dengan Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani), Kreasi Prasasti Perdamaian hingga Rumah Pancasila dan Klinik Hukum.

“Ketika ada napiter bebas penjara, jaringan lama tetap berusaha merekrutnya kembali. Bahkan sejak dalam penjara atau lapas, upaya itu sudah terjadi, ini yang perlu dihentikan. Propaganda (kelompok teror) terus terjadi, misalnya ada pemakaman (tersangka terorisme), di situ dikibarkan bendera ISIS, ini propaganda yang harus dilawan,” kata Ketua Yayasan Persadani Machmudi Hariono alias Yusuf, Selasa 7 Juli 2020.

Yayasan Persadani sendiri dibentuk Maret 2020 lalu, diketuai Yusuf yang merupakan mantan napiter, pengurusnya juga para mantan napiter yang tinggal di Kota Semarang: Badawi Rachman, Harry Setya Rachmadi, Sri Pujimulyo Siswanto, Nur Afifudin dan Wawan Supriyatin. Anggotanya kini lebih dari 20 orang, yang juga para mantan napiter, tinggal di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) yang berkantor di Jakarta pimpinan Noor Huda Ismail seorang aktivis kemanusiaan, juga bersinergi. Ruangobrol.id adalah salah satu produk dari KPP itu. Membuat terobosan-terobosan kreatif untuk upaya-upaya kontra radikal bermuara pada perdamaian.

Sementara Rumah Pancasila dan Klinik Hukum yang berkantor di Kota Semarang, di bawah pimpinan Yosep Parera advokat senior di Kota Semarang, juga lembaga yang dibentuk untuk ikut andil dalam isu-isu sosial termasuk memberi bantuan hukum gratis ke masyarakat luas.  

Sesuai perannya masing-masing mereka bersinergi untuk tujuan yang sama; perdamaian.

“Kerjasama seperti ini perlu dilakukan. Kami di Yayasan Persadani, buka jalur dulu, membesuk dan nantinya membesuk napiter yang bebas penjara, tujuannya agar tidak kembali ke kelompok lamanya,” lanjut Yusuf, bapak 3 anak ini.

Yusuf percaya, komunikasi yang sudah terjalin di awal bisa jadi langkah tepat untuk mantan napiter melangkah nantinya: apakah akan kembali ke kelompok lama atau bergabung dengan komunitas baru meninggalkan kelompok lamanya.

“Ini kemudian berkesinambungan, kerjasama dengan KPP, Rumah Pancasila dan ada Idensos, termasuk ke RT/RW atau kelurahan, kegiatan-kegiatan yang baru dilakukan, bisa ikut bisnis atau kegiatan lainnya, supaya tidak lagi terbayang-bayang ingin kembali (ke kelompok lamanya),” tambah Yusuf.

Noor Huda Ismail sendiri selaku pimpinan di Kreasi Prasasti Perdamaian, menyebut perlu cara-cara dan terobosan kreatif untuk menyelesaikan persoalan ini.

"Tidak ada orang yang lahir jadi teroris, tetapi ada proses, ini perlu digali untuk kemudian cari solusinya bersama. Negara yang pro aktif memberi kesempatan, ini lebih produktif daripada terus-menerus mengawasi, berikan ruang bagi mereka untuk bersama-sama membangun," kata Noor Huda yang juga founder ruangobrol.id ini.

Kanit Idensos Mabes Polri Satgaswil Jawa Tengah sendiri percaya, sinergitas yang dibangun seperti ini akan menciptakan kebaikan bersama. Pihaknya mensupport dan memotivasi termasuk mengkoordinasikan dengan pemangku kepentingan lainnya dari pemerintahan.

Di Jawa Tengah sendiri, saat ini ada sekira 145 orang mantan napiter, sementara napiter yang ditahan di Jawa Tengah, terbanyak di Nusakambangan ada sekira 223 orang, juga tersebar di beberapa lapas mulai dari Lapas Sragen, Klaten, di Solo, Lapas Semarang, Kendal hingga Tegal.

Dengan jumlah itu, tentu dibutuhkan sinergi bersama-sama mencari solusi agar residivisme tidak lagi terjadi. Mereka sudah melakukan berbagai kegiatan bersama, mengadakan pertemuan dengan pihak RT, RW, Lurah atau Desa, berkomunikasi dengan pemangku kepentingan lainnya hingga langsung berkunjung ke para mantan napiter untuk menjalin komunikasi sekaligus mencoba mencari solusi apa saja persoalan yang masih mereka hadapi saat ini, khususnya pasca bebas penjara.

Pendiri Rumah Pancasila dan Klinik Hukum, Yosep Parera, menyebut residivisme khususnya kasus terorisme terjadi karena masyarakat dan negara kurang memberi perhatian. Para mantan napiter ini dibiarkan kesepian, tidak ada komunikasi dan uluran tangan, ketika mereka mendapatkan itu dari kelompok lamanya akhirnya terjerumus lagi.

“Mereka adalah orang-orang yang sakit hati, kurang diberikan perhatian. Kita perlu mendengar apa yang mereka rasakan, yang mereka mau seperti apa, bukan dikumpulkan terus diceramahi,” tandasnya.

 

FOTO

Kegiatan bersama Ketua Yayasan Persadani Machmudi Hariono (tengah) di sekretariat Yayasan Persadani, di Kota Semarang, Kamis 2 Juli 2020 lalu.

 

Komentar

Tulis Komentar