Pentingnya Kerjasama Negara dan Masyarakat Sipil dalam Reintegrasi Napiter

News

by Akhmad Kusairi

Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Prof Irfan Idris menilai jika persoalan reintegrasi narapidana terorisme (napiter) bukan hanya urusan negara atau pemerintah. Menurutnya, urusan reintegrasi para napiter adalah urusan bersama semua elemen bangsa.

“Soal reintegrasi termasuk soal peran masyarakar sipil. Kita harus melengkapi. Bukan hanya tugas negara,” demikian disampaikan Irfan Idris dalam Diskusi yang diadakan Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) belum lama ini

Integrasi bisa dikatakan berhasil jika mereka tidak mengulangi kembali perbuatannya. Menurut Irfan deradikalisasi yang kami maksudkan adalah tiga P. Yaitu pembinan, pendampingan dan pemberdayaan.

“Pembinaan oke jalan, pendampingan oke. Tapi jangan distigmatisasi ketika seorang binaan dan mantan napiter mau kembali,” katanya berapi-api.

Lebih lanjut, Prof Irfan menjelaskan bahwa sistem di Indonesia berbeda dari Singapura, misalnya. Di sana, kalau pelakunya tidak berubah maka akan tetap berada di dalam. Sementara di Indonesia tidak seperti itu. Karena menganut supremasi hukum. Misalnya divonis 5 tahun penjara, sementara sikap pelakunya tidak berubah tetap harus dibebaskan demi hukum.

Menurut Prof Irfan, setiap mantan napiter ketika kembali ke masyarakat mereka berharap kembali diterima oleh masyarakat. Kemudian kita juga mengupayakan agar para mantan Napiter tersebut mandiri secara ekonomi. Namun, berdasarkan Prof Irfan hal itu tidaklah mudah. Karena tidak semua mereka punya keahlian dalam berbisnis.

“Setelah didampingi, tentu mereka berharap diterima di masyarakat. Kita melakukan pemberdayaan ekonomi mereka,” imbuhnya.

Karena itu BNPT berencana akan mendirikan 16 Yayasan yang nantinya pengurusnya adalah para Mantan Napiter. Pendirian yayasan itu merupakan hasil evaluasi dari program yang dijalankan oleh BNPT. Karena selama ini BNPT mendampingi orang per orang. Hal itu tidak terlalu berdampak. Yayasan tersebut rencanya akan dibentuk di Bima, Maluku dan tempat-tempat lain di Indonesia.

“Kita akan membentuk sekitar 17 yayasan buat mereka, agar mereka disentuh secara institusional. Kalau perorangan, habis cerita, kita juga habis modal. Karena itu, kita siapkan akta notaris. Di Maluku namanya Bakukele artinya saling berpelukan,” imbuhnya

Lebih lanjut Prof Irfan menjelaskan pekerjaan rumah BNPT selanjutnya adalah reintegrasi bagi deportan dari Turki maupun Filipina. Kepala BNPT sudah memerintahkan agar mengaktifkan kembali Satgas FTF. Supaya pemerintah bisa memiliki data yang lengkap dan akurat. Sehingga ketika mereka kembali ke Indonesia, kitasudah tahu akan dibawa ke mana mereka. Sejauh ini BNPT sudah melakukan program reintegrasi sebanyak tujuh angkatan. Namun, dia mengakui sentuhan yang dilakukan oleh pemerintah tidak semuanya berhasil. Misalnya Pasangan Rully Zeke dan Ulfa menjadi pelaku Bom Gereja di Jolo Filipina tahun lalu.

Selain itu, program reintegrasi yang dilakukan terhadap deportan tidak cukup maksimal. Yaitu hanya satu bulan dan bisa pulang karena menyebutkan alamat lengkap. Menurutnya, ada sekitar 500 orang WNI yang pasti kembali ke Indonesia.

“Ada 500 dan pasti akan kembali, lantas ke mana? Siapa mengerjakan apa? Sayangnya di antara di kementerian dan lembaga negara belum ada sinergitas yang kuat pada saat menghadapi dan membina para deportan. Misalnya saat ada deportan yang kembali ke rumahnya. Justru gubernur bertanya dana dari mana? Padahal warga mereka sendiri. Di sinilah sinergitas kita maksimalkan. Kita berupaya jadi sahabat mereka. Jangan galau lagi dan cari pengajian dan diskusi taklim-taklim tarbiyah yang pada akhirnya membuat membuat mereka anarkis lagi,” pungkasnya.

Komentar

Tulis Komentar