Drama Usang Bernama Terorisme

Other

by Kharis Hadirin

Sepanjang tahun 2000 -2010, setidaknya telah terjadi 25 kasus pengeboman yang dilakukan oleh kelompokteroris.


Diawali dengan Bom Bursa Efek Jakarta pada 14 September 2000 (sehari sebelum pembukaan Olimpiade musim panas 2000). Bom mobil meledak di ruang bawah tanah atau basement gedung BEJ di kawasan SCBD Jakarta dan terus berlanjut pada serangkaian pengeboman lainnya.


Pentinguntuk memahami, kenapa aksi-aksiterorisme terus berkembang seiring perjalanan waktu? Dan kenapa dramasemacam ini selalu saja berulang?


Dalam catatan Polri dikutip Detik News pada Kamis(27/12/2018), kasusterorisme meningkat pada tahun 2018 dibanding 2017 lalu. Untuk jumlah kasuspenangkapan, pada 2018 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya denganjumlah kasus sebanyak 398 orang dari tahun sebelumnya hanya 176 orang.


Polri jugamencatat jumlah anggotanya yang menjadi korban teror meningkat dari 18 orang di2017, menjadi 31 orang di 2018. Delapan orang diantaranya gugur.


Sementara ituuntuk proses hukum terhadap 396 terduga teroris, sebanyak 35 persen sudah naikke persidangan. Kemudian 52 persen lagi masih dalam tahap penyidikan.


Jika kita lihat dalampeta radikalisme yang terjadi di nusantara sepanjang kurun waktu dari mulaipengeboman yang terjadi gedung BEJ Jakarta tahun 2000 hingga kini, makaserangan bom di Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan lebih dari 200 jiwaorang dan melukai ratusan lainnya menjadi puncak dari serangan teror palingmematikan.


Lebih jauh, Brenda J. Lutz dalambukunya ‘Terrorism: Origins and Evolution(2005)’ menyebut bahwa pengeboman di Bali bahkan bisadimasukkan ke dalam kategori “terorismebaru” (new terrorism) yangdirumuskan para ahli pasca peristiwa 11 September 2001 di New York danWashington D.C. dengan jumlah korban paling banyak.


Terorisme baru” itu mengandung beberapa karakter pokok. Pertama,adanya tingkat kedasyatan (lethality)bahan-bahan yang digunakan seperti bom, gas dan lain-lain yang mengakibatkanjatuhnya korban dalam jumlah massal.


Kedua, adanyajustifikasi ideologi tertentu, apakah keagamaan, nasionalisme, tribalisme, danlain-lain. Ketiga, adanya jaringan para pelaku yang sangat canggih. Dan keempat,adanya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang canggih pula.


Meski mulaiterjadi adanya pergeseran dan pola serangan, seperti penentuan target danlokasi, namun jelas bahwa isu semacam ini seolah tidak memiliki jedah. Dalamtingkatan rasio, tiap tahunnya selalu mengalami periode pasang surut. Hal inibergantung dari adanya momentum atau konteks yang memberikan pengaruhsignifikan terhadap potensi munculnya aksi teror lainnya.


Misalnya,muncul Aman Abdurrahman yang memberikan anglebaru dalam melihat persoalan tentang Islam. Aman mencoba membangun narasidengan menerjemahkan istilah Thoghutkepada negara, institusi, kelompok, bahkan individu yang menolak tunduk padapedoman Islam.


Definisi ‘musuh’ yang dibangun oleh Aman, banyak menjadi rujukan bagi orang-orang untuk melakukan aksi kekerasan terhadap siapapun yang dianggap sebagai lawan. Adanya fatwa murtad dan penghalalan darah, menjadi biang kerok atas kekisruhan yang terjadi di tengah umat.


Kelompok yang selama ini berafiliasi pada manhaj yang dibangun oleh Aman, menjadi kelompok paling rentan yang gemar memberikan label kafir kepada siapapun yang berseberangan. Termasuk dengan melakukan kekerasan dan aksi teror.


Lalu adanyakelompok MIT (Mujahidin Indonesia Timur)pimpinan Santoso di Poso, Sulawesi Tengah, juga berhasil merubah pola gerakankelompok lama yang lebih menyasar warga asing. Santoso dianggap mampu memberikanalternatif wacana baru tentang definisi ‘musuh’,yakni melawan aparatur pemerintah, terutama Polri dan TNI.


Dan fenomena ISIS (Islamic State of Iraq and Sham), yang kemudian membuka wacana baru tentang khilafah. Adanya seruan dan fatwa yang digaungkan oleh ISIS melalui pimpinannya di Suriah, berhasil menggerakkan ribuan orang untuk hijrah ke sana. Sebagian berhasil masuk, sementara lainnya dideportasi oleh otoritas keamanan Turki atau tertangkap oleh pihak keamanan kita. Mereka yang tidak berhasil masuk ke Suriah, kemudian melakukan serangkaian aksi teror di tanah air. Yang terbaru adalah aksi pengeboman 3 gereja di Surabaya pada Minggu (13/5/2018) yang menyeret satu keluarga.


Pada prinsipnya, berbagai aksi terorisme yang terjadi di Indonesia bukanlah cerita pepesan kosong tak bermakna. Meski jalan ceritanya selalu sama tiap tahunnya, namun setiap aksi yang terjadi membawa pesan narasi yang berbeda.


Layaknya cerita usang yang selalu diulang, hanya lakon dan dalang saja yang berganti rupa dan berbeda peran.



Link foto: http://asc.fisipol.ugm.ac.id/648/


Komentar

Tulis Komentar