5 Sisi ‘Nyeleneh’ Kelompok JAD Afiliasi ISIS

Other

by Kharis Hadirin

Membahas panggung terorisme di Indonesia, Jamaah Anshorud Daulah (JAD) tidak akan pernah lepas dari sorotan. Sudah menjadi bulan-bulanan di media bahwa gerakan organisasi dengan singkatan JAD ini banyak menyisakan luka dan kerusakan. Pada berbagai aksi teror di tanah air, nama JAD selalu saja tercatut. Padahal pihak kepolisian sudah sangat sibuk melakukan penindakan pada anggota-anggota organisasi yang sudah dinyatakan ilegal itu.

Catatan hitam JAD tentu masih melekat di benak publik. Kejadian seperti pelemparan bom di sebuah gereja di Samarinda, peledakan bom dan tembak menembak di Jalan Thamrin, peledakan bom di Terminal Kampung Melayu, dan pengeboman gereja di Surabaya yang ikut melibatkan anak-anak adalah sebagian dari aksi teror yang menyeret nama Jamaah Anshorud Daulah.

Kita juga masih ingat dengan peristiwa kerusuhan yang terjadi di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, pada Mei 2018 silam. Bahkan di dalam penjara pun, para anggota JAD ini masih melakukan penyerangan terhadap petugas jaga. Seolah bangga dengan aksi kekerasan itu, mereka sempat-sempatnya melakukan live streaming di sosial media.

Meskipun demikian, JAD bukan hanya sebuah organisasi yang menawarkan kekerasan saja. Tim Ruangobrol berhasil menemukan hal-hal 'nyleneh' dari anggota-anggota kelompok ini. Fakta-fakta ini berhasil ditemukan oleh salah satu Tim Ruangobrol selama berinteraksi dengan orang-orang dari JAD. Berikut daftarnya:
Menolak Membayar Hutang

Awal tahun 2017 lalu, seorang ikhwan datang kepada penulis dan mengeluhkan soal uangnya yang dipinjam oleh anggota JAD dan tidak kembali. Kisah itu bermula dari akad hutang piutang di tahun 2015. Uang sebanyak 25 juta berpindah tangan dengan janji akan dikembalikan seminggu setelahnya. Kedua pihak telah setuju. Pihak pemberi pinjaman sama sekali tidak menaruh curiga karena si peminjam dianggap dapat dipercaya. Selain itu, uang pinjaman rencananya akan digunakan sebagai modal usaha. Sebuah niatan yang baik pikir si pemberi pinjaman.

Sepekan berlalu sejak akad diucapkan. Si peminjam hilang tanpa jejak. Bahkan, hingga setahun si pemberi pinjaman tidak mendapatkan kabar apapun. Hingga ada akhir 2016 si pemberi pinjaman mengetahui bahwa si peminjam sudah berada di Suriah dan bergabung dengan kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Informasi ini dia temukan secara tidak sengaja. Sebuah rekaman video tentang para pejuang ISIS asal Indonesia sampai di tangannya. Sekelebat tampak sosok si peminjam. Seketika itu, si pemberi pinjaman pun sadar bahwa uang 25 jutanya tidak akan kembali.

Usut punya usut, uang dari akad untuk modal usaha itu ternyata berubah fungsi. Oleh peminjam, uang hutang itu dia pakai untuk membiayai perjalanannya ke Suriah. Begitu mudahnya si peminjam itu mengingkari akad yang sudah disepakati kedua belah pihak. Hal tersebut terjadi karena terdapat fatwa yang beredar di kelompok ISIS tentang harta benda orang-orang yang menolak Khilafah Islamiyah. Mereka menganggap bahwa harta itu halal untuk diambil tanpa harus meminta izin. Termasuk ketika mereka berhutang dengan orang di luar kelompoknya, maka mereka tidak terbebani kewajiban untuk membayar.
Mengharamkan Ikan Lele

Lele adalah jenis ikan konsumsi yang bergizi. Bagi Sebagian besar masyarakat Indonesia, ikan lele sering disajikan dalam kondisi sudah digoreng dan disantap dengan sambal serta lalapan sayur. Namun, hal ini justru berbeda dengan beberapa anggota JAD asal Lamongan, Jawa Timur. Dalam suatu kesempatan, mereka menyampaikan bahwa lele adalah jenis ikan yang haram untuk dikonsumsi. Alasannya, ikan lele mengandung banyak lendir sehingga terlihat menjijikkan.

Ketika mereka dikonfirmasi soal fatwa yang dipakai sebagi dasar pengharaman itu, mereka justru menyebut bahwa Aman Abdurrahman tidak pernah suka dengan ikan lele. Ketidaksukaan Aman Abdurrahman terhadap ikan lele inilah yang kemudian dijadikan sebagai dalil untuk mengharamkan lele.
Fatwa Haram Istri Digauli Suami Non – ISIS

Pada awal Desember 2020, seorang narapidana teroris (napiter) menghubungi penulis melalui Wartel (Warung Telepon) yang disediakan oleh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Napiter dengan inisial AK ini sedang menjalani masa tahanan di Lapas Permisan, Nusa Kambangan, Cilacap.

Dalam percakapan via telepon tersebut, AK meminta tolong kepada penulis agar bersedia membantu istrinya yang sedang dalam kesulitan ekonomi. Permintaan itu muncul karena beberapa anggota JAD sering mendatangi istri AK. Setiap kali berkunjung, mereka selalu meminta istri AK untuk menceraikan suaminya agar bisa menerima bantuan dari kelompok mereka. Tidak hanya itu saja, istri AK juga diminta untuk menerima pinangan salah satu anggota JAD. Bagi kelompok JAD, AK sudah dianggap murtad karena kembali pada NKRI. Oleh karena itu, jika istri AK masih tetap bersama dengan AK maka status pernikahannya adalah haram.

Tolong! Bantu istri ana (saya), khi,” pinta AK dalam sambungan telepon itu. Kondisi ini sangat menyulitkan dia dan istrinya, padahal bantuan ekonomi sedang sangat diperlukan.

Kondisi yang dialami oleh AK bukan yang pertama kali di kalangan JAD. Pada tahun 2015 sempat muncul gerakan menceraikan suami yang menolak ISIS. Gerakan ini ternyata berawal dari adanya fatwa kelompok ISIS di Suriah yang ditujukan bagi para istri untuk menceraikan suaminya yang sudah bergabung dengan Al Qaedah dan menolak ISIS. Fatwa tersebut pernah dibahas di majalah Dabiq, majalah para pengikut ISIS.

Keberadaan fatwa cerai tersebut kemudian digunakan oleh kelompok ISIS di Indonesia. Fatwa itu menjadi dasar atau dalil soal keharaman status pernikahan orang-orang yang menolak ISIS. Bahkan, atas rujukan dari fatwa ini, AS alias A, pentolan ISIS di Suriah asal Indonesia, pernah menikahi seorang perempuan padahal masih berstatus sah istri orang lain.
Mengincar Para Pekerja Migran

Kompetisi pencarian jodoh lewat media sosial ternyata pernah santer di Lapas Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah pada sekitar tahun 2016 - 2017. Adalah para narapidana teroris dari kelompok simpatisan ISIS yang diduga gandrung melakukan perjodohan itu. Targetnya, yakni para buruh migran perempuan yang bekerja di luar negeri. Buruh migran menjadi incaran karena dianggap memiliki uang. Mereka diharapkan akan menjadi penopang kebutuhan ekonomi para suami-suami yang sedang mendekam di dalam penjara.

Ulah para napiter ini dimulai dengan membuat akun palsu di Facebook. Melalui akun itu, mereka membagi-bagikan artikel-artikel Islami kepada perempuan-perempuan yang menjadi targetnya. Terutama perempuan yang masih berstatus lajang. Bagi target yang sudah memakan umpannya, pembicaraan lalu digiring pada dalil-dalil dan mimpi-mimpi tentang kewajiban hidup di bawah naungan Khilafah. Serta yang terpenting adalah menyegerakan untuk berumah tangga. Janji-janji manis dan dalil-dalil ini secara bergantian diluncurkan hingga targetnya menyerah dan setuju untuk menikah.

Mereka yang telah terjerat akan rela melakukan pernikahan online. melalui sambungan telepon dan tanpa harus bertatap muka, pernikahan terjadi. Saksi yang digunakan pada pernikahan tersebut biasanya berasal dari kelompoknya sendiri. Bahkan, ada saksi yang merupakan rekan sesama narapidana teroris. Contoh pernikahan online ini adalah Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari. Kisah lengkapnya diulas di film berjudul Pengantin yang melibatkan tim peneliti dari Ruangobrol.

Masih soal perjodohan, Jali alias Awan, seorang mantan napiter yang pernah mendekam di Lapas Cipinang, Jakarta, mengungkapkan bahwa para target nikah online itu nantinya akan diperas uangnya. Terutama untuk memenuhi kebutuhan para suaminya di penjara. “Bahkan ada TKW Hongkong yang setahun dinikahi sampai 4 kali sama orang-orang ISIS (napiter) di NK. Jadi, misalnya kawin sama A, lalu cerai dan kawin sama B, sama C, sama D. Dan itu orang ISIS semua, masih semua satu blok (penjara),” jelas Jali dalam sebuah wawancara dengan Ruangobrol.
Melawan Polisi Tapi Takut TNI

Sudah berkali-kali Kelompok JAD melakukan serangan terhadap personil kepolisian maupun kantor polisi. Salah satu contonya adalah penyerangan Polsek Daha, Kab. Hulu Sungai Selatan, Kalsel pada awal Juni 2020. Serangan ini menewaskan seorang anggota kepolisian. Contoh lainnya adalah penyerangan terhadap Wakapolres Karanganyar, Kompol. Busroni oleh anggota JAD saat mengikuti kegiatan susur sungai di kawasan Gunung Lawu. Selain itu, sejumlah kasus penyerangan menggunakan bom rakitan yang menyasar kantor kepolisian juga sering didalangi oleh kelompok JAD.

Menariknya, dari semua kasus penyerangan terhadap aparat negara yang ada, hampir tidak pernah ditemui kasus serangan pada anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau markas TNI. Bahkan, Kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di era kepemimpinan Santoso alias Abu Wardah, pernah menantang Tim Densus 88 (kepolisian) untuk datang ke Gunung Biru, Poso dan melakukan kontak senjata secara jantan. Surat tantangan itu beredar melalui Forum Al Busyro. Lucunya, dalam isi surat tantangan tersebut ada catatan kaki, “Tolong TNI tidak perlu ikut campur!”.

Komentar

Tulis Komentar