Upaya Menggugah Kesadaran dan Keterlibatan Multi-pihak Dalam Penanganan WNI Eks ISIS

Analisa

by Arif Budi Setyawan Editor by Arif Budi Setyawan

Dalam dunia penanganan terorisme, pihak yang dianggap oleh masyarakat paling berkewajiban menanganinya adalah BNPT dan POLRI (Densus 88 AT). Bahkan di tingkat pemerintah daerah provinsi kami menemukan ada yang masih menganggap demikian. Apalagi di tingkat kabupaten/kota dan yang di bawahnya.

Baru-baru ini dalam sebuah FGD (online) kami dengan salah satu pejabat dari sebuah kementerian yang berada dalam koordinasi BNPT terkait penanganan terorisme, terungkap sebuah fakta baru. Yaitu alasan kenapa pejabat dari beberapa lembaga negara dan kementerian (di luar BNPT dan Densus 88) ketika selesai rakor soal penanganan terorisme, banyak yang menghindari pertanyaan dari wartawan. Ternyata itu karena pejabat yang bersangkutan kurang menguasai isu penanganan terorisme.

Isu terorisme memang bukan persoalan yang mudah dipahami oleh pejabat negara yang memiliki banyak tugas lain selain yang terkait dengan penanganan terorisme. Apalagi jika pejabat tersebut belum menganggap persoalan terorisme sebagai persoalan yang penting. Persoalan belum menganggap isu terorisme sebagai sesuatu yang penting ini menimbulkan banyak pertanyaan bagi kami para aktivis.

Apakah adanya BNPT yang berdiri sejak 2010 dan Perpres No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE), belum cukup sebagai bukti akan pentingnya penanganan persoalan terorisme?

Atau memang mayoritas masih menganggap urusan penanganan terorisme itu menjadi urusan BNPT dan Densus 88 AT? Sehingga pejabat-pejabat pemerintah hanya akan membantu bila ada perintah atau permintaan dari BNPT/Densus 88 AT?

Kami juga menjumpai fakta ketika bekerja di lapangan bersama beberapa stakeholder pemerintah daerah, bahwa ketika datang perintah atau permintaan dari BNPT atau Densus 88 AT, seringkali pejabat yang bersangkutan akan sedikit kelabakan karena kurangnya pengetahuan soal terorisme.

Tapi kami juga pernah menjumpai kompaknya beberapa stakeholder pemerintah daerah salah satu provinsi dalam penanganan terorisme. Yaitu ketika di provinsi tersebut terjadi penangkapan besar-besaran terduga teroris dalam waktu singkat. Meskipun belakangan ini mulai kendor karena tampak mulai terkendali dan tercapainya beberapa pencapaian bagus yang tidak dicapai oleh provinsi lain.

Kadang kami bercanda dengan sesama aktivis. Apakah perlu terjadi kasus terorisme yang besar di sebuah daerah agar stakeholder pemerintah daerah setempat peduli pada persoalan terorisme?

Sampai hari ini kami di Kreasi Prasasti Perdamaian masih terus berusaha menemukan cara menggugah kesadaran multi-pihak dalam penanganan isu terorisme. Melalui Ruangobrol.id (2018) dan Ruangmigran.id (2022) kami mencoba membuat banyak karya berbasis storytelling yang bisa membantu menumbuhkan kesadaran multi-pihak ini.

Kami berharap, melalui storytelling dalam bentuk ribuan artikel dari credible voices kami, ratusan konten media sosial, dan belasan film dokumenter yang kami produksi bisa membantu menumbuhkan kesadaran multi-pihak itu. Di samping tentunya dapat menambah pengetahuan dan membantu memahami isu terorisme lebih baik bagi berbagai pihak.

Kenapa Storytelling?

Storytelling atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai seni bercerita adalah sebuah bentuk interaksi yang melibatkan baik dua orang atau lebih, dan berfungsi untuk menyampaikan atau mengkomunikasikan pesan yang ingin disampaikan. Sebuah storytelling yang baik pastinya dapat menyampaikan pesan kepada pendengar dan dapat diterima dengan baik oleh para pendengar.

Storytelling merupakan salah satu senjata yang ampuh bagi kita untuk mulai menuangkan ide ataupun wacana yang ingin disampaikan kepada orang lain. Sering kita jumpai dalam kehidupan betapa ampuhnya cerita dalam mempengaruhi orang di segala bidang, mulai dari menjual produk, mengajar, hingga menyebarluaskan agama dan ideologi.

Dalam konteks kampanye pencegahan terorisme di masyarakat, terutama bila targetnya adalah pelibatan masyarakat (multi-pihak) dalam pencegahan terorisme, storytelling dapat menjadi salah satu pilihan metode yang efektif.

Riset menunjukkan, cerita dapat menyentuh pusat-pusat sensori di dalam otak pendengar sehingga membuat mereka seolah-olah masuk dalam cerita tersebut dan mengalaminya sendiri. Oleh karena itu, cerita yang bagus dapat mengaduk emosi, menarik perhatian, dan diingat terus. Konsep yang kompleks pun dapat dipahami dengan mudah bila dikemas dalam bentuk cerita.

Masifnya himbauan dan ajakan memerangi atau mewaspadai ancaman radikalisme-terorisme yang disertai pemaparan data mengenai indeks ancaman terorisme dan indeks-indeks lainnya, terkesan hanya menjadi sebuah berita. Masih jauh dari kata dapat meningkatkan aware (kepedulian) masyarakat atas bahaya ancaman radikalisme-terorisme. Kemampuan manusia dalam menyerap informasi berupa angka dan data memang tidak terlalu bagus. Berdasarkan studi Profesor Jennifer Aaker dari Universitas Stanford, hanya 5 persen dari mahasiswa yang ia teliti dapat mengingat angka-angka statistik. Sementara, 63 persen mahasiswa justru dapat mengingat cerita.

Beragam penelitian mengenai memori manusia juga membuktikan bahwa fakta-fakta kritis, data, dan analisis akan lebih menggugah emosi bila dikaitkan dengan cerita tertentu. Bahkan, penyajian materi dengan cara demikian dapat lebih menggerakkan orang untuk mengambil tindakan.

Data memang dapat memengaruhi orang, tetapi tidak bisa menginspirasi sampai membuat orang bertindak. Sementara itu, cerita dapat menembus area yang tidak sanggup digapai analisis kuantitatif, yaitu hati kita.

Dalam upaya pencegahan terorisme yang memerlukan energi dan jangka waktu yang panjang, semua tindakan haruslah berdasarkan panggilan hati. Sedangkan hati lebih mudah tergerakkan oleh sebuah cerita atau narasi. Maka metode storytelling dapat dijadikan alternatif yang lebih efektif.

Hanya saja kami masih menghadapi persoalan yang belum terpecahkan sejak dulu hingga hari ini, yaitu: Bagaimana menimbulkan minat masyarakat luas untuk membaca dan menyimak karya-karya kami?

Komentar

Tulis Komentar