Memahami Logika Kelompok Takfiri

Other

by Kharis Hadirin

Seiring munculnya nama ISIS dan banyak menjadi perbincangan di kalangan masyarakat, istilah Takfiri pun seolah tidak lepas dari berbagai fenomena aksi teror yang melanda republik ini. Termasuk orang-orang yang diketahui mendukung ISIS, sering dilabel sebagai penganut paham Takfiri.

Lalu, apa sebetulnya makna Takfiri? Benarkah itu hanya sebatas paham ideologi ataukah nama untuk sebuah organisasi?

Sederet pertanyaan tersebut, selayaknya penting untuk diketahui agar kita sebagai masyarakat tidak gegabah memberikan tafsiran tanpa pengetahuan yang cukup. Ini juga membawa kita agar lebih mawas diri terhadap berbagai potensi ancaman teror yang bisa saja muncul di depan pintu rumah kita.

Tidak dipungkiri bahwa istilah Takfiri mulai ramai diperbincangkan semenjak fenomena ISIS muncul di Indonesia. Terutama Ketika kelompok ini berhasil menguasai sebagian wilayah di Suriah dan mendeklarasikan Khilafah Islamiyah pada 1 Ramadhan 1435 H atau bertepatan dengan tanggal 29 Juni 2014 dengan mengangkat Abu Bakar Al Bagdady sebagai Amirul Mukminin.

Takfiri sendiri diambil dari Bahasa Arab yang berasal dari kata kafara - yukaffiru - takfiron yang berarti mengingkari atau menutupi. Namun secara definitif, kata Takfiri kemudian diterjemahkan sebagai individu atau kelompok yang menolak berbagai sesembahan selain Allah dan menuduh orang lain yang menolak berhukum dengan Al Qur’an dan Sunnah dengan sebutan Kafir atau Murtad (keluar dari Islam).

Dalam praktiknya di lapangan, kelompok yang mengusung ideologi ini begitu mudah memberikan label Kafir atau Murtad kepada siapapun yang dianggap tidak sejalan dengan apa yang mereka pahami. Tidak saja berlaku bagi masyarakat awam, bahkan seorang tokoh agamawan sekalipun jika terbukti tidak sependapat maka tidak ada rasa segan untuk menyematkan gelar Murtad.

Secara garis besar, kelompok ini secara terang-terangan menolak sistem perundangan yang berlaku di Indonesia. Karenanya, siapapun yang terikat pada sistem tersebut maka akan dianggap telah kafir dengan bermodal pada beberapa potongan ayat dalam Al Qur’an.

Misalnya, siapapun yang bekerja di pemerintahan atau bekerja untuk negara, maka dianggap Kafir. Seorang guru sekalipun akan dicap sebagai Kafir hanya karena dia seorang PNS/ASN atau kebetulan jika dia mengajar di sekolah negeri. Sebab mereka meyakini, sekolah negeri juga bagian dari rancangan pemerintah.

Singkatnya, individu yang terlibat dalam berbagai aktivitas yang masih ada relevansinya dengan pemerintah atau negara, maka ia dianggap Kafir atau Murtad. Dan wajib baginya untuk mengucapkan syahadat ulang sebagai bentuk pertobatan.

Jika kita ber-Islam mengikuti konsep seperti ini, maka wajah Islam hanya nampak hitam-putih. Tak berlaku Ijtihad atau kesepakatan para ulama, maupun hukum Fiqih. Segala sesuatu hanya berlaku berdasarkan pandangan halal - haram, boleh - tidak boleh. Nah, kondisi ini pula yang belakangan terjadi pada kelompok ISIS di Suriah.

Narasi Islam dan Khilafah Islamiyah yang rahmatan lil ‘alamin sama sekali jauh realitasnya dari kelompok ini. Siapapun yang dianggap bersebarangan dan tak sejalan dengan ideologi yang mereka yakini, dieksekusi secara keji meski sama-sama Muslim dan bermadzhab Sunni.

Bagaimana dengan di Indonesia? Fenomena yang terjadi di Suriah, terjadi pula di negeri ini. Hanya saja, jika di Suriah, kelompok ini dengan mudahnya menumpahkan darah sesama saudara. Maka di Indonesia, kelompok ini sering melempar tuduhan keji pada golongan yang berbeda pandangan ideologi. Bahkan terkadang, kelompok ini juga menggunakan senjata untuk memberikan I’qob atau hukuman bagi mereka yang dianggap najis dan jiwanya tak lagi suci.

Komentar

Tulis Komentar