Fenomena Aldi Taher dan Idealisme Tukang Asongan Agama

Analisa

by Kharis Hadirin

Di Indonesia, jika ada produk jualan ‘berbau busuk’ namun laris manis di pasaran, maka tentu jawabannya adalah agama. Apa pun latar belakangnya, jika memainkan isu ini maka para pelakunya akan dianggap sebagai ‘wali’ meski sosoknya tak lebih hina dari sampah.

Mungkin sebagian dari kita merasa risih melihatnya, namun inilah realita yang terjadi di negeri yang mendewakan agama tanpa menggunakan logika.

Tidak peduli siapa mereka. Entah dari kalangan bajingan, maling, penjahat, bromocora, tukang zina, koruptor, bahkan manusia tolol sekalipun, jika ingin dianggap bermartabat, maka mainkanlah isu agama. Niscaya ia akan dianggap sebagai manusia yang ‘terlahir kembali’ sebagai makhluk kudus dan suci jiwanya.

Lalu siapa para pengasong agama ini yang gemar menebar ayat-ayat suci dengan harga murah? Tentu saja, para politisi.

Tentu masih segar di ingatan kita soal bagaimana kisruhnya Pilgub DKI 2017 lalu. Politik SARA menjadi narasi yang cukup genjar didengungkan dimana-mana. Toa-toa masjid yang biasa bisu oleh lantunan ayat-ayat suci, mendadak bergema di hampir sudut ibu kota. Menariknya, kondisi itu hanya bertahan selama masa kampanye berlangsung saja. Usai Pilgub, mendadak masjid-masjid sunyi kembali.

Lalu ada pula beberapa pendiri partai. Saat hendak mencalonkan diri sebagai Presiden RI, mendadak berlomba-lomba mencari simpati dengan berkunjung ke pondok-pondok pesantren dan ikut-ikutan ngaji. Lucunya lagi, bahkan ada yang mendadak berpenampilan layaknya seorang kyai padahal jelas jauh panggang dari api.

Dan baru-baru ini, nama Aldi Taher, seorang public figure kelahiran Jayapura mendadak menjadi perbincangan hangat di jagat maya. Mantan suami Dewi Persik ini dikabarkan sedang mencalonkan diri sebagai calon Wakil Gubernur Sumatera Barat untuk periode 2020 – 2025 melalui partai berlogo pohon beringin, Golkar.

Seorang artis atau public figure yang beralih profesi sebagai politisi atau pejabat negeri tentu bukan barang baru. Sudah banyak sekali. Meski ada yang gagal, namun sebagian juga ada yang berhasil hingga menduduki kursi DPR. Misalnya, ada Mulan Jameela dari Fraksi Partai Gerindra, Anang Hermansyah dari Fraksi PAN, Krisdayanti dari Fraksi PDIP, dan sejumlah artis lainnya.

Meski muncul gelombang kalangan artis yang berebut kursi di Senayan, nama Aldi Taher seolah menjadi satu fenomena tersendiri. Tentu bukan pada persoalan latar belakangnya sebagai seorang public figure tanah air, namun cara ia mencitrakan dirinya sebagai sosok religius inilah yang pada akhirnya mengundang perhatian banyak kalangan.

Belakangan, Aldi Taher melalui akun Instagram miliknya @alditaher.official, cukup gemar membagikan aktivitas barunya semenjak mencalonkan diri sebagai calon Wakil Gubernur Sumatera Barat. Ia yang sebelumnya aktif manggung dan wara-wiri di layar kaca televisi, kini berubah drastis menjadi lebih alim dan rajin mengaji. Namun bukannya simpati yang diraih, justru publik merasa risih dengan aktivitas barunya ini.

Meski Aldi Taher banyak membagikan aktivitas mengaji, namun publik menilai apa yang dilakukannya justru terlalu berlebihan dan lebay dengan merekam semua aktivitas mengajinya. Misalnya, saat ia mengaji sambil duduk di pinggir jalan raya, di emperan masjid, di pinggir sungai, bahkan saat di tengah anak-anak yang sedang bermain di lapangan.

Tentu hak masing-masing orang untuk berperilaku. Namun memanfaatkan agama sekedar untuk mendongkrak populeritas semata justru terlihat sebagai hal menjijikkan. Seolah-olah agama menjadi isyarat mutlak agar sekedar dianggap pribadi yang baik dan taat. Yang terlihat, para pengasong agama ini justru mengobralnya dengan harga murah.

Jika ada orang-orang yang gemar teriak-teriak membela agama, harusnya para politisi model seperti inilah yang layak untuk diseret ke penjara. Bukan justru meributkan benda-benda mati hanya karena takut imannya goyah.

Kenyataan seperti ini memang kadang membuat kita tepuk jidat. Agama dijunjung begitu tinggi, bahkan untuk menjadi penjabat syaratnya harus bisa mengaji. Soal integritas dan kemampuan membangun negeri seolah tak berarti, sebab masyarakat Indonesia hanya butuh mereka yang jago menyadur ayat-ayat surga meski tak mampu bekerja sama sekali. Akibatnya, muncullah para badut berjubah agama yang pandai menarik simpati.

Dan inilah wajah Indonesia, negeri pemuja agama yang subur akan budaya korupsi dan kriminalitas yang tinggi.

Komentar

Tulis Komentar