Tanggapan Mantan Napiter Atas Rencana Pemulangan WNI Eks ISIS (1)

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Jagad media sosial dan pemberitaan kembali diramaikan oleh wacana pemulangan WNI eks pendukung ISIS yang ada di Syiria. Pemicunya adalah pernyataan Menteri Agama bahwa pemerintah berencana memulangkan sekitar 600 orang WNI yang pernah bergabung dengan ISIS, di mana saat ini mereka sedang terlantar di kamp-kamp pengungsian.


Meskipun belakangan pernyataan itu, seperti biasa, diralat atau diluruskan, tak pelak telah cukup membuat perbincangan dan perdebatan ramai berseliweran baik di media sosial maupun di kalangan para tokoh dan pejabat publik.


Berdasarkan info terakhir yang dikeluarkan oleh BNPT melalui Komjen Pol Suhardi Alius, 600 orang lebih WNI di kamp penampungan eks ISIS (yang mengaku WNI berdasarkan laporan intelijen internasional) adalah perempuan dan anak-anak.


Saya sebagai mantan napiter yang pernah merasakan kondisi yang hampir sama dengan para WNI eks ISIS itu, mencoba untuk memberikan tanggapan atas beberapa pernyataan dan komentar paling umum dari masyarakat yang terwakili oleh suara para warganet.


Kondisi dan status para WNI mantan pendukung ISIS itu hampir samalah dengan kondisi dan status yang pernah saya alami sebagai napiter. Sama-sama menyandang stigma negatif sebagai musuh negara, dan sama-sama menderita karena salah memilih jalan perjuangan. Bedanya mereka ada di negara orang sedangkan saya tetap di dalam negeri. Artinya mereka lebih menderita daripada saya.


Bedanya lagi: sebelum saya kembali ke masyarakat saya harus menjalani hukuman pidana di penjara. Sedangkan mereka kemungkinan tidak. Sehingga masyarakat cenderung akan lebih mudah menerima mantan napiter karena menganggap di penjara sudah berubah, sudah jadi baik, dst.


Saya menghimpun setidaknya ada empat pernyataan atau komentar paling umum dari masyarakat awam. Dan saya akan mencoba menanggapinya dari sudut pandang mantan napiter yang alhamdulillah sukses berintegrasi ke masyarakat.


Pertama: Mereka itu hanya akan menambah beban negara dan masyarakat


Bicara beban negara atau beban masyarakat sebenarnya setiap hari juga kita semua menanggung beban. Semakin bertambahnya angka kriminalitas, misalnya, itu juga beban negara dan masyarakat. Utang pemerintah dan swasta nasional kita yang semakin naik juga beban.


Yang tadinya punya anak usia SD lalu naik masuk ke SMP juga bertambah bebannya. Apakah ketika anak mau masuk SMP kita lantas bilang, sekolah SMP hanya akan menambah beban? Bukankah sebenarnya yang kita inginkan adalah adanya sesuatu yang lebih berarti yang bisa kita peroleh di masa depan dari konsekuensi bertambahnya beban hidup kita ?


Seperti biaya pendidikan anak yang semakin meningkat tadi, ada hasil yang ingin kita peroleh di masa depan dari menyekolahkan anak kita. Yaitu agar memiliki bekal meraih masa depan yang lebih baik.


Maka demikian pula dengan sebuah kebijakan pemerintah yang menghabiskan anggaran dan menuntut partisipasi masyarakat sepenuhnya. Beban akan semakin bertambah itu pasti, tetapi karena adanya harapan memperoleh hasil yang baik di masa depan semua enjoy menjalaninya dengan penuh semangat.


Dalam kasus wacana pemulangan WNI eks ISIS yang menjadi masalah adalah masyarakat kurang memahami apa keuntungan atau kebaikan yang diperoleh dari pemulangan mereka itu. Maka menjadi tugas pemerintahlah menjelaskan plus-minus jika mereka jadi dipulangkan.


Sebelum pemerintah menjelaskan, izinkan saya menjelaskan aspek kebaikan yang bisa didapat dan tantangan yang dihadapi pemerintah menurut sudut pandang saya sebagai mantan napiter yang pernah menjalani proses re-edukasi dan re-integrasi.


Setidaknya ada dua kebaikan yang bisa kita peroleh seandainya para WNI mantan pendukung ISIS itu jadi dipulangkan, di mana proses kepulangan mereka itu pasti telah melalui berbagai tahapan dan screening yang ketat.


Pertama, Indonesia bisa menunjukkan kepada dunia dan menjadi pelopor dalam penanganan mantan pendukung ISIS di kamp penampungan.


Saat ini, banyak negara yang belum tahu bagaimana cara menangani warga negara mereka yang pernah bergabung dengan ISIS dan ingin kembali ke negara asalnya. Indonesia bisa menjadi role model bagi dunia. Dan selama ini Indonesia sudah menjadi salah satu negara pecontohan dalam penanganan radikalisme-terorisme. Indonesia dikenal sukses dalam pencegahan dan penanganan soft approach-nya. Mengapa ini tidak kita lanjutkan ?


Kedua, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa besar yang berjiwa besar.


Dengan memulangkan para WNI mantan pendukung ISIS itu menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang mau memaafkan warganya yang pernah berbuat salah dan suka bergotong-royong saling membantu saudara sebangsa, termasuk dengan yang pernah bersalah sekalipun.


Tapi untuk bisa mewujudkan kedua hal di atas, kita menghadapi beberapa tantangan. Di antaranya adalah Anggaran dan SDM yang akan menangani program ini.


Untuk SDM saya rasa sudah saatnya pemerintah semakin aktif merangkul ormas-ormas, LSM-LSM, dan komunitas-komunitas masyarakat yang peduli akan penanganan isu radikalisme-terorisme. [Bersambung]


*Sumber Gambar: Ivor Prickett/The New York Times


Komentar

Tulis Komentar