Film Pulang Rimba: Perjuangan Menyelamatkan Suku Anak Dalam yang Terancam Punah

Review

by Abdul Mughis

Namanya Pauzan, pemuda dari keluarga Orang Rimba atau Suku Anak Dalam di Jambi ini manjadi generasi pendombrak zaman. Di tengah keterbatasan dan ketertinggalan, saat ini, dia menimba ilmu di salah satu perguruan tinggi di Bogor. Pauzan termasuk generasi pertama Orang Rimba yang selangkah lagi menyandang gelar sarjana.

Pauzan adalah salah satu jejak generasi keturunan dari populasi Orang Rimba. Keberadaan komunitas ini kini tersebar di hutan tropis Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Bungo Tebo, dan Kabupaten Batanghari, atau sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), Provinsi Jambi, Sumatera Selatan.

[caption id="attachment_14811" align="aligncenter" width="716"] Pauzan, pemuda dari keluarga Orang Rimba atau Suku Anak Dalam Jambi yang saat ini menempuh kuliah di Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Bogor. (dokumentasi ruangobrol.id)[/caption]

Pemerintah setempat menyebut Orang Rimba ini sebagai Suku Anak Dalam karena tinggal di wilayah pedalaman. Namun sebutan Suku Anak Dalam ini tidak hanya ditujukan untuk Orang Rimba, tetapi juga ditujukan untuk suku lain seperti Talang Mamak dan Batin Sembilan.

Dulunya, masyarakat Melayu menyebut Orang Rimba ini dengan sebutan Suku Kubu—yang cenderung memiliki makna “negatif” seperti bodoh dan primitif. Tidak heran, Orang Rimba ini tidak mau disebut dengan sebutan Suku Kubu karena—dianggap merendahkan.

Orang Rimba memiliki tradisi peninggalan nenek moyangnya yang unik. Tradisi itu bernama “Melangun”, yakni berpindah-pindah tempat tinggal secara berkelompok—ketika salah satu di antara anggota keluarga mereka sakit atau meninggal. Keluarga yang sakit maupun meninggal ditinggalkan di suatu tempat.

Perjuangan salah satu generasi Rimba ini digambarkan melalui Film Dokumenter Pulang Rimba yang diproduksi oleh Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) di pengujung 2022 ini.

Film ini berusaha meng-capture kisah perjuangan seorang pemuda Rimba yang berupaya menyelamatkan nasib Suku Anak Dalam yang terpinggirkan. Dengan segala keterbatasan, ia menjadi generasi pertama Suku Anak Dalam yang menempuh pendidikan jenjang perguruan tinggi. Harapannya, kelak ia bisa menjadi generasi yang mampu bertarung melawan kerasnya peradaban zaman.

[caption id="attachment_14812" align="aligncenter" width="661"] Flayer Film Pulang Rimba 2022 yang diproduksi oleh Kreasi Prasasti Perdamaian.[/caption]

Sutradara Film “Pulang Rimba”, Rahmat Triguna—yang akrab disapa Mamato—menjelaskan, mereka tidak bisa berbuat banyak ketika mengalami berbagai persoalan yang terjadi.

Mereka berjuang melawan modernisasi agar bisa bertahan hidup.
Tawaran untuk menyelamatkan masa depan mereka ya melalui pendidikan. Pauzan adalah salah satu bagian dari ini. Sejauh ini belum ada Suku Anak Dalam yang sekolah hingga sarjana,” ungkap Mamato.

Permasalahan sosial Orang Rimba ini cukup kompleks. Secara catatan sipil kependudukan, lanjut Mamato, mereka belum sepenuhnya terdata secara maksimal. Hal itu mengakibatkan jumlah populasi Orang Rimba ini tidak diketahui secara pasti.

Dari kurang lebih 4000-an jiwa yang tercatat, diprakirakan 20 persennya masih melakukan budaya Melangun. Namun lambat laun budaya Melangun ini pun terkikis. Jika dahulu mereka pergi jauh hingga puluhan tahun, saat ini hanya dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.

“20 persen ini yang sulit diidentitaskan. Untuk sekedar difoto saja cukup sulit. Terutama bagi perempuan tidak boleh difoto. Sebagian tidak berkenan diidentitaskan. Sehingga tidak semua Orang Rimba memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP),” terangnya.

BACA JUGA: Perempuan yang Melawan Adat Pernikahan Anak Demi Kuliah

Secara pemetaan geografis, lokasi tempat tinggal Suku Anak Dalam ini terbagi tiga bagian, yakni bagian luar—rata-rata telah memiliki tempat tinggal permanen dan beradaptasi dengan penduduk sekitar, bagian tengah dan bagian dalam.

“Lokasi wilayah mereka di antara Bukit Dua Belas. Suku Anak Dalam yang masih menjalankan tradisi Melangun tersebar secara random baik di sisi bagian luar, tengah dan dalam. Tapi paling banyak—tradisi Melangun—berada di bagian dalam,” terangnya.

Dalam tradisi Melangun, mereka bersama Rombong yang dipimpin Tumenggung pergi jauh menyusuri hutan dan tinggal di tepi-tepi sungai. “Tujuannya menghapus kesedihan akibat ditinggal mati sanak saudara,” jelasnya.

Pada awalnya, mereka menggantungkan hidup di hutan. Aktivitasnya berburu, meramu, menangkap ikan dan memakan buah-buahan. Mereka menyusuri semak belukar dan lembah, mengumpulkan gadung, pakis, enau, rebung, rumbia, hingga rotan dan madu sebagai penopang mata pencaharian.

Orang Rimba memiliki bahasa lokal dan pakaian tradisional. Semula, rata-rata mereka merupakan penganut Animisme—meskipun saat ini sebagian dari mereka telah menganut Islam dan Kristen. Adat istiadat yang masih dilestarikan adalah Sesandingon, Bebalai, Tari Tektok dan Tari Elang.

[caption id="attachment_14814" align="alignnone" width="768"] Tim produksi Film Pulang Rimba saat mengambil gambar salah satu aktivitas berkebun Suku Anak Dalam. (foto dokumentasi ruangobrol.id)[/caption]

Namun seiring perkembangan zaman, mereka kemudian mengenal pertanian dan perkebunan akibat pengaruh dari budaya luar wilayah. Lambat laun tradisi Melangun mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat Suku Anak Dalam.

Pauzan menyadari bila generasi Suku Anak Dalam tertinggal dalam pendidikan, maka ancaman di masa mendatang semakin terpinggir.

“Dia bilang, ‘nanti pendatang mendominasi. Aku sendiri nanti kalau bekerja pasti bukan pimpinannya. Karena pimpinannya adalah pendatang’,” ungkap Mamato menirukan ucapan Pauzan.

Pauzan dulunya mengaku tidak mau sekolah karena masih terpengaruh kenakalan remaja.

“Namun dia menyadari bahwa kalau tidak sekolah, maka Suku Anak Dalam akan semakin terpinggirkan dan lambat laun punah,”

Beranggapan Sekolah Menggerus Budaya

Sebetulnya, lanjut Mamato, pemerintah telah memiliki program pendidikan untuk Suku Anak Dalam ini. Namun minat mereka untuk sekolah masih sangat rendah. Di wilayah-wilayah terdekat dengan tempat Suku Anak Dalam ini, lanjut dia, sebetulnya telah ada mulai dari sekolah tingkat dasar. Namun kesadaran mereka untuk sekolah masih sangat minim.
Mereka beranggapan bahwa sekolah akan semakin menggerus budaya mereka. Keyakinannya—sekolah membuat orang pintar yang—justru akan semakin menggurui dan memperbudak mereka,” bebernya.

Pauzan yang akhirnya kuliah di Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Bogor ini tidak sendiri, ada dua pemuda Orang Rimba lainnya, yakni; Bejujung dan Besiar, keduanya saat ini menempuh kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Jambi (UNJA).

“Film dokumenter ini akan menjadi sekuel, yakni Pulang Rimba 1 dan Pulang Rimba 2,” katanya.

Sedangkan Bejujung awalnya tidak mau sekolah dengan alasan tidak diperbolehkan oleh orang tuanya. “Orang tua Bejujung menganggap bahwa sekolah adalah melanggar budaya yang mereka percayai. Tetapi Pauzan dan Bejujung memiliki alasan yang sama. Setelah kuliah, keduanya ingin pulang ke kampung halaman agar Suku Anak Dalam tidak kalah oleh pendatang,” terangnya.

Delapan Jam Perjalanan

Videographer, Ridho Dwi Ristiyanto mengaku, baginya proses pembuatan Film Pulang Rimba ini menjadi tantangan baru. “Kami berangkat dari Yogyakarta, meski telah melakukan pengumpulan informasi maupun riset online sebelumnya, tapi kami belum mengetahui kondisi medannya seperti apa. Nekat saja,” katanya.

[caption id="attachment_14815" align="alignnone" width="768"] Tim produksi Film Pulang Rimba: Videographer: Ridho Dwi Ristiyanto (kiri), Director: Rahmat Triguna alias Mamato (tengah) dan Editor: Tommy Gustiansyah Putra (kanan). (foto abdul mughis/ruangobrol.id)[/caption]

Informasi akses jalan, rute transportasi, termasuk lama perjalanan telah dilakukan riset dan pemetaan sebelumnya. Perjalanan dari Kota Jambi kurang lebih membutuhkan waktu delapan jam menggunakan travel. Itupun baru sampai wilayah perbatasan.

“Untuk menuju permukiman Suku Anak Dalam di wilayah bagian luar bisa ditempuh menggunakan ojek motor kurang lebih menempuh perjalanan satu jam, kemudian jalan kaki setengah jam. Belum lagi untuk wilayah bagian tengah dan bagian dalam,” katanya.

Hal yang cukup merepotkan, lanjut Ridho, adalah persoalan pengurusan perizinan. “Kami tidak langsung bisa syuting. Dibutuhkan pendekatan dahulu kepada para tokoh di sana. Kami sangat terbantu karena telah terlebih dahulu mengenal Pauzan. Pamannya merupakan Tumenggung dan kekeknya mantan Tumenggung, sehingga sangat membantu mempermudah proses perizinan,” katanya.

Film dokomenter berdurasi 15 menit ini diproduksi oleh Kreasi Prasasti Perdamaian, Executive Producer: Noor Huda Ismail, Producer: Annisa Triguna, Director: Rahmat Triguna, Videographer: Ridho Dwi Ristiyanto, Editor: Tommy Gustiansyah Putra dan Music Director: Angger Widyasmoro.

“Kami sengaja memilih durasi 15 menit, dengan harapan film ini menjadi pemantik diskusi. Sebab, potret permasalahan sosial sebagaimana tercapture dalam film ini sangat memungkinkan juga terjadi di wilayah lain,” imbuh Mamato. (*)

Komentar

Tulis Komentar