Ketika Ajaran Terorisme Mengancam Anak di Bawah Umur

News

by Abdul Mughis

Kita perlu belajar dari Negara yang gagal atau fail state, baik di Negara Afrika maupun di Jazirah Arab.


Paham radikalisme hingga kemudian meningkat menjadi ke terorisme sejauh ini dinilai menjadi ancaman yang sangat berbahaya. Sebab, fenomena isu radikalisme ini seperti bertumbuh “dalam diam” di tengah masyarakat. Diam-diam, ajaran atau paham radikalisme terus bertumbuh—kembang secara pesat dan cepat.

Ironisnya, pemahaman radikalisme yang mengarah ke terorisme ini tidak hanya menyasar orang dewasa. Tetapi juga mengancam generasi muda, remaja, bahwa hingga anak-anak di bawah umur. Fenomena ini “diam-diam” menjadi ancaman besar yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Direktorat pencegahan Densus 88 AT Polri Kompol Agus Isnaini MSi merefleksikan kembali sejumlah kasus teror yang terjadi di masa lalu untuk menjadi pembelajaran bersama. Bagaimana pelaku teror bisa melibatkan remaja dan anak di bawah umur untuk melakukan aksi bom bunuh diri?

“Ini cerita anak berusia sembilan tahun, bagaimana dia bisa memahami definisi jihad, (kemudian melakukan) pengeboman, melukai orang dan mencelakakan orang. Kami juga ragu, ini dapatnya (paham) dari mana? Apakah dia ikut kajian tertentu, eksklusif, saya rasa tidak mungkin. Kemungkinan besarnya adalah dari media sosial,” kata Agus dalam forum Dialog Kebangsaan bertema “Penguatan Ideologi Pancasila dan Kontra Radikalisasi yang diselenggarakan oleh Polres Sukoharjo Jawa Tengah, pada Selasa, 8 November 2022.

Acara tersebut diselenggarakan di Hotel Tosan Solo Baru Sukoharjo dan disiarkan secara live di YouTube Polres Sukoharjo. Agus dalam kesempatan tersebut memutarkan sebuah video pengakuan beberapa pelaku aksi teror. Di antaranya remaja dan anak di bawah umur.

Ini pengakuan seorang anak usia 9 tahun yang rela melakukan bom bunuh diri,” katanya.


Dalam video tersebut tampak seorang anak berusia 9 tahun diajak berbincang oleh orang dewasa mengenai alasan mengapa mau ikut aksi jihad dengan cara melakukan pengeboman.

“Seorang yang mati dalam keadaan sahid, matinya dalam kondisi tersenyum. Semua orang kalau diminta mati sahid langsung senang,” ungkapnya anak tersebut dengan polos.

Menurut Agus, radikalisme dan terorisme ini tidak hanya mengancam warga dewasa. Tetapi telah mengancam anak-anak. “Anak sembilan tahun ini bisa jadi adalah anak-anak kita, cucu kita, keponakan kita dan seterusnya. Betapa ini luar biasa berbahaya pemahaman ini. Bisa masuk kepada siapa pun,” ungkapnya.

Dalam video lain, Agus juga memutarkan sebuah pengakuan seorang remaja yang merupakan pelaku bom bunuh diri. “Ini video cerita pelaku pengeboman JW Marriott, beberapa hari sebelum melakukan pengemboman. Pelaku membuat video testimoni dengan latar background Gedung JW Marriott,” katanya.

Tampak seorang remaja berusia kurang lebih 18 tahun. Dia dengan ekspresi ringan menyatakan kerelaan melakukan aksi pengemboman. Terdengar suara pemuda lain menanyatakan kepada pelaku; “Orang-orang mengatakan ini (aksi bom) bunuh diri. Bagaimana tanggapan Antum?”

“Tidak, itu bukan bunuh diri. Yang namanya bunuh diri itu pasti orang yang putus asa. Saya tidak putus asa. Saya hanya mengharap surganya Allah. Mengharap 72 bidadari,” kata pemuda tersebut dengan nada santai.

Agas menilai, bahwa tidak ada yang salah dengan tujuan “mengharap surganya Allah. Mengharap 72 bidadari” itu. “Tapi dia tidak pernah memikirkan efek dari aksi pengeboman itu. Berapa banyak orang-orang yang jadi janda, jadi yatim, dia tidak berpikir itu. Yang penting tujuan dia tercapai; masuk surga versi dia,” katanya.

Pemahaman seperti ini menjadi fenomena yang berkembang di tengah masyarakat. Ini hal yang menjadi ancaman untuk dilakukan penanganan bersama-sama dengan semua pihak. “Ini anak usia 18-19 tahun lho. Jadi, ancaman terorisme itu nyata,” katanya.

Agus juga bercerita mengenai penanganan radikalisme dan terorisme pada April 2022, yakni di Kabupaten Darmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Saat itu, terdapat 14 orang dilakukan penindakan hukum terkait dengan jaringan Negara Islam Indonesia (NII).

“Setelah dilakukan pengembangan dari alat komunikasi seperti email, catatan mereka dan lain-lain, (jumlah tersebut berkembang menjadi) 1125 orang yang ikut keanggotaan NII. Ini jumlah yang sangat luar biasa,” katanya.

Jumlah tersebut berasal dari satu Kabupaten Dharmasraya. “Pergerakannya sangat cepat sekali. Yang membawakan adalah Ustaz W dari Tangerang Selatan menikah dengan orang Dharmasraya, tiga tahun kemudian anggotanya sejumlah 1125 orang. Paham ini menyebar dengan sangat cepat,” ungkapnya.

Penelitian menyebut, di Suriah, 15 tahun yang lalu, lanjut Agus, potensi konfliknya 15 persen. “Mungkin pemerintah di sana, para ulama, atau yang punya otoritas tidak cepat mengambil tindakan. Sehingga dalam 15 tahun kemudian hancur. Sedangkan di Indonesia saat ini, versi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), potensi konflik di Indonesia sebesar 65 persen. Jauh lebih besar dari Suriah. Kalau semua diam, mungkin tidak butuh waktu 15 tahun terjadi chaos,” katanya.

Belajar dari Negara Gagal

Kapolres Sukoharjo AKBP Wahyu Nugroho mengatakan, bangsa Indonesia adalah bangsa besar, terbentang dari Sabang sampai Merauke, terdiri atas ribuan pulau, bahasa, suku, agama dan jumlah penduduk yang sangat besar.

“Jumlah penduduk terbesar nomor empat di dunia setelah Amerika, China dan India. Terdapat keberagaman dan berbagai potensi yang ada,” katanya.

Dari adanya keberagaman dan berbagai potensi itu, lanjut dia, Indonesia dihadapkan dengan berbagai tantangan. “Di antaranya permasalahan intoleransi, radikalisme dan terorisme. Banyak yang mempersepsikan, bahwa Solo Raya sebagai sebuah episentrum dari berbagai persoalan tersebut,” katanya.

BACA JUGA: Transisi Pemikiran Anti Rezim

Sehingga apabila tidak dilakukan langkah-langkah dan bekerjasama untuk menghadapinya, bisa terjadi konflik sosial, antar kelompok, golongan, dan tentunya menghambat bangsa ini menjadi bangsa yang besar di dunia.

“Kalau kita belajar dari Negara yang gagal atau fail state, di Negara Afrika maupun di Jazirah Arab yang hingga saat ini masih terjadi konflik antar kelompok, ada Suriah, Somalia, dan seterusnya. Mereka memperjuangkan cita-cita yang akhirnya tidak pernah tercapai. Tetapi yang terjadi adalah konflik antar kelompok di antara mereka sendiri. Akibatnya pembangunan tidak bisa berjalan dengan lancar, kemakmuran rakyat tidak tercapai,” katanya.

Bangsa Indonesia telah diwarisi oleh para pendiri bangsa yang dinamakan sebagai Pilar Kebangsaan. Di antaranya Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika.

“Ini lahir dari perenungan dari para pendiri bangsa yang sudah mencita-citakan satu tanah air, satu nusa, bangsa, satu bahasa. Tujuannya agar bisa merekatkan berbagai keragaman yang dimiliki. Keberagaman ini apabila tidak disatukan dalam satu misi dan visi besar bangsa Indonesia tentunya akan terpecah-pecah. Kita semua harus merawat itu semuanya,” katanya.

Maka setiap warga negara harus terus menjaga. “Bagaimana agar setiap orang menjunjung sikap toleransi, semangat kebersamaan, saling menghargai satu dengan yang lain, sehingga tujuan bangsa ini dapat tercapai,” katanya. (*)

Komentar

Tulis Komentar