Yang Tersembunyi di Balik Kelahiran Neo JI

Analisa

by Abdul Mughis

Target mereka “minimal” bisa masuk ke dalam sistem pemerintahan, agar bisa ikut “mewarnai” konsep besar negara ini.


Pasca Jamaah Islamiyah (JI) dibubarkan pemerintah melalui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 2007—sebagai organisasi terlarang, ternyata tidak lantas membuat pergerakan organisasi ini mati. Lahirlah organisasi ‘sayap’ yang diberi nama Neo JI.

Kelahiran Neo JI tidak terlepas dari pengaruh pemikiran Para Wijayanto (ditangkap), dan sejumlah pentolan lain; Joko Priyono alias Karso (49)—bebas dari penjara 17 Mei 2022 dan Budi Trikaryanto alias Haidar (ditangkap).

Joko Priyono ditemui tim riset ruangobrol.id pada Agustus 2022 di Kota Semarang menceritakan bagaimana kelompoknya bisa sangat membaur dengan masyarakat. Mereka membangun narasi dan strategi cerdik, matang dan penuh kehati-hatian. Banyak pemikiran tersembunyi yang tidak diketahui publik di balik kelahiran Neo JI.

Neo JI ini mencetak kader-kader muda militan yang digembleng dengan berbagai macam pengetahuan, intelektualitas, penguasaan Bahasa Arab, ilmu agama, akhlak hingga ilmu bela diri.

Mereka juga memiliki manajemen pengelolaan keuangan yang sangat kuat di bawah kendali Para Wijayanto yang merupakan mantan Manajer PT. Pura Barutama, perusahaan pelat merah pencetak uang negara.

Sedangkan peran penting Joko Priyono di Neo JI adalah mendirikan Sasana, yakni tempat penggemblengan pengetahuan sekaligus melatih ilmu bela diri bagi kader-kader muda JI. Sasana ini sedikitnya telah “meluluskan” tujuh angkatan, terhitung sejak 2012, rutin setiap tahun.

Mereka yang sudah dilatih di Sasana ini sebagian besar dikirim ke Suriah, bergabung dengan berbagai kelompok, mulai dari Free Syirian Army (FSA), Jabah Nusro (JN) bahkan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Karso mengatakan, Neo JI sangat berbeda karakter dengan JI lama. Salah satunya pemahaman terhadap konsep demokrasi, NKRI hingga Pancasila. Dia mengemukakan, kelompok ini memiliki tujuan jangka panjang, “minimal” bisa masuk ke sistem pemerintahan, “mewarnai” konsep besar negara ini.

Salah satu strateginya adalah konsep Tamkin. Istilah Tamkin, kata Karso, berasal dari kisah Nabi Yusuf di era pemerintahan Raja Firaun yang kafir. Karena akhlaknya, Nabi Yusuf diberi jabatan dan berhasil, kemudian dipuji oleh Allah. Hal itu dijelaskan dalam Surat Yusuf ayat 66.

Tamkin ini konsep jangka panjang. Kalau sistemnya sudah jalan, siapa pun yang berkuasa tidak masalah, Kami tidak memaksakan harus memimpin,” kata Karso.


Neo JI berdiri di bawah amir, Para Wijayanto, kemudian Para meminta Karso untuk melatih beladiri, kelasnya seperti atlet dan diminta merintisnya. Materinya beragam, di antaranya jiujitsu hingga ninjitsu.

“Tiap angkatan 12-19 orang. Umurnya berkisar 19- 21 tahun, rata-rata di bawah 25 tahun. Syarat utamanya belum ada keinginan untuk menikah. Pernah ada yang ketahuan pacaran melalui HP, ya sudah dikasih uang disuruh pulang,” beber Karso.

Walaupun sebenarnya tidak diprioritaskan ke Suriah, namun kenapa mereka yang dikirim? Karso menjelaskan, karena secara fisik, mental juga Bahasa Arab, mereka ini lebih siap daripada kader JI yang lain. Ada juga beberapa jebolan Sasana jadi trainer di kelompok JN.

Walaupun demikian, pengiriman ke Suriah tidak selamanya mulus. Di antaranya; angkatan 6 hanya 1 yang bisa masuk, yang 5 dideportasi. Angkatan 7 belum masuk Suriah. Angkatan 1 hingga 5 sudah masuk Suriah.

“Kami kirim pakai nama Jamaah Anshorud Islam (JAI), tidak pakai nama JI ataupun Neo JI,” lanjut Karso yang merupakan anak tentara ini.

Sekali pengiriman kader Sasana ke Suriah, membutuhkan biaya hampir Rp 400 juta rupiah. Dia menyebut, kelompoknya dulu memiliki dana kas besar. Salah satunya selain dari aset-aset, juga infaq jamaah yang menjadi sumber pendanaan.

BACA JUGA: Jejak Kecerdikan Para Wijayanto Mengubah Taktik JI

Apalagi, sebut Karso, amir Neo JI kala itu yakni Para Wijayanto sangat bagus dalam hal manajerial, termasuk mencari dan mengelola keuangan. “(Para Wijayanto) dulu manajer di PT Pura,” kata dia.

Ketika Neo JI mulai dibangun, lanjut Karso, sempat didatangi oleh seorang lelaki yang mengaku dari Al Qaedah. Mereka menawarkan uang Rp 2 miliar untuk digunakan aksi pengeboman. Namun, Para Wijayanto ketika itu memerintahkan untuk menelusuri latar belakang dan segala informasi tentang orang tersebut.

“Diikuti hingga Yordania, ternyata ditangkap di sana (mata-mata). Dulu waktu Bom Bali I, saya dengar juga ada seperti ini, menawarkan uang untuk aksi bom. Tetapi Imam Samudra tidak seperti Pak Para,” katanya.

Sosok Para Wijayanto, kata Karso, sangat berhati-hati dan selalu melakukan kroscek kebenaran terlebih dahulu. “Maka ketika itu kami ditawari Rp 2 miliar itu, juga tidak lah,” ungkap Karso.


Sebab, nilai uang Rp 2 miliar tersebut dianggap kecil, karena dana yang dikelola kelompok Neo JI jauh lebih besar.

Terkait Sasana, Karso menyebut, lokasinya berpindah-pindah, dari Kabupaten Semarang di daerah Bandungan, Nyatnyono, Bawen, hingga Ambarawa, maupun juga di antaranya di Purwodadi, Kabupaten Grobogan hingga Magelang.

Total tujuh angkatan telah diluluskan. Mereka merupakan anak-anak muda kader JI dari pesantren. “Finisihingnya adalah akhlak. Kalau akhlaknya buruk, kemasi barang, kasih uang, silakan pulang,” cerita Karso.

Dia mengatakan, satu-satunya jamaah jihad di Indonesia adalah JI. Sebab itulah pembinaan fisik mutlak harus dilakukan, jadi kebisaaan. Tujuannya agar menjadi mukmin yang kuat dan tangguh. Memang, berdakwah adalah tentang kemampuan bicara, namun kalau ada orang yang akan menyakiti minimal bisa membela diri.

BACA JUGA: PPATK Sebut 21 Lembaga Filantropi Terkait Jaringan Teror

Dalam hal bersosialisasi dengan masyarakat, kelompok ini juga memiliki sepak terjang sangat baik. Dia mencontohkan pengalaman pribadi ketika ditangkap polisi pada 2019 di Madiun, Jawa Timur, alamat asalnya.

“Saya biasa bergaul dengan orang-orang sekitar, nongkrong di warung kopi, bahkan mohon maaf dengan orang yang bekerja di tempat karaoke. Orang yang sering dicap negatif. Waktu saya ditangkap, bahkan mereka tidak percaya kalau saya terlibat terorisme,” katanya.

Bahkan anak Karso yang lulusan Darussyahadah Boyolali, tetap dipercaya atau dijadikan imam masjid di lingkungan tinggalnya—pasca dia ditangkap. “Artinya, masyarakat tidak ada masalah,” beber jebolan S1 Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro Semarang angkatan 1991 ini.

Karso saat berada di bangunan yang pernah digunakan sebagai Sasana Neo JI di Kawasan Gintungan, Bandungan, Kabupaten Semarang.

Pasca ditangkap, lanjut Karso, masyarakat sekitar di tempat tinggalnya di Madiun, bahkan membantu istrinya untuk pindah ke Kota Semarang. Karso juga menyebut, Para Wijayanto yang notabene amir Neo JI juga tidak menyuruh melakukan aksi “balas dendam”.

Karso sendiri mengaku telah ikrar setia NKRI saat ditahan di Rutan Polda Metro Jaya, Jakarta. Setelah itu dia dipindah ke Lapas Ambarawa Kabupaten Semarang sebelum akhirnya bebas dari penjara. (*)

[Tulisan ini berasal dari data wawancara tim riset ruangobrol, Eka Setiawan dengan Joko Priyono alias Karso di Semarang pada Agustus 2022].

Komentar

Tulis Komentar