Melawan Terorisme Secara Indah

Analisa

by Administrator

Melawan Terorisme Secara Indah

(Catatan Kecil Film Sayap-Sayap Patah)

Oleh: Mohammad Nuruzzaman (Stafsus Menteri Agama Republik Indonesia)

 

Seni secara umum dinikmati sebagai sebuah hiburan. Akan tetapi sejarah seni menunjukkan bahwa kreativitas manusia yang satu ini lebih dari sekadar sebuah hiburan. Aspek estetika dan daya tarik dari sebuah karya seni membuatnya memiliki fungsi transendental yang liar sekaligus mengakar dari sekadar hiburan pelepas kepenatan.

Sejak dulu, seni telah menjadi teman penting dalam kehidupan manusia. Pun demikian, seni menjadi unsur penting dalam berbagai praktik ritual keagamaan. Melalui cara tertentu, seni bahkan bisa menjadi sarana pencerahan dan pembebasan manusia dari keterkungkungan sikap-sikap rendah.

Seni juga punya sejarah sebagai ritus atau sarana untuk melakukan perlawanan. Hasta Siempre, misalnya, adalah sebuah lagu yang sanggup menggelorakan perlawanan rakyat terhadap penghisapan kapitalisme Barat terhadap negara-negara miskin di Amerika Latin.

Sekalipun demikian, seni tetap mampu menjaga dirinya sebagai sarana hiburan yang memungkinkan penikmatnya untuk keluar dari kelelahan dan kepenatan. Justru di sinilah kekuatan sebuah seni. Ia bisa mengirimkan pesan apapun, termasuk pesan-pesan perlawanan, dengan cara yang tetap indah. Publik tidak merasa digurui karena yang disentuh adalah hati.

Dalam kerangka itulah kita menyambut hadirnya film Sayap-Sayap Patah garapan Rudi Soedjarwo. Film ini mengangkat kisah romansa di balik insiden berdarah yang terjadi di Mako Brimob pada 2018 silam. Film yang dibintangi oleh Nicholas Saputra dan Ariel Tatum sebagai pemeran utama ini mengalurkan kisah cinta seorang anggota Densus 88 dengan istrinya. Aji, sang anggota Densus, dan istrinya, Nani, adalah pasangan muda yang sedang menunggu kelahiran bayi pertamanya.

Si Ganteng Nicholas Saputra dan si Cantik Ariel Tatum berhasil menghidupkan film ini melalui perannya yang sangat baik. Kehadiran dua bintang ini adalah jaminan bahwa kisah romansa ini akan langsung membetot diri kita ke dalamnya.

Jika kisah cinta pasangan muda dibumbui oleh pertengkaran karena kecemburuan-kecemburuan, di sini kita disuguhi pergulatan perasaan cinta dengan kecemasan akan keselamatan suami tercinta. Ariel berhasil memerankan Nani yang tengah hamil tua dan terus-menerus dicekam kecemasan, kekhawatiran dan ketakutan karena suaminya yang karena profesinya harus langsung berhadapan dengan kelompok teroris.

Kecemasan ini membuat kehamilannya bermasalah sehingga harus mengungsi ke rumah orangtuanya di Jakarta. Ketika Aji dipindah tugas ke Jakarta, kita berharap begitulah ending setiap kehidupan yang dipenuhi cinta. Tapi, bagi pasangan ini, itu baru permulaan. Plot ini memuncak ketika di hari pertama tugasnya, Aji justru disandera para tahanan teroris di Mako Brimob, sedang pada saat yang sama si istri sedang berjuang dengan kelahiran anak pertamanya.

Mengikuti keseluruhan film ini, kita diajak untuk merenungi fenomena terorisme dan berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Melalui film, kita tidak hanya membuka mata kepala, tapi juga mata hati. Melalui mata hati itulah film ini mengirim pesan bahwa di setiap peristiwa kekerasan, ada cinta yang terluka di baliknya.

Sebagaimana yang disampaikan Denny Siregar yang mewakili Denny Siregar Production, kita semua harus melawan terorisme. Tidak boleh ada pemikiran dan perilaku kekerasan sebagaimana yang dipertontonkan seorang teroris untuk bisa diterima dalam keindonesiaan kita. Mengapa? Karena keindonesiaan kita adalah keindonesiaan yang harus punya hati. Tanpa hati, keindonesiaan kita hanya akan menjadi retorika untuk permusuhan dan pertumpahan darah.

Sekalipun film ini mengangkat tema teorisme dan bagaimana institusi kepolisian melalui Densus 88 menjadi garda terdepan dalam melawannya, namun tema ini dikemas menjadi drama romansa yang indah. Terorisme bisa dilawan dengan kekerasan. Akan tetapi terorisme juga bisa dilawan dengan cara-cara indah melalui karya seni. Tak setiap kekerasan harus dilawan dengan kekerasan bukan?

Retorika terorisme seringkali menjadi debat kusir di ruang publik. Bahkan, ada politisi dan tokoh agama yang tanpa malu membenarkan aksi terorisme. Namun, ketika kita semua disadarkan bahwa di belakang setiap tindakan kekerasan, kita semua adalah manusia yang punya nurani, kita akan tersadar bahwa kepentingan-kepentingan politik sesaat tidak boleh digunakan untuk membenarkan aksi kekerasan.

Ada cinta dan kasih sayang yang terus perlu kita hidupkan dan jaga. Ketika menonton film ini, kita akan tetap bisa merasa fun sebagaimana kita menikmati sebuh karya seni. Namun kita juga diajak untuk membayangkan posisi kita dalam seluruh plot kisah di dalamnya.

Di setiap bagian, kita tanpa sadar akan diajak melakukan transposisi: seandainya kita adalah Aji dan Nani, atau seandanya Aji dan Nani adalah anak-anak kita. Ketika kita melakukan transposisi ini, kita tidak perlu lagi memperdebatkan apakah terorisme itu benar atau salah; apakah mereka layak diterima di Indonesia ataukah tidak. Nurani kita akan langsung menolak setiap bentuk kekerasan, dalam bentuk apapun dan dengan alasan apapun.

Di akhir film, kita akan memiliki pencerahan bahwa tidak boleh ada cinta yang direnggut atas nama apapun. Tidak boleh ada kehidupan, sekecil apapun, yang harus menjadi korban karena ada sekelompok orang yang merasa bahwa tindakan kekerasan adalah sebuah panggilan Tuhan.

Pada akhirnya, kita akan menginsafi bahwa Tuhan tidak menyuruh hamba-Nya untuk merusak kehidupan melalui aksi terorisme, karena Tuhan sendirilah yang menciptakan kehidupan ini. Kehidupan hanya bisa tumbuh dengan cinta, bukan kebencian dan kekerasan.

 

Komentar

Tulis Komentar