Sandal Jepit, Algojo dan Penghakiman ‘Raja Kecil’ di Bilik Penjara

Analisa

by Munir Kartono

Kisah nyata di Rutan Mako Brimob Jakarta dalam rentang 2016-2020.

***

Aku tidak sanggup melihat mereka mencambuk tubuh Leo, pemuda Batak penghuni kamar A3. Tapi, semuanya telah terjadi.

“Kita nggak bisa berbuat apa-apa. Mereka sekarang yang mendominasi di sini.”

Leo tersenyum kecut. Tatapan matanya tajam dan nanar seperti menyimpan sekam membara. Dia pun berdiri menghantamkan kepalan tangan ke dinding tembok. Aku paham, dia melepaskan kekesalannya.

“Aku bukan masalahin sakit badanku, Mas Mun. Harga diriku diinjak-injak, terkoyak karena mereka hancurkan,” kata Leo.

Aku menepuk bahu saudaraku itu.

“Sabar, Lae. Hanya itu yang kita bisa. Aku yakin suatu saat nanti mereka akan menyadari kesalahan itu. Mereka akan paham NKRI. Dengan kebesaran hati, mereka akan datang kepadamu untuk meminta maaf atas kesalahan yang telah terjadi,”

Leo hanya diam. Sorot matanya semakin tajam. Tampak sekali, dia tidak bisa menyembunyikan dendam yang membara di dalam dada.

Leo terlanjur kesal dan marah dengan segala ketidakberdayaannya menghadapi penghuni kelompok mayoritas di Rutan Mako Brimob ini. Aku paham betul, tapi tidak bisa berbuat banyak.

***

“Braaakkk…” pintu pertama blok dibuka.

Seorang petugas penjaga rutan bertubuh gempal masuk ke dalam. Aku yang menunggunya dari balik jeruji sumringah kegirangan. Hari ini adalah hari Jumat. Itu berarti aku bisa keluar dari kamar yang sempit dan sumpek ini. Meskipun hanya menghirup udara segar di lapangan samping. Tapi setidaknya penatku bisa sedikit hilang dengan bersentuhan sinar mentari. Langit biru cerah dan kicau burung bersenandung indah.

“Ayolah Pak Dwi, lebih cepat..” gumamku berharap kepada petugas penjaga rutan segera membuka sel. Posisi kamarku memang di sudut terjauh dari pintu blok. Penghuni lama menyebutnya sebagai kamar isolasi.

***

“Sal, kamu nggak ikut main futsal?” tanya Feri, salah satu penghuni.

Faisal, pemuda asli Solo yang dikenal berwajah tampan itu pun menoleh. “Nanti aja gantian, saya mau jalan sehat dulu sama Munir.” kata Faisal sambil mempercepat langkahnya mengejarku.

Sambil berjalan, Faisal berbicara kepada aku.

“Nanti sebelum Salat Jum’at, para kepala (Amir) kamar mau kumpul sama kepala blok dan para asatidz di Kamar A5,” kata Faisal.

“Ada apa?”

Faisal hanya menjawab singkat. “Amir blok mau meng-iqab (menghukum) Leo.” Tapi ia enggan membahasnya lebih lanjut.

Mendengar itu, aku kaget. “Serius Sal? Masalah apa?”

Faisal mengangkat bahunya. “Katanya sih, karena rokok dan kedekatan Leo dengan personel Densus 88.”

Saya hanya bisa geleng kepala saat itu. “Ane nggak habis pikir, Sal. Udah sama-sama hidup di penjara, pasalnya juga sama-sama terorisme, masih aja gesekan. Apa nggak ada yang lebih penting dari itu?”

Faisal hanya diam.

Aku memang mendengar bahwa banyak yang berubah di Rutan ini. Terutama soal sikap dan perilaku para tahanan afiliasi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang dikenal sebagai Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), Firqoh Abu Hamzah (FAH), atau apalagi lah namanya. Mereka tak hanya keras dan keras kepala, tapi juga arogan terhadap para petugas, bahkan terhadap tahanan lain yang berbeda kelompok seperti Jamaah Islamiyyah (JI).

Dulu katanya, orang-orang JI bisa bergantian dengan orang-orang ISIS menjadi imam salat fardu atau Salat Jumat. Tapi semenjak orang-orang ISIS mendominasi, orang-orang JI disingkirkan dengan alasan berbeda manhaj. Dianggap fasiq, bahkan tidak sedikit yang menganggapnya telah murtad karena tidak mengakui kekhilafahan ISIS.

Beberapa petugas juga pernah ada yang bilang, “Meskipun statusnya beda, kami petugas dan dia tahanan. Tapi kalau tahanan yang dulu masih enak. Mereka masih bisa diajak ngobrol atau bercanda. Nggak seperti tahanan sekarang, sedikit-sedikit ribut.”

Bahkan soal rokok, aku pun merasakan kalau dulu antara perokok dan bukan perokok bisa saling hidup berdampingan. Tanpa menjadi persoalan di rutan ini, asalkan bisa pilih tempat dan tidak saling mengganggu.

Entah, apa mungkin karena dulu tahanan perokok kebanyakan dari Sulawesi seperti dari Poso dan Palu yang kerap membawa senjata. Sehingga yang lain tidak berani untuk protes? Aku tidak tahu. Yang jelas kondisi telah berbeda, gesekan sering terjadi hanya karena masalah sepele.

***

Menjelang waktu Salat Jumat, kurang lebih 15 orang duduk melingkar di kamarku. Termasuk Faisal ada di ruangan itu, karena ia pengurus blok. Aku menerka-nerka apa yang akan terjadi. Hingga kemudian salah seorang lelaki yang “dituakan” menggerakkan kepalanya.

Dia memberikan kode kepada lelaki lain di ruangan itu. Lelaki itu pun menganggukkan kepala sebagai kode balasan bahwa ia mengerti dan kemudian berdiri melangkah menuju sel A3 yang juga sudah dibuka.

Tak lama, lelaki itu pun kembali dengan mengajak seorang lelaki lain, dia adalah Leo. Tampaknya yang Faisal katakan benar. Mereka akan melakukan penghakiman terhadap Leo.

Leo yang baru datang itu lalu ikut duduk. Tatapannya tajam seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya. Namun dia cukup sadar bahwa yang ada di hadapannya 15 orang dan jika terjadi kegaduhan, petugas penjaga pasti akan masuk ke dalam blok. Leo pun memilih untuk menenangkan dirinya.

Seorang yang digelari ustaz berperan mirip ‘raja kecil’ kemudian berdiri setelah amir blok membuka acara perkumpulan dengan beberapa patah kata.

Merokok adalah perbuatan maksiat.” ujar lelaki bergelar ustaz itu.


“Di Daulah (Negara/ISIS), merokok adalah perbuatan kemaksiatan yang dilarang dan ada hukuman bagi pelakunya. Kita sebagai Anshar Daulah (pengikut ISIS), meskipun di dalam penjara, kita juga harus menerapkan hukum tersebut. Leo, saya berharap antum (kamu) menerima hukuman ini sebagai bentuk sayang kami kepada antum supaya antum terbebas dari dosa maksiat.”

Leo terlihat menghela napas seraya berusaha menenangkan diri agar bisa mengatur ucapan.

“Maaf, saudara semua. Bagaimana jika saya menolak hukuman ini?” tanyanya dengan sopan.

Ustaz itu pun menjawab, “Antum nggak bisa menolak hukuman ini. Ini aturan syariat yang harus dijalankan.”

Nampaknya Leo sudah mulai kesulitan untuk menjaga kesabarannya. Napasnya sudah mulai cepat memburu, “Aturan syariat yang mana? Aturan syariat versi kalian yang kalian paksakan pada tiap orang yang berbeda pandangan. Rokok yang kalian anggap barang haram sementara banyak kiai, ustaz bahkan habaib juga merokok?”

Ustaz itu pun mulai menampakkan emosinya.

Ini aturan Daulah. Manhaj yang telah sesuai dengan syariat. Apa Antum mau mengikuti para ulama jahat hamba Pancasila yang sudah murtad itu? Antum ini Anshar Daulah. Nggak pantas menjadi pengikut Thagut (setan).”


Leo hanya tersenyum mendengar ucapan lelaki paruh baya di hadapannya. “Asal kalian tahu, saya telah mencabut bai’at saya pada ISIS. Bukan sekadar karena rokok, tapi karena saya sudah tahu kerusakan manhaj kalian dan ISIS. Jadi tidak perlu atur saya lagi karena saya bukan bagian dari kalian,”

“Satu hal lagi, ini Indonesia bukan negara kalian. Kalian bukan siapa-siapa di negara ini. Jadi kalian tidak perlu sok-sokan menjadi aparat panitia surga yang mengatur dosa dan pahala orang lain.”

“Astaghfirullah, Antum jadi sudah murtad?” saut lelaki lain.

Tanpa Leo sadari, empat orang menarik tangannya dari arah belakang dan memaksanya untuk tengkurap dan mengikatnya. Aku terkejut melihat peristiwa itu. Aku khawatir perbedaan pendapat berakhir kekerasan fisik.

BACA JUGA: Menyesali Perbuatannya, Munir Minta Maaf Kepada Korban

Aku tidak menduga, seorang lelaki yang ditugaskan sebagai “algojo” tiba-tiba berdiri. Dia berjalan mendekatiku, lantas jari-jari besarnya merengkuhku dengan kasar. Dia menjadikanku pengganti pecut untuk mencambuk dan memukul tubuh Leo.

Terjadi benturan cukup keras. Berkali-kali pukulan mendarat di tubuh Leo. Dia tampak mengerang kesakitan. Saat itu, aku seperti sandal jepit yang digunakan untuk menggebuki muka kawan sendiri.

Maafkan aku Leo. Sungguh, aku sama sekali tidak pernah bermaksud menyakitimu. [*]

***

Munir Kartono divonis lima tahun penjara atas keterlibatannya sebagai penyandang dana kasus bom bunuh diri di Mapolresta Solo pada 5 Juli 2016 silam. Bom bunuh diri dilakukan Nur Rohman, warga Sangkrah, Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah. Munir sendiri mendapatkan keringanan dan hanya menjalani hukuman 3,8 tahun dan bebas pada 2020.


***

Editor: Abdul Mughis

Komentar

Tulis Komentar