Perempuan, Jihad dan Propaganda Kelompok Teror

Analisa

by Akhmad Kusairi

Meilani Indira Dewi alias Lani alias MD (47) kembali ditangkap oleh Densus 88 Anti Teror Mabes Polri pada 8 Maret 2022 di Kota Bandar Lampung. Lani ditangkap karena tergabung dalam grup Annajiyah Media Center selaku orang yang membuat dan menyebarkan poster-poster digital berisi propaganda. Selain Lani ada beberapa orang lainnya yang juga ditangkap dari kelompok yang sama.

Lani yang merupakan sarjana perbankan ini pernah ingin hijrah dengan ISIS di Suriah. Namun usahanya gagal karena ditangkap aparat keamanan Turki tak lama setelah ia mendarat di Bandara Istambul.

Lani kemudian dideportasi pada  Oktober 2017.  Akibat tindakannya ini, Lani harus mendekam di penjara selama  3 Tahun 6 Bulan. Namun karena berperilaku baik dalam tahanan, dia diberi kemudahan bisa menikah di dalam penjara. Lani juga mendapatkan remisi sebanyak 9 bulan 29 hari. Hampir sepertiga dari putusan yang diketok pada 29 Agustus 2018 lalu.

Meskipun sudah diperlakukan secara baik oleh aparat, ghirah jihad Lani tidaklah padam. Sepertinya Lani terus ingin berkontribusi dalam jihad yang sudah dianggapnya sebagai Fardu A’in itu. Lani beranggapan kontribusi sedikit pun dalam mensukseskan jihad akan menggugurkannya dari kewajiban jihad. Karena itu dia bergabung dengan channel grup Annajiyah Media Center.

BACA JUGA: Ancaman Keterlibatan Perempuan dalam Aksi Terorisme di Indonesia

Sebuah grup pendukung ISIS yang aktif melakukan propaganda di media sosial. Karena itu tidak ada jaminan seorang napiter berperilaku baik di dalam penjara tidak akan mengulangi lagi perbuatannya kembali ketika telah dibebaskan. Menariknya, Lani merupakan perempuan pertama yang menjadi residivis dalam kasus terorisme.

Kembali ke Jaringan Lamanya

Ada beberapa faktor penyebab seorang residivis terorisme kembali terlibat kasus terorisme.  Di antaranya adalah, adanya penolakan masyarakat, faktor ekonomi, faktor glorifikasi dan ideologi dari kelompok lamanya yang masih kuat. Dalam kasus Lani, sepertinya yang menjadi faktor pendorong dia terlibat kembali karena faktor ideologi.

Lani sepertinya masih penasaran dengan Kekhalifahan ISIS. Ghirah jihadnya masih tinggi. Sehingga fatwa dari Khalifah  pertama ISIS Abu Bakar Al Baghdadi yang menyerukan jihad di mana pun dan dengan apa pun benar-benar ia yakini.

Karena itu, dia memilih dengan berjihad melalui media yang sejak awal kemunculannya sangat unggul dengan konten-konten menarik. Misalnya melalui film dan poster-poster yang memukau.

Dari kasus Lani ini menunjukkan bahwa tidak hanya laki-laki yang berpotensi bisa menjadi residivis dalam kasus terorisme. Melainkan perempuan juga bisa. Saya yakin Lani bukan perempuan satu-satunya. Melainkan ada potensi deretan nama lain akan juga menjadi residivis.

Hal itu misalnya terlihat dari mantan napiter perempuan yang menikah dengan orang yang berasal dari kelompok lamanya. Parahnya lagi suaminya ini masih sangat keras ideologinya soal jihad. Akibatnya, setelah menikah beberapa Yayasan yang berupaya melakukan program reintegrasi dengan beberapa mantan kehilangan akses terhadap mereka. Akibatnya, program yang dirancang terhadap mereka berantakan.

Karena itu para stake holder sebaiknya berkaca dari gagalnya program reintegrasi terhadap Lani ini. Apalagi berdasarkan data pengadilan, hingga saat ini total ada 59 perempuan yang berhadapan dengan hukum akibat terlibat kasus terorisme di Indonesia.

Merujuk kepada data putusan pengadilan, terdapat 43 perempuan yang telah melalui proses peradilan pidana. Saat ini 20 orang di antaranya masih berstatus sebagai napiter. Sedangkan 23 orang sisanya telah berstatus sebagai mantan narapidana terorisme.

Sedangkan 16 orang masih dalam masa penyidikan, penuntutan, atau proses peradilan. Meskipun terbilang cukup kecil dibanding dengan dua ribuan laki-laki yang menjadi napiter. Namun menjalankan program deradikalisasi terhadap para mantan napiter perempuan juga bukan hal yang mudah.

Di samping karena faktor ideologinya yang cenderung masih sangat kuat, keterbatasan SDM dari aparat seperti Densus dan BNPT yang perempuan juga menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi kalau bicara soal kapasitasnya.

Bagaimana Posisi Perempuan dalam Jihad?

Baru-baru ini beredar video fatwa Ustad Oman Rahman Alias Aman Abdurahman terpidana mati beberapa kasus terorisme di Indonesia. Di antaranya serangan Thamrin, Bom Kampung Melayu dan lain-lain. Dalam fatwa yang tertuang di dalam youtube tersebut Ustad Aman menyampaikan jika di dalam sejarah Islam perempuan tidak dilibatkan dalam Jihad.

Perempuan dan anak-anak menurut Ustad Aman seharusnya tidak dilibatkan dalam aktivitas jihad. Menurut Ustad Aman Jihad perempuan itu adalah haji mabrur seperti yang terdapat di dalam hadis sahih Bukhori. Apalagi anak-anak. Ustad Aman menjelaskan dalam kondisi perang pun Nabi bahkan tidak melibatkan perempuan dalam Jihad. Seperti dalam Perang Tabuk, Uhud, Khondaq juga demikian. Perempuan dan anak-anak tetap berada di Madinah.

Karena itu, Ustad Aman mempertanyakan perempuan melibatkan jihad ikut tuntutan siapa? “Ingin terlihat keren? Seolah ketika mati jihad sudah otomatis masuk surga? Belum tentu. Kalian ikut tuntutan siapa? Apalagi kalau anak-anak,”

Tuntutan jihad ini menurut Ustad Aman di dalam Kitab Gulufi Takfir karangan Ibnu Taimiyah. Ketika orang Muslim hidup di negeri Kafir dan dalam kondisi lemah maka yang digunakan adalah ayat-ayat sabar, menahan diri dari mengganggu orang lain.

Dia mencontohkan kala itu kaum Muslim tinggal di Mekkah, sementara Nabi sudah tinggal Madinah. Orang di Mekkah tidak ikut berjihad karena dalam posisi lemah di bawah penindasan kaum Quraisy.

Kalau mengikuti fatwa Ustad Aman, sebenarnya tidak ada yang baru. Namun fatwa tersebut heboh di kalangan pendukung ISIS. Terutama antara golongan rinci dan non rinci. Pada tahun 2018 lalu, bahkan Ustad Aman menganggap Bom Surabaya yang dilakukan oleh beberapa perempuan dan anak-anak itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang kurang akalnya.

Karena itu masalah terorisme harusnya menjadi masalah kita bersama. Bukan lagi menjadi urusan aparat atau pemerintah saja. Melainkan masyarakat harus ikut andil dalam menanggulangi dan mencegah terorisme dengan segala turunannya. Apalagi sudah ada payung hukum Perpres Rancangan Aksi Nasional Pencegahan ekstremisme kekerasan.

RAN PE tersebut mengamanatkan adanya partisipasi dari masyarakat sipil dalam upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme. Meski belum kelihatan dampaknya, setiap upaya-upaya itu tetap harus didukung penuh. Salah satu yang belum terlihat adalah adanya mantan napiter perempuan yang menjadi credible voice dalam upaya-pencegahan terorisme. Karena itu setiap upaya dari masyarakat sipil dalam program pendampingan mantan napiter harus didukung. (*)

Komentar

Tulis Komentar