Sederet Pasal yang Menjerat Para Ustaz Jamaah Islamiyah

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Membaca pemberitaan tentang ditangkapnya sejumlah ustaz yang dikenal santun, ramah, pintar, dan beberapa di antaranya merupakan pengurus partai Islam, ormas Islam, dan bahkan ada yang pengurus MUI, membuat banyak orang terkejut dan bertanya-tanya. Tiba-tiba saja mereka ini ditangkap dan disebut-sebut terlibat dalam kelompok Jamaah Islamiyah (JI).

Sebagai orang yang pernah mendapat pembinaan dari JI di masa lalu (1996-2008), saya termasuk orang yang sangat sedih melihat banyaknya penangkapan para ustaz itu. Saya tahu dakwah yang dilakukan sejumlah ustaz JI itu sudah semakin moderat dan banyak mengoreksi pemahaman lamanya.

Menjadi pengurus ormas dan partai Islam itu merupakan bukti nyata bahwa sejatinya mereka telah banyak berubah. Dulu kami mengharamkan mutlak demokrasi karena dianggap sebagai sistem syirik.

JI sejatinya sudah semakin jauh dalam menyamakan pola gerakannya dengan gerakan yang sudah ada dan didukung oleh umat. Tetapi persoalannya, JI juga masih belum meninggalkan gerakan rahasianya. Mereka masih merahasiakan adanya program persiapan proyek jihad. Dakwah dan Jihad masih menjadi semacam harga mati bagi JI yang tidak berubah sejak dulu meskipun berubah dalam bentuk prakteknya.

Hingga hari ini, meskipun JI tidak pernah melakukan aksi serangan di dalam negeri, tetapi program persiapan untuk jihad itu masih terus berlangsung. Keberadaan sasana-sasana pelatihan yang ditemukan oleh aparat kepolisian, pengiriman kader-kader JI ke Suriah, dan ditemukannya bunker senjata di persembunyian Upik Lawanga akhir 2020 yang lalu adalah bukti.

JI meyakini suatu saat nanti umat pasti akan memerlukan jihad. Sehingga persiapan (i’dad) itu harus terus dilakukan. Persoalannya adalah i’dad itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan JI telah ditetapkan menjadi organisasi terlarang sejak 2008. Inilah dua hal yang menjadi biang utama kenapa saat ini JI sedang menjadi target utama operasi anti teror.

Coba JI itu menjadi ormas yang legal seperti Muhammadiyah dan NU, lalu i’dadnya dilakukan secara resmi dalam binaan TNI-POLRI seperti Kokam dan Banser. Tentu tidak akan dijerat dengan UU Terorisme.

Nah, bicara soal UU Terorisme, dalam UU Terorisme Nomor 5 Tahun 2018 ada pasal-pasal yang memang sangat kuat untuk digunakan menjerat para tokoh dan anggota JI karena dua hal, yaitu adanya program i’dad dan rencana jangka panjang JI. Catatan, JI sendiri telah ditetapkan sebagai organisasi terlarang sejak 2008.

Sejauh pengamatan dan pemahaman saya pada UU Nomor 5 Tahun 2018, ada beberapa pasal yang sangat kuat untuk menjerat para tokoh dan anggota JI. Di antaranya adalah:

Pertama, Pasal 12A ayat 1-3 yang berbunyi:

(1) Setiap orang yang dengan maksud melakukan Tindak Pidana Terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain, merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan Tindak Pidana Terorisme dengan orang yang berada di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

(2) Setiap Orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang untuk menjadi anggota Korporasi yang ditetapkan dan/atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.

(3) Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengendalikan Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Kedua, pasal 13A yang berbunyi:

“Setiap orang yang memiliki hubungan dengan organisasi terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat mengakibatkan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun”

Kemudian ditambah lagi pasal-pasal soal kewenangan aparat dalam melakukan penangkapan dan proses penyidikan berikut:

Pasal 28 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:

(1) Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari.

(2) Apabila jangka waktu penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.

Pasal 31 ayat 1-4

(1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berwenang:

a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa; dan

b. Menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan tindak pidana terorisme, serta untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan terorisme.

(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah mendapat penetapan dari ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik yang menyetujui dilakukannya penyadapan berdasarkan permohonan secara tertulis penyidik atau atasan penyidik.

(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

(4) Hasil penyadapan bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penyidikan tindak pidana terorisme.

Pasal 31A yang berbunyi:

“Dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu terhadap orang yang diduga kuat mempersiapkan, merencanakan, dan/atau melaksanakan tindak pidana terorisme dan setelah pelaksanaannya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari wajib meminta penetapan kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik”

(Pasal-pasal di atas akan kita bahas lebih lanjut pada kesempatan yang lain)

Setelah membaca uraian di atas saya berharap setiap orang terutama para tokoh ormas, partai Islam dan pengurus MUI bisa memahami alasan di balik penangkapan para terduga teroris yang santun, ramah, dan moderat itu.

Dan kepada teman-teman yang masih setia dengan Jamaah Islamiyah, saya berharap bisa belajar dari kasus- kasus yang terjadi belakangan ini. Semoga segalanya bisa menjadi lebih baik. (*)

Gambar ilustrasi. (Credit Photo by Ron Lach:https://www.pexels.com)

Komentar

Tulis Komentar