Lika-Liku Menjadi Credible Voices: Refleksi Empat Tahun Kebebasan (1)

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Hari ini tanggal 23 Oktober 2021 merupakan hari ulang tahun kebebasan saya dari penjara. Tepat empat tahun yang lalu saya meninggalkan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Salemba Jakarta. Meskipun proses untuk mendapatkan pembebasan bersyarat (PB) sempat tersendat karena masalah birokrasi, alhamdulillah akhirnya bebas juga setelah menjalani pidana selama 3 tahun 3 bulan dan 27 hari.

Pulang dari penjara itu bagi seorang suami dan ayah merupakan hal yang sangat membahagiakan. Bisa berkumpul kembali dengan keluarganya setelah bertahun-tahun dipisahkan oleh tembok penjara. Sangat menyenangkan. Tetapi percayalah, bagi seorang kepala keluarga yang berstatus ‘mantan narapidana teroris’ itu hanya dirasakan sesaat.

Seminggu atau dua minggu setelah bebas saya mulai galau. Bingung mau mulai kerja apa. Bingung dari mana akan memulai. Modal uang tidak punya, relasi dengan kawan-kawan sudah lama terputus. Misalnya mau mendatangi kawan-kawan lama untuk mencari pekerjaan juga tidak tahu kondisi terkini mereka.

Apalagi pada kasus saya, tidak ada yang tahu bahwa saya tidak bisa pulang selama tiga tahun lebih adalah karena dipenjara sebab terlibat tindak pidana terorisme. Mereka tahunya saya merantau untuk bekerja. Bayangkan, saya menemui orang-orang seperti ini untuk mencari pekerjaan. Pasti timbul pertanyaan dong, selama 3 tahun lebih kerja apa atau kerja di mana? Terus saya bilang, saya ini baru pulang dari penjara karena terlibat kasus terorisme.

Pasti mereka akan kaget dan akan ‘menginterogasi’ saya lebih jauh. Pada akhirnya belum tentu juga akan bisa membantu mendapatkan pekerjaan. Itulah yang membuat saya galau. Masih terasa berat untuk menjelaskan masa lalu bila tidak ada bukti bahwa saya sudah berubah.

Semua orang berhak untuk berprasangka buruk kepada saya, dan semua orang berhak untuk tidak mempercayai saya karena dosa masa lalu. Tetapi saya juga berhak untuk membela diri dan membuktikan bahwa saya telah berubah.

Pembuktian terbaik adalah dengan menunjukkan kinerja atau berkarya. Tetapi untuk membuktikan kinerja atau berkarya bila baru dimulai ketika sudah bebas, akan butuh waktu yang tidak sebentar. Padahal ingin segera bisa membahagiakan orang-orang yang selama ini ditinggalkan karena dipenjara.

Pembuktian dari Penjara

Saya tidak ingin ketika bebas malah akan membebani keluarga untuk sementara waktu. Saya tidak ingin melihat orangtua yang ikut galau karena terlalu lama melihat anaknya tidak segera mendapatkan pekerjaan. Maka dari itu, sejak di dalam penjara saya telah mempersiapkan sebuah karya. Saya menulis sebuah catatan refleksi pemikiran dan sebuah novel fiksi.

Kenapa saya memilih dengan menulis?

Pertama, karena dengan menulis bukti perubahan itu bisa disampaikan dan diabadikan. Kedua, dengan menulis saya ingin mengedukasi generasi mendatang agar tidak mudah terjerumus dalam kesalahan seperti yang saya lakukan. Ketiga, karena menulis merupakan satu-satunya yang bisa saya lakukan sejak dari dalam penjara sebagai modal awal untuk mendapatkan ‘pengakuan’ bahwa saya telah berubah. Keempat, menulis adalah sudah menjadi salah satu kegiatan menyenangkan yang biasa saya lakukan sejak di SMK dulu.

Namun, persoalan yang saya hadapi ketika sudah bebas adalah: siapa yang tertarik dengan karya (bukti perubahan) berupa tulisan? Bahkan sebenarnya ketika mulai menulis dulu juga sudah memperhitungkan akan hal ini. Siapa yang akan tertarik dengan karya berupa tulisan?

Temukan Jalan

Meskipun belum mengetahui kemana nanti akan menawarkan tulisan yang akan dibuat, saya tetap mulai menulis. Menanam kebaikan itu tidak akan menghasilkan keburukan. Karya itu bila memang layak untuk diambil manfaatnya, pasti akan menemukan jalannya sendiri. Itulah yang saya yakini.

Atas izin Allah SWT, di tahun terakhir saya di lapas, ada program re-edukasi bagi para narapidana terorisme (napiter) yang diadakan oleh Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia (PRIK-KT UI). Di akhir program saya memberikan tulisan catatan refleksi pemikiran saya ke PRIK-KT UI. Pada saat itu saya juga menyampaikan bahwa saya juga sedang menulis novel fiksi.

Satu bulan pasca-kebebasan, saya dihubungi oleh PRIK-KT UI yang menyatakan bahwa mereka tertarik untuk menerbitkan catatan refleksi saya itu menjadi sebuah buku. Namun, harus ditambahi lagi dengan masukan dari para akademisi yang akan diundang dalam bedah buku versi awal. PRIK-KT UI kemudian membeli hak penerbitan atas karya itu.

Dari pembelian hak penerbitan karya itu saya bisa membeli komputer bekas untuk mulai menulis versi digital dari novel yang saya tulis di penjara. Saya cukup percaya diri bahwa novel itu pun akan menemukan jalannya seperti tulisan yang diambil oleh PRIK-KT UI itu.

Di awal Maret 2018 ‘skenario langit’ mempertemukan saya dengan teman lama (Haris Hadirin) yang akhirnya membawa saya untuk bertemu dengan Noor Huda Ismail (Mr. NHI) dan timnya dari Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP). Pada 18-20 Maret 2018 saya mendatangi acara CVE Communication Workshop yang diadakan oleh KPP di Jakarta.

Pada saat itu saya datang bukan sebagai salah satu peserta yang diundang. Namun, diizinkan untuk mengikuti kegiatan pelatihan. Tujuan saya sebenarnya adalah ingin menawarkan novel yang telah selesai ditulis dalam versi digital. Lebih tepatnya mau meminta bantuan agar karya itu bisa diterbitkan sebagai bukti bahwa saya telah berubah. Setidaknya saya yakin Mr. NHI tahu jalan yang harus saya tempuh agar karya itu bisa terbit. Tetapi lagi-lagi ‘skenario langit’ membuat saya justru mendapatkan lebih dari yang saya inginkan.

Sebuah kisah baru mulai terukir dari sini dan masih terus berkembang hingga hari ini.

(Bersambung)

Komentar

Tulis Komentar