Nenek Pedagang Buah Usia 82 tahun dan Rahasia Panjang Umurnya

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Mbahe iki seneng yen iseh iso mbantu liyan senajan mung ngedolke hasil panenan katese”

(Nenek ini senang bila masih bisa membantu orang lain meskipun hanya menjualkan hasil panen pepayanya).

Kata-kata itu keluar dari lisan seorang ibu yang sudah tua (nenek) ketika saya tanya kenapa masih melakukan perjalanan sendirian sampai Boyolali di usia yang sudah senja. Beliau duduk di bangku  seberang kursi saya ketika saya dalam perjalanan dari Semarang menuju Surabaya beberapa hari yang lalu.

Mungkin saya sudah ditakdirkan oleh Allah SWT untuk menimba hikmah dari kisah nenek itu. Saya sengaja memilih lewat jalur selatan yang lebih jauh daripada jalur pantura yang lebih dekat. Simpel saja alasannya. Jalur pantura sudah terlalu mainstream dan saya ingin bersantai dalam perjalanan.

Bagi saya, perempuan dan ibu-ibu apalagi yang sudah tua dan melakukan perjalanan sendirian adalah orang yang paling saya hormati di perjalanan. Mereka adalah sosok yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari ayah, suami, atau anak-anak mereka, tetapi karena suatu alasan harus melakukan perjalanan sendirian.

Dari fakta ini, sungguh hanya orang yang berpenyakit hatinya yang tega memanfaatkan kesendirian mereka dalam perjalanan.

Kembali ke cerita nenek di samping saya. Nenek itu terlihat cukup sehat untuk ukuran orang seusianya. Tidak ada tanda-tanda punggung yang bongkok, dan hebatnya masih mampu membaca tulisan di layar HP jadulnya tanpa kacamata. Hanya kulit yang keriput dan langkah yang tak lagi cekatan menjadi bukti usia lanjutnya.

Beliau adalah seorang pedagang buah asal Semarang yang biasa mengambil buah dari daerah Boyolali untuk dijual di Semarang. Spesialis membeli buah dari petani di desa. Ada pisang, pepaya, nangka, dan lain-lain. Profesi itu sudah beliau lakukan sejak masih muda. Terhitung sudah 50 tahun lebih dirinya menjalani pekerjaan itu.

Kok dereng pensiun toh mbah, kan sampun sepuh?” (Kok belum pensiun nek, kan sudah berusia lanjut?), tanya saya.

Sakjane mbahe iki yo wis dikon leren karo anak putu. Tapi mbahe iki uripe bahagiane yen iso mbantu liyan. Dagang iki ora mung soal nggolek duit le. Tapi mbantu liyan. Lha angger mbahe iseh sehat, iseh iso makaryo ngene iki, ora usah dikuatirno. Misale mbahe mati neng dalan, niyate amal ibadah mbantu liyan mau. Mbahe iki seneng yen iseh iso mbantu liyan senajan mung ngedolke hasil panenan katese. Mulane anak putune ya ra iso nyegah mbahe. Hehehe...”. (Sebenarnya nenek ini sudah disuruh berhenti oleh anak cucu. Tapi nenek ini hidupnya bahagia bila bisa membantu orang lain. Berdagang ini bukan hanya soal cari duit Nak. Tapi membantu orang lain. Lha asal nenek masih sehat dan bisa bekerja begini ini, tidak perlu dikhawatirkan. Misalnya nenek sampai mati di jalan, niatnya amal ibadah membantu orang lain tadi. Nenek ini senang bila masih bisa membantu orang lain meskipun hanya menjualkan hasil panen pepayanya. Makanya, anak cucu tidak bisa mencegah nenek. Hehehe...)

Nenek itu juga bercerita bahwa dirinya sudah cukup dikenal sebagai pedagang buah di daerah langganannya. Kebahagiaannya adalah ketika melihat wajah-wajah ikhlas dan ceria dari para petani melepas dirinya membawa hasil panen mereka. Meskipun banyak pedagang lain yang mengambil hasil panenan masyarakat di sekitar situ, tapi masih ada yang setia menjual hasil panennya kepada dirinya. Itulah yang menjadi ikatan antara dirinya dengan para petani itu.

Berdagang itu bukan sekedar mencari uang, tapi membantu orang lain. Ini super sekali. Dan mungkin inilah yang membuat nenek itu bisa terus sehat dan menekuni profesi ‘membantu orang lain’ itu. Untung rugi itu biasa, tapi bila niatnya membantu orang maka apapun hasilnya akan menjadi amal ibadah. Prinsip ini sama dengan salah satu prinsip hidup saya. Bahagia adalah ketika mampu membantu orang lain.

Nek sampean iki kerjone opo le, kok nganti tekan Semarang? (Kalau kamu ini kerjanya nak, apa kok bisa sampai Semarang),” tanya nenek itu di akhir obrolan menjelang beliau turun di Boyolali.

Kulo niki nggih mbantu liyan mbah. Mbantu acaranipun konco” (Saya ini juga membantu orang lain Nek, membantu acaranya teman)”. Lalu kami tertawa bersama.

Nenek itu tidak tahu, bahwa orang di sampingnya pernah sampai dipenjara karena membantu orang lain. Ya, dipenjara karena membantu orang yang salah. Besok-besok saya akan jadi seperti nenek itu saja. Kalau membantu orang, pilihlah orang yang jelas.

ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar