Fenomena ‘Anak Nakal’ di Jamaah Islamiyah (2)

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Insiden Bom Bali pada 12 Oktober 2002 membuat nama kelompok Jamaah Islamiyah (JI) terekspos pertama kali ke ranah pubik. JI disebut-sebut sebagai organisasi yang dikuti oleh para pelaku serangan Bom Bali yang telah tertangkap. Hal ini juga semakin dikuatkan dengan ditangkapnya orang-orang dari berbagai wilayah yang membantu pelarian para pelaku Bom Bali. Dari semua yang ditangkap itu didapatkan kesimpulan bahwa semuanya memiliki sebuah ‘ikatan’ yang membuat mereka semua terhubung antara satu sama lain.

Saya sendiri baru mengetahui bahwa keberadaan JI itu beneran ada setelah mendengar keterangan dari salah satu ustaz senior yang membina saya dan kawan-kawan sejak tahun 2000. Beliau menyampaikan hal itu tatkala saya bertanya mengapa kegiatan taklim di wilayah kami waktu dihentikan semua. Sebabnya adalah karena semua ustaz pembina adalah kader-kader JI yang sedang menjadi sorotan publik internasional.

Penjelasan dari Sang Ustaz mengenai kebenaran adanya JI itu sudah mengejutkan saya dan membuat saya bukannya takut tapi malah semakin penasaran. Tapi ada ungkapan yang lebih menarik daripada soal kebenaran adanya JI. Yaitu, bahwa amaliyah (aksi serangan) Bom Bali itu bukan kebijakan resmi JI, melainkan hasil ijtihad kelompok para pelaku yang terinspirasi dari seruan jihad global dari Al Qaedah.

Beliau –Sang Ustaz – juga mengungkapkan pendapat pribadinya, bahwa dirinya tidak setuju untuk melakukan serangan di Indonesia di luar wilayah konflik antara muslim-kafir seperti di Ambon. Tetapi beliau bisa memahami alasan atau argumen dari ijtihad Ustaz Mukhlas (Ali Ghufron) dkk. Artinya beliau masih sepakat bahwa itu termasuk dari ‘jihad global’.

Adanya perbedaan pendapat di dalam tubuh JI mengenai ‘aksi jihad’ sejatinya sudah ada sejak saat itu. Setidaknya menurut sepengetahuan saya. Perbedaan itu di kemudian hari semakin sering saya temui di lapangan seiring semakin lamanya saya bergaul dengan teman-teman dari JI. Dan lebih sering lagi ketika saya mulai terlibat dalam ‘aktivitas jihad’.


Ada beberapa bukti lain yang saya temukan yang semakin menguatkan bahwa ‘aksi jihad’ di Indonesia tidak direstui oleh JI secara resmi. Beberapa bukti yang bisa saya ungkapkan adalah:

    1. Banyaknya anggota dan kader JI –kalau tidak bisa disebut mayoritas-- yang menolak membantu menyembunyikan para DPO kasus pengeboman di Indonesia. Alasan mereka yang paling umum adalah: sudah punya aktivitas dakwah atau tugas lain dari jamaah (Amir JI) dan takut tersangkut kasus terorisme yang justru akan merugikan apa yang telah mereka lakukan sebelumnya. Kalaupun ada yang mau membantu, biasanya adalah orang-orang yang memang tidak dipakai dalam struktur JI. Atau mau tapi dengan berbagai syarat yang ketat.

    1. Rekrutmen pelaku amaliyah dari luar jalur kaderisasi JI. Ini dapat terlihat dari para pelaku serangan bom di JW Marriot dan Ritz Carlton Juli 2009. Sebagian besarnya bukan lagi berasal dari ‘rahim’ JI, melainkan hasil rekrutan baru Noordin M Top selama pelariannya.

    1. Kader atau anggota dan simpatisan JI yang ketahuan membantu pelarian DPO kasus terorisme, atau membantu aktivitas amaliyah akan di-nonaktifkan dari kegiatan jamaah. Mereka ini juga kemudian termasuk disebut sebagai ‘anak nakal’.



Dari uraian di atas, muncul pertanyaan: Apa yang membuat para anggota atau simpatisan JI ada yang mau terlibat amaliyah atau membantu para pelaku yang terkait amaliyah, meski risikonya adalah di-nonaktifkan dari jamaah? Bagaimana Noordin M Top bisa mendapatkan banyak pengikut baru di tengah pelariannya?

(Bersambung)

ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar