Nelayan Pun Jadi Sasaran Kelompok Teroris

Analisa

by nurdhania

Sepotong ikan itu dengan mudahnya masuk ke mulut kita. Sambil menyecap nikmatnya hidangan laut tersebut, kita hanya bertaruh resiko tertelan atau tertusuk duri ikan. Namun, bagi para nelayan, mereka harus bertaruh nyawa untuk bisa mengumpulkan hasil laut dan memastikan pasokan ikan tersedia hari itu.

Pada Januari lalu, Mongabay sempat melaporkan soal betapa beresikonya profesi nelayan. Media yang banyak menuliskan soal persoalan lingkangan itu mengungkapkan bahwa pada rentang waktu 42 hari dari 1 Desember 2020 sampai 10 Januari 2021 saja sudah terjadi 13 kali kecelakan laut. Sementara harus bertaruh nyawa, para nelayan ini juga harus menghadapi sederet persoalan pelik lainnya. Sebuah website yang dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, indonesiabaik.id, menyebutkan bahwa nelayan di Indonesia masih harus berjuang untuk menebus harga solar yang tinggi, berkutat dengan kurangnya informasi cuaca dan jumlah kebutuhan ikan dipasar, serta terbelit masalah-masalah keuangan. Belum lagi persoalan illegal fishing dari negara lain.

Seakan belum cukup dengan segala permasalahan itu, nelayan Indonesia juga menghadapi resiko penculikan dari kelompok teroris yang beroperasi di sekitar perairan Indonesia. Adalah Kelompok Abu Sayyaf yang memberikan masa-masa sulit bagi para nelayan yang melaut di sekitar segitiga Indonesia, Malaysia dan Filipina. Sebagai sebuah negara kepulauan, pulau-pulau kecil di Filipina menjadi tempat persembunyian kelompok teroris ini.

Berdasarkan laporan dari Vice news, kelompok terror yang berafiliasi dengan ISIS ini sudah aktif sejak tahun 1989. Sumber dana untuk operasi dan kelompok mereka berasal dari uang tebusan hasil menculik para wisatawan asing dan anak buah kapal. Tidak hanya menculik, mereka juga melakukan perampokan. Bahkan, Direktur IPAC (Institute for Policy Analysis of Conflict), Sidney Jones, pernah menyebutkan bahwa Abu Sayyaf adalah kelompok yang rumit karena mereka adalah teroris, bandit, dan pemberontak.

Selain penculikan, kelompok itu juga kerap terlibat dalam perdagangan narkoba, pemerkosaan, pemerasan, dan aktivitas kriminal lainnya. Mereka juga dalang di balik serangkaian serangan bom mematikan di seantero Filipina, termasuk pemboman kapal SuperFerry 14 yang menewaskan 116 orang pada 2004.

Masih dalam laporan Vice, sejak tahun 2016, Kelompok Abu Sayyaf mulai menjadikan anak buah kapal atau nelayan Indonesia sebagai target penculikan. Sebelumnya, nelayan Indonesia dan Malaysia yang berbasis di sekitar Kalimantan bagian utara tidak pernah menjadi target penculikan karena dianggap memiliki kesamaan budaya, ras dan agama.

Deka Anwar, peneliti IPAC, mengatakan bahwa awal mula penculikan WNI adalah sebuah ketidaksengajaan. Anak buah kapal yang diculik itu tengah berada di kapal berbendera Malaysia yang dipercaya milik pengusaha Indonesia berdarah Tionghoa. Pemerintah Indonesia panik, dan segera mengirim uang tebusan. Sikap tersebut pada akhirnya membuat kelompok Abu Sayyaf ketagihan menculik WNI. Bagi mereka, pemerintah Indonesia tidak menyulitkan dalam negosiasi, berbeda dengan pemerintah negara-negara Barat.

Selain itu, di belahan dunia yang lain, kelompok teror asal Somalia juga dikenal merampok dan membajak kapal-kapal. Sebuah pemberitaan dari okezone menyebutkan bahwa pada tahun 2012, kapal tanker FV Naham 3 telah menjadi sasaran perampokan kelompok teroris Somalia. ABK yang berasal dari Indonesia, China, Filipina, Kamboja, Vietnam, dan Taiwan disandera. Mereka menjadi sandera selama 4,7 tahun dan harus makan minum dari sumber yang tidak layak sebelum akhirnya ditebus pada Oktober 2016.

Dari sekian banyak kejadian pahit yang dialami oleh para pelaut dan nelayan itu, mereka tetap saja melaut. Nelayan-nelayan yang pernah menjadi sandera Abu Sayyaf kembali melaut, Bapak Supardi asal Cirebon yang pernah disandera kelompok teror Somalia juga tetap melaut. Setelah beristirahat selama beberapa bulan untuk proses pemulihan, mereka kembali berlayar. Beragam alasan dan tujuan yang membuat mereka tetap ingin mengarungi samudera. Salah satunya mungkin untuk dapat mendapatkan manfaat dari betapa besarnya potensi sumber daya laut Indonesia.

Semoga para nelayan selalu terlindungi dari segala marabahaya, dan kembali ke daratan dengan sehat, selamat, dan dengan tangkapan yang melimpah. Selamat Hari Nelayan, 6 April.

Komentar

Tulis Komentar