Sebaran Gaya Hidup Teror dan Ancamannya

Analisa

by Eka Setiawan

Oleh: Noor Huda Ismail – Visiting Fellow RSIS NTU, Singapore

(Artikel ini dimuat di Harian Kompas Kamis 29 Agustus 2019)

Terhitung sejak akhir Juni lalu, aparat kepolisian Indonesia panen besar teroris. Pasalnya, pimpinan Jamaah Islamiyah (JI) terbaru, Parawijayanto terciduk bersama istrinya di Bekasi, Jawa Barat (Sabtu 29 Juni 2019).

Tidak hanya itu, kepolisian juga mengkonfirmasikan bahwa Rullie Rian Zeke dan Ulfah Handayani Saleh, suami istri yang pernah dideportasi oleh pemerintah Turki akhir Januari 2017 adalah pelaku bom bunuh diri di gereja di Sulu, Filipina Selatan pada awal tahun ini.

Pertanyaan yang muncul adalah: apakah kedua peristiwa ini saling berkelindan? Dengan kata lain, apakah JI juga berada di balik serangan yang sangat keji tersebut? Atau kedua kasus ini berbeda?

Lalu, haruskah kita sebagai bangsa pasrah dan terus mendaur ulang teori konspirasi seperti “pengalihan isu” terhadap isu terorisme ini?

Menurut hemat penulis, sudah saatnya kita nyaman memakai kaca mata ‘perang’ untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas. Namun, perang di sini bukan perang ‘conventional’ (pola lama) seperti yang terjadi dalam perang dunia pertama atau kedua karena terorisme adalah perang ‘unconventional’ (pola baru).

Dalam pola ini, aturan dan cara mainnya pun berbeda dengan pola lama. Misalnya, salah satu pola baru yang kelompok terorisme ini mainkan adalah menawarkan gaya hidup.

Sun Tzu, sekitar 2500 tahun lalu telah berpesan dalam bukunya, ‘The Art of War’ (Seni Berperang), bahwa mengetahui tipologi lawan adalah langkah awal dari sebuah kemenangan.

Tipologi terorisme

Secara sederhana, tipologi terorisme ini di Indonesia berdasarkan pola gerak mereka itu ada tiga: pertama yang bergerak secara terstruktur,  kedua pola hybrid (campuran) dan yang terakhir adalah pola ad hock (sementara)

JI adalah contoh nyata dari tipologi pertama. JI bergerak secara klandestin dan sangat taat terhadap aturan organisasi. Ibarat cicak ketika diserang musuh, JI akan segera memutuskan sebagian ekornya. Ekor cicak yang sudah terpisah dari badan masih bergerak-gerak hingga menarik perhatian musuh. Saat musuh memperhatikan gerakan ekor tersebut, sang cicak kabur untuk menyelamatkan diri.

Barangkali karena belajar dari ilmu cicak ini, jika pemimpin JI tertangkap seperti Abu Rusdan, Adung dan Simbah (mereka sebelumnya sudah ditangkap polisi dan diadili), maka secara internal JI segera mencari calon yang pas untuk mereka jadikan amir organisasi. Untuk memastikan kerahasiaan amir baru ini, JI menerapkan mekanisme ‘laundry’ terhadap anggota JI yang telah dipenjara.

Bagi JI, tertangkap aparat itu adalah bercak noda dalam diri anggota JI yang harus dicuci. Sehingga, JI tidak akan dengan mudah membuka akses kepada mantan narapidana terorisme untuk terlibat dalam kegiatan internal JI minimal selama dua tahun.

Pola kerja ini dapat dirtikan bahwa anggota JI boleh saja ditangkap, namun JI tidaklah tergantung pada individu saja.

Dalam konteks ini, JI menawarkan sebuah pilihan gaya hidup alternatif. Mereka yakin, gaya hidup ala JI ini lebih Islami dan akan menyelamatkan diri mereka dari api neraka.

“Coba apa yang salah dari ajaran JI? Kita minta anggota menjalankan ajaran Islam yang baik seperti salat, zakat, puasa, haji dan tentu saja berjihad,” keluh salah satu anggota JI dalam sebuah wawancara dengan penulis.

“Tidak ada KTA, kartu tanda anggota, untuk menjadi JI. Jadi proses masuk dan keluarnya pun samar-samar,” tambahnya.

Sebagai gaya hidup, anggota JI taat pada doktrin perang gerilya.  Artinya JI bergerak bersama umat. Bagi JI, tanpa dukungan umat, mereka tidak bisa hidup. Layaknya ikan, JI memperlukan sebuah kolam untuk hidup.

Dalam kolam itu, mereka lalu menawarkan gaya hidup baru seperti membuka penitipan anak, salon perempuan, usaha fashion Islami, percetakan dan bahkan biro jodoh.

Untuk bisa berenang leluasa di dalam kolam yang penuh dengan musuh itu, kemampuan inteljen dan kontra-inteljen anggota JI menjadi prasyarat utama. Mereka paham bahwa perang adalah tipu daya.

Mengadopsi praktik syiah, taqiah (Bahasa Arab yang berarti ‘pura-pura’) dalam bermasyarakat menjadi keharusan. Maksudnya adalah tidak ada satu anggota JI pun akan mengaku secara terbuka jika mereka bagian dari JI.

Oleh karena itu, kesan masyarakarat umum terhadap anggota JI ini biasanya sebagai sosok yang santun, lemah lembut dan membaur dalam masyarakat. Tidak heran jika salah satu pentolan JI yang baru saja tertangkap oleh aparat ini pernah menjadi ketua RT di wilayahnya.

Gaya hidup ini menjadi pilihan agar JI bisa terus bertahan. Anggota JI sepenuhnya sadar diri bahwa mereka masih lemah. Ada semacam kesadaran dalam diri mereka yang mendarah daging: “Jangan pernah berkonfrontasi dengan musuh secara langsung. Tapi kelabulilah mereka. Biarkan musuh terus menduga. Terima duitnya, jangan pernah terima ideologi mereka”.

Jika pola ini masih terus berlanjut, maka tertangkapnya Parawijayanto ini bukanlah akhir dari dongeng JI yang pernah berjejaring dengan Al Qaeda itu.

Tipologi kedua adalah pola hybrid. Secara Bahasa, hybrid adalah ‘kombinasi dari dua unsur’. Dalam konteks kajian terorisme, kelompok yang dapat dimasukkan dalam tipologi ini adalah individu yang tidak lagi terwadahi secara formal dalam tubuh JI namun mereka enggan juga melepaskan identitas diri mereka sebagai mujahid atau “pembela umat”.

Mereka mengalihkan energi jihad silah (senjata) menjadi jihad lisan (kata-kata). Alih-alih memilih jalur kekerasan, mereka memilih jalur aktifisme politik Islam.

Artinya mereka akan siap menjadi garda terdepan umat jika ada kejadian di tingkat lokal, nasional maupun internasional yang mereka anggap merugikan kepentingan Islam.

Contoh yang paling nyata adalah keterlibatan mereka dalam demonstrasi 212 atau pembakaran bendera Tauhid. “Kita ingin dicatat di hari akhir bukan di barisan para penista agama,” jelas salah satu anggota tipologi kelompok ini.

Pada masa pemilihan Presiden yang lalu, sempat beredar tudingan bahwa kubu Prabowo dipakai oleh kelompok hybrid ini untuk mencapai tujuan politik mereka.

Salah satu pemicu dari tudingan ini adalah fakta bahwa salah satu tim sukses kubu 02 adalah kakak kandung dari Abu Walid, WNI yang menjadi pentolan Negara Islam di Irak dan Siria (NIIS) di Siria.

Abu Walid muncul dalam video propaganda NIIS dan telah tewas pada 23 Januari 2019 dalam sebuah pertempuran antara pasukan koalisi dan NIIS.

Tudingan ini, menurut hemat penulis, tentu tidak benar karena pertama, secara tegas ideologi NIIS ini jelas menolak sistem demokrasi. Kedua, hanya karena hubungan adik-kakak bukan berarti mereka akan mempunyai pilihan politik yang sama.

Kelompok ad hoc atau kelompok yang terbentuk secara instan atau sementara ini masuk dalam tipologi ketiga. Mirip dengan tipologi kedua, yaitu terjadinya percampuran antara orang lama dan baru. Namun, kelompok ini bergerak secara berkelindan dengan jaringan terorisme mondial.

Pola ini sangat jelas terbaca dalam proses pengiriman Rullie Rian Zeke dan Ulfah Handayani Saleh. Pasangan suami istri mantan deportan Indonesia yang menjadi pelaku bom diri itu adalah pemain baru dalam jaringan terorisme sehingga tidak terdeteksi oleh aparat keamanan.

Tidak ada tanda-tanda yang terlihat mereka akan nekat menjadi pelaku bom bunuh diri ketika mereka menjalani rehabilitasi sosial di balai Kementerian Sosial di Jakarta.

Namun, karena mereka masih semangat membela proyek khilafah dan difasilitasi oleh pemain lama, Andi Baso, seorang Daftar Pencarian Orang (DPO), kasus bom Samarinda November 2016 yang diyakini telah tinggal di Filipina Selatan, mereka berhasil hijrah ke Filipina Selatan.

Menurut hemat penulis, pola gerak terorisme yang terbaca untuk sementara seperti ini. Misalnya di Indonesia ( melalui jaringan JAD, Jamaah Anshorut Daulah dan MIT, Mujahidin Indonesia Timur), di Malaysia (melalui jaringan JAD Kalimantan dan Sabah),  di Siria ( melalui jaringan NIIS faksi Abu Walid), di Bangkok (sebagai tempat transit), di Afghanistan (terutama wilayah Khurasan) dan untuk dana berasal dari Trinidad dan Tobago, Maldives, Venezuela, Jerman dan Malaysia.

Perlu evolusi strategi

Melihat tipologi di atas, rasanya negara perlu berevolusi meninggalkan pola kerja melawan terorisme yang sangat ‘state-centric’ (terfokus pada negara).

Pola ini adalah warisan lama dari sistem Westphalia yang dipakai sejak tahun 1628 setelah Perang Dunia I. Sistem ini mengandalkan negara menjadi pelaku tunggal dalam hubungan internasional termasuk dalam menghadapi kejahatan lintas negara seperti terorisme ini.

Dalam sistem ini pula, pendekatan kinetik adalah pilihan utama. Padahal di era informasi seperti sekarang ini, maraknya propaganda kelompok kekerasan dan hoaks yang melahirkan teori konspirasi, kemudian diamini masyarakat umum, bisa menjadi senjata yang jauh lebih ampuh dibandingkan desingan peluru, barisan tank, kapal perang atau bahkan pesawat tempur untuk melahirkan kelompok teror baru.

Di sini, penulis tidak mengandaikan bahwa pendekatan kinetik itu tidak penting, Namun adalah salah jika negara hanya melakukan investasi besar-besaran pada aspek kinetik belaka. Sebab, pendekatan ini bukanlah resep kemenangan melawan terorisme.

Sebagai gantinya, negara perlu berinvestasi pada peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) para praktisi antiterorisme dengan mulai berani berpikir di luar kotak atau “to think out-of-the box “ tanpa harus meninggalkan aturan main lama yang terbukti berhasil.

Namun pertanyaannya: “Bagaimana kita menciptakan pemimpin yang mudah beradaptasi di tengah kenyataan pola kerja birokrasi negara yang takut perubahan dan engan keluar dari wilayah nyaman (comfort zone)?”

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah pola penanganan lama sangatlah sulit membawa kita pada keberhasilan dalam menumpas terorisme hari ini apalagi masa depan. Ancaman terorisme akan terus bermetamorfosa.

Adanya kesadaran ini adalah langkah awal yang dapat menyelamatkan kita dari kematian akibat terorisme.

Langkah kedua adalah negara harus berani membangun komunikasi dengan seluruh stakeholder di luar negara yang peduli dan mempunyai peran penting dalam isu.

Mereka itu biasanya para aktivis perdamaian, akademisi, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Pelibatan mereka ini hendaknya bukan hanya “lips service” atau “aksesori” kebijakan saja.

Mereka itu pemain penting, karena meskipun mereka tidak mewakili institusi resmi seperti negara, mereka mempunyai jejaring yang luas dan telah bekerja dalam isu ini begitu lama.

Ironisnya, mereka ini sering kali dipandang sebelah mata oleh negara seperti tokoh mitologi Yunani, Cassandra. Tokoh mitos yang dipercaya mempunyai daya terawang jitu namun dikutuk dengan tidak satupun orang percaya apa yang mereka katakan. Wallahu’alam.

Komentar

Tulis Komentar