John Wick III: Bukan Soal Silat Tapi Soal Deterrence

Analisa

by Rosyid Nurul Hakiim

Saat film John Wick III: Parabellum muncul di bioskop kesayangan warga Indonesia, dalam waktu cepat penontonnya meningkat. Bahkan secara global, film ketiga dari rangkaian aksi si Baba Yaga ini sudah mampu mengalahkan pendapatan Avangers: End Game.

Di dalam negeri film ini mendapatkan perhatian khusus karena ikut mempromosikan tradisi beladiri Indonesia, Pencak Silat. Dua aktor dan juga ahli Silat Indonesia ikut beradu peran dengan Keanu Reeves. Tidak seperti pada Film Star Wars beberapa tahun lalu yang hanya sepotong dialog aja, di John Wick III, aktor Indonesia yang melejit karena film The Raid ini mendapatkan porsi layar yang banyak. Bahkan terdapat dialog berbahasa Indonesia dalam film itu.

Tapi bukan soal kebanggan kita terhadap seni tradisi Indonesia yang masuk dalam film John Wick III yang ingin saya bahas. Artikel kali ini justru ingin mendiskusikan tentang istilah Parabellum yang mengikuti judul film tersebut. Kata latin tersebut merupakan potongan dari dialog yang diucapkan oleh Winston, si Manager The Continental. “Si vis pacem, para bellum,” ujarnya saat John Wick bergegas keluar dari ruangan dengan pintu baja dengan senjata lengkap. Kurang lebih, kalimat latin itu dapat diterjemahkan menjadi, ‘Jika menginginkan perdamaian, maka bersiaplah untuk perang’.

Kalimat tersebut sontak membius saya. Bukan hanya cara pengucapannya yang menurut saya memberikan kesan mendalam. Namun, makna dari kalimat itu juga ikut menggangu pikiran saya. Dicermati lebih dalam, kalimat ini justru mengingatkan saya dengan Perang Dingin dan konsep deterrence. Konsep ini dekat dengan upaya persiapan atau pencegahan sebelum lawan atau musuh memulai serangan.

Kondisi damai tanpa perang justru diciptakan lewat persiapan negara atau kelompok dalam berperang. Sehingga sederhananya, jika perdamaian ingin dipertahankan atau diwujudkan, maka persenjataan atau kesiapan untuk perang harus lebih besar daripada musuh yang ingin masuk. Meski tidak serta merta mirip, tapi perlombaan senjata nuklir antara Amerika Serikat dan Uni Soviet di masa perang dingin bisa menggambarkan kondisi ini.

Mengutip sejarah, pada masa-masa setelah Perang Dunia Kedua, Amerika memiliki posisi yang menguntungkan karena memiliki teknologi senjata nuklir yang lebih hebat dari negara lain. Hal ini dilakukan sebagai deterrence untuk rivalnya Uni Soviet. Pada titik itu, Amerika merasa bahwa kekuatan nuklirnya yang memiliki daya jelajah yang jauh dapat meredam agresi Uni Soviet. Persiapan ini dilakukan untuk menjaga kondisi damai di dalam negeri Amerika.

Namun, kondisi tersebut berubah ketika di akhir tahun 1950an, Uni Soviet juga mampu mengembangkan teknologi senjata nuklir dengan kekuatan serupa Amerika.  Sehingga pada pertengahan tahun 1960an, baik Amerika maupun Uni Soviet, sama-sama memiliki kekuatan deterrence. Kondisi seperti Perang Dingin ini kemudian banyak menginspirasi cerita-cerita film, game maupun animasi.

Game yang paling pertama muncul dalam lemari memori saya soal deterrence dan Perang Dingin adalah Metal Gear Solid di konsol Playstation 1. Solid Snake, karakter utama di game tersebut ditugaskan untuk menghentikan kelompok teroris yang dapat mengendalikan robot peluncur nuklir Metal Gear Rex. Robot tersebut merupakan kekuatan deterrence yang bisa digunakan oleh kelompok atau negara manapun untuk mengontrol pihak lain.

Selain game Metal Gear Solid, soal memiliki kekuatan deterrence juga muncul di beberapa seri animasi GUNDAM. Animasi yang banyak bercerita soal konflik atau perang antara penduduk bumi dan koloni di luar angkasa ini, kerap memunculkan robot GUNDAM sebagai kekuatan deterrence. Tidak jarang, pilot GUNDAM yang mendambakan perdamaian menggunakan robot tersebut untuk mengalahkan dua pihak yang bertikai. Atau justru GUNDAM menjadi alat untuk menekan agresi kelompok lawan.

Sementara itu, pada film John Wick III sendiri, kondisi deterrence itu dicipatkan oleh John Wick dengan perlawanannya di gedung The Continental. Dia ingin menunjukkan bahwa dia sanggup memberi perlawanan untuk High Table demi kedamaian yang dia inginkan.

Nah, apakah memang perdamaian itu harus berdampingan dengan kata perang? Bisakah pendekatan pacifist (pandangan yang menolak perang) bisa digunakan untuk menciptakan perdamaian? Atau memang perlu kekuatan yang melebihi kelompok lain agar perdamaian terjadi?

Yuk bagikan pendapat teman-teman di Ruangobrol

 

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar