Dia masih menyimpan memori pahit sekaligus pengalaman berharga sebagai seorang eks returnees.
Wajah Syarafina Nailah tampak lebih segar dan bercahaya. Kini, dia telah membaur aktivitas secara normal sebagai warga negara Indonesia. Meski demikian, dia masih menyimpan memori pahit sekaligus pengalaman berharga sebagai seorang eks returnees pada 2017 silam.
Nailah bersama keluarganya sempat pergi dan tinggal di wilayah yang dikuasai kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Suriah. Dia merupakan salah satu putri dari mantan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Badan Pengusahaan Batam, Dwi Djoko Wiwoho, yang pernah menjadi terdakwa terorisme ISIS pada 2018.
“Saya eks returnees pada 2017. Selama kurang lebih dua tahun, saya dan keluarga pernah berada di Suriah. Satu tahun 10 bulan berada di wilayah ISIS. Sedangkan dua bulan berada di wilayah Suriah Democratic Force (SDF),” ungkapnya, mengawali cerita dalam sebuah forum diskusi yang diselenggarakan ruangobrol.id, belum lama ini.
Nailah mengaku bisa sampai di wilayah konflik tersebut karena terpaksa. Usianya masih belia waktu itu.
Karena saya bakal sendiri kalau misalnya tidak ikut. Waktu itu juga belum bisa mandiri atau belum bisa mencari kerja. Mau tidak mau, saya harus ikut orang tua saya ke sana,” katanya.
Sebagai remaja, Nailah sama dengan anak-anak muda lain yang suka bermain, menonton, membaca komik dan seterusnya. “Ya kayak gitu lah. Jadi, ikut ke sana bukan karena radikal. Enggak. Setelah sampai di sana, kondisi di sana ternyata tidak sesuai dengan apa yang mereka janjikan. Tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman,” beber dia.
Dia mengaku sempat menasihati di antara mereka. Namun mereka menolak. “Kata mereka, kami bukan anggota ISIS dan tidak mau bergabung dengan mereka. Jadi, mereka tidak butuh nasihat kami,” ungkap Nailah.
Hal itu membuat Nailah bersama keluarga memutuskan agar bagaimana caranya kembali ke Indonesia. Berbagai peristiwa, tekanan, ancaman dan intimidasi dialami sebelum pulang ke Indonesia.
“Kami sempat berada di camp pengungsian selama dua bulan di wilayah SDF. Di situ bikin stres, karena ada yang kesal dengan kami. Mereka berpikir bahwa kami bergabung dengan ISIS. Padahal, tidak semua orang asing yang datang ke sana bergabung dengan ISIS,” katanya.
Para Suami Dipenjara ISIS
Ada juga sejumlah perempuan ISIS menyampaikan keluh kesahnya. Mereka menyesal karena bergabung dengan ISIS. “Mereka berusaha keluar. Mereka ditampung di situ. Suami-suami mereka dipenjara. Mereka juga tidak akan tahu kapan suami mereka dibebaskan,” kisahnya.
Begitu pun laki-laki dari keluarga Nailah juga dipenjara. “Ada rumor, apabila kami dipulangkan ke Indonesia, tidak pernah tahu kapan laki-laki dari keluarga kami bisa dipulangkan ke Indonesia. Alhamdulillah, atas bantuan Allah dan bantuan pemerintah bersama Pak Noor Huda Ismail (Founder ruangobrol.id) pada 2017, keluarga kami berhasil kembali ke Indonesia,” katanya.
Nailah sangat bersyukur karena diberikan kesempatan kedua oleh negara. Meski begitu, hal tersebut tidak mudah. “Kami masih ada kekhawatiran. Meskipun negera telah memberikan kesempatan kedua, tapi masyarakat belum tentu mau menerima kami,” ungkapnya.
Setelah kembali ke Indonesia, Nailah bersama keluarga masih sangat kesulitan untuk kembali bersosial di tengah masyarakat. Dia bersama keluarga terpaksa harus menyembunyikan rekam jejak perjalanan hidupnya agar tidak “dijudge” sebagai teroris di tengah masyarakat.
“Contohnya ketika itu, tante saya mau sewa rumah. Tanya ke RT, bolehkah saya menyewa rumah? Dijawab oleh Pak RT ‘boleh, kecuali teroris,”. Di situ kami bingung. Kami sebetulnya bukan teroris, tapi pernah hidup di ‘wilayah teror’ atau wilayah konflik. Kami hanya bisa diam. Ayah kami juga sempat beberapa tahun dipenjara di Indonesia dan mereka baru tahu bahwa kami pernah berada di wilayah konflik,” katanya.
Setelah itu, Nailah bersama keluarga diberikan kesempatan oleh seorang peneliti dan akademisi Noor Huda Ismail untuk menjadi kontributor di situs ruangobrol.id. “Dari situ kami belajar tiga hal, heart, hand dan head. Kami mengerti mengenai berdialog bukan untuk melihat siapa yang menang, mencoba untuk mengerti orang lain, mencoba berempati dan mencoba memberikan kesempatan,” katanya.
Nailah menyadari betul bahwa ia perlu belajar hidup dan mengakui kesalahan. Bahkan tidak hanya sekadar menyesal, tapi harus membuktikan penyesalan itu dengan berkontribusi kepada masyarakat luas.
“Kami turut berkontribusi memberikan kontra narasi terorisme (deradikalisasi). Saat itu berat buat keluarga kami. Hal yang membuat kami kuat, ternyata masih banyak orang yang mau menerima kami,” katanya.
Waktu membuat Nailah untuk menjadi lebih dewasa. “Manusia tidak luput dari kesalahan. Tapi jangan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan. Hingga sekarang, saya bekerja di ruangobrol.id untuk perdamaian melalui komik-komik yang saya gambar,” katanya.
Pada 2021, Nailah juga dilibatkan Polri membuat komik untuk anak-anak SD. “Menggambar komik ini, buat saya adalah proses healing. Juga pembuktian kalau saya ini benar-benar menyesal dengan perbuatan saya dulu. Orang-orang yang saya temui membuat saya sadar. Bahwa orang baik bisa jadi jahat. Begitu pun orang jahat bisa jadi baik. Jadi jangan merasa yang paling benar,” cetusnya.
Sepanjang perjalanan itu, Nailah mengaku memperoleh pengalaman yang luar biasa. “Saya belajar, pertama mengenai rumah bernama Indonesia. Kedua, belajar sebagai manusia makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Ketiga, mengenai pentingnya persatuan sesuai sila ketiga dalam Pancasila,” katanya.
BACA JUGA: Wartoyo Undercover (Part 1): Preman Tobat hingga Terperangkap Jaringan Al-Qaeda
Sekeluarga Dwi Djoko Wiwoho waktu itu turut hijrah ke Suriah, termasuk tiga putrinya yakni Syarafina Nailah, Nurshadrina Khairadhania, dan Tarisha Aqila Qanita ke Suriah. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat kala itu menjatuhkan hukuman 3,6 tahun penjara dan denda Rp 50 juta terhadap Mantan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam) itu. (*)
Komentar