Serial Angin Bercerita : Ikhlas dalam Beramal

Other

by Arif Budi Setyawan

Di suatu pagi yang cerah di salah satu sudut kota Jakarta aku melewati sesosok pemuda yang sedang bercakap-cakap dengan dua orang perempuan berjilbab besar dan berpakaian standar syar’i di beranda rumah si pemuda.

Aku bertiup perlahan bersama aroma khas perumahan padat penduduk di kota Jakarta. Aroma yang berasal dari asap kendaraan, limbah rumah tangga, sampah di tong sampah, air got, dan aneka wewangian dari orang-orang yang berlalu-lalang.

Dua orang perempuan itu tampak sangat serius menyimak perkataan si pemuda dan pandangan mereka bertiga mengarah ke meja kecil di hadapan mereka. Ya, mereka sama-sama menundukkan pandangannya. Hanya ketika pertama kali kedua perempuan itu datang dan ketika si pemuda mempersilahkan keduanya masuk, pandangan mereka bertiga bertemu. Selebihnya mereka sama-sama menundukkan pandangan.

Aku mendengar beberapa percakapan antara mereka bertiga. Di antara percakapan mereka ada yang menarik bagiku, karena berhubungan dengan fenomena yang kutemui di tempat yang lain. Aku sungguh tertarik dengan perkataan si pemuda itu tatkala ia berkata kepada kedua orang perempuan di hadapannya.

“ Mohon maaf sebelumnya... Saya sungguh senang melihat mbak berdua dan teman-teman mbak yang lain telah berpakaian sesuai syari’at dan juga menundukkan pandangan ketika berhadapan dengan laki-laki asing.

Tetapi dalam hal menundukkan pandangan, saya melihat mbak-mbak hanya menundukkan pandangan ketika berhadapan dengan saya atau para ustadz yang biasa mengajar di sini. Sedangkan kepada laki-laki asing dari kalangan awam mbak belum bisa menundukkan pandangan. Itu berarti masih ada cacat dalam niat mbak, masih melakukan suatu amal karena manusia, belum karena Allah semata.

Jika benar semata-mata karena Allah Ta’ala, maka seharusnya kepada laki-laki asing siapapun mbak harus tetap menundukkan pandangan. Apakah syariat menundukkan pandangan itu hanya berlaku untuk sesama aktivis harakah saja, atau sesama anggota majlis ta’lim saja, dan seterusnya ? Tidak bukan ?

Justru jika kita hanya melakukannya terhadap sesama aktivis atau sesama golongan, bukankah selain niat kita cacat juga akan kontra produktif terhadap syariat Islam itu sendiri, yang seharusnya kita sebarkan dan kita dakwahkan melalui lisan dan tingkah laku kita kepada semua orang ?

Syariat Islam itu berlaku terhadap semua orang Islam, bukan hanya berlaku pada kelompok kita saja. Jadi, tolong sampaikan kepada teman-teman mbak yang lain agar meluruskan kembali niatnya dan agar lebih bersemangat lagi menyebarkan kebaikan dan keindahan syariat Islam kepada semua orang melalui tingkah laku kita.

Jangan sampai orang awam jadi beranggapan bahwa adab pergaulan dan sopan santun dalam Islam hanya berlaku di kalangan tertentu saja”, demikian perkataan di pemuda itu.

Kedua perempuan itu tampak semakin tertunduk mendengar perkataan si pemuda. Rupanya kedua perempuan itu adalah bagian dari para perempuan yang aktif mengikuti kajian keislaman di rumah si pemuda yang biasa diadakan dua kali sepekan. Aku biasa melewati rumah pemuda ini dan aku suka berlama-lama karena rumahnya cukup bersih dan selalu wangi.

Tak lama kemudian seorang Ibu keluar dengan membawa sebuah nampan berisi tiga gelas teh panas yang kemudian disajikan di hadapan mereka bertiga. Sang Ibu lalu duduk di samping si pemuda dan tersenyum ramah menyapa kedua tamunya.

Setelah meminum tehnya, salah satu dari kedua perempuan itu lalu berkata :

“ Baik Mas, in sya Allah nanti saya sampaikan kepada yang lain. Terimakasih atas nasehatnya. Saya mohon diri”, ujarnya seraya memandang ke arah si pemuda sebentar dan kemudian mengatupkan kedua tangannya  di depan dada lalu bangkit dari duduknya.

Si pemuda membalas dengan mengatupkan kedua tangannya seperti yang dilakukan perempuan itu dan tersenyum mengangguk. Lalu kedua perempuan itu pun berlalu meninggalkan si pemuda setelah bersalaman dan berpamitan dengan ibunya.

Sebenarnya fenomena yang terjadi pada kedua perempuan itu yaitu menundukkan pandangan hanya kepada sesama aktivis atau sesama anggota majlis ta’lim itu juga lazim terjadi di tempat lain, baik pada aktivis pria maupun wanita.

Pada aktivis pria malah sangat konyol, mereka tidak bisa menahan pandangan dari wanita-wanita yang tidak menutup aurat dengan sempurna tetapi bisa menahan pandangan dari wanita-wanita sesama aktivis yang sudah berpakaian standar syari’at Islam. Jadi apa motivasinya dalam menundukkan atau menahan pandangan itu ?

Aku juga menemui fenomena yang sejenis dengan fenomena ini yaitu berbuat baik lebih banyak jika kepada sesama aktivis atau sesama anggota kelompok gerakan Islam tertentu, seperti jika menjual barang kepada sesama aktivis maka akan diberi harga diskon, tapi jika masyarakat umum yang membeli tidak dapat diskon.

Ini juga fenomena aneh. Bukankah seharusnya berbuat baik itu harus sama kepada semua orang dan tanpa pamrih ? Bukankah semuanya mengaku berjuang untuk ummat ? Tapi mengapa mengkhususkan berbuat lebih hanya kepada orang dalam kelompoknya atau orang-orang tertentu saja? Apakah ada tujuan tersembunyi misalnya agar orang-orang bergabung ke dalam jamaahnya atau organisasinya atau kelompoknya itu ?

Ah…entahlah. Aku hanyalah angin yang membawa cerita.

Komentar

Tulis Komentar