Serial Angin Bercerita : Imam yang Memudahkan

Other

by Arif Budi Setyawan

 

Pada suatu malam yang merupakan salah satu dari malam-malam di bulan Ramadhan, aku berhembus perlahan menyebar ke seluruh ruangan  bersama aroma wangi dari setiap pakaian orang-orang yang shalat tarawih di sebuah masjid. Beberapa buah kipas angin yang terpasang turut membantu sirkulasiku di dalam ruangan itu.

Sang imam membaca ayat-ayat Al Qur’an dengan tartil dan suara yang merdu. Lalu ketika sampai pada ayat-ayat tentang siksa neraka ia terisak menangis bahkan sampai tersedu-sedu. Semua jamaah tentu saja hening mendengarkan tangisan Sang Imam. Setelah mereda barulah Sang Imam melanjutkan kembali bacaannya.

Pada rakaat-rakaat selanjutnya ketika sampai pada ayat-ayat tentang dahsyatnya hari kiamat dan tentang keadaan orang-orang di hari Perhitungan, ia kembali menangis tersedu-sedu. Demikian ini terulang beberapa kali dalam sebuah rangkaian shalat tarawih.

Di dalam masjid itu kulihat banyak ma’mum yang sudah lanjut usia dan bahkan ada  yang shalatnya dengan duduk. Selain itu juga banyak ma’mum anak-anak yang sedang diajari oleh orangtuanya untuk mencintai masjid dan beribadah di masjid.

Di kemudian hari ketika sang imam ini mendapat giliran jadi imam, aku mendengar bisik-bisik pasca pelaksanaan tarawih, banyak orang tua yang mengeluhkan bahwa anaknya jadi malas mengikuti shalat tarawih gara-gara ‘trauma’ dengan bacaan panjang yang sering diselingi tangisan sang imam. Selain itu para ma’mum lanjut usia juga mengeluhkan tentang hal yang sama meskipun mereka tetap saja datang tarawih ke masjid setiap hari.

Sebagai angin aku tidak tahu apakah menangis ketika membaca Al Quran dalam shalat, terkhusus ketika menjadi imam itu memiliki keutamaan yang lebih bila dibandingkan dengan yang membacanya biasa-biasa saja. Tetapi aku memiliki kisah dari belahan bumi yang lain tentang seorang ustadz yang memiliki banyak murid yang sangat menghormatinya.

Sang ustadz ini adalah seorang hafidz Qur’an, alumni S2 sebuah perguruan tinggi di Timur Tengah, bacaan Qur’annya merdu, dan ketika ia menyampaikan sebuah ilmu kepada para muridnya penjelasannya sangat mudah dipahami. Tak heran jika yang mengikuti majlis ta’limnya semakin lama semakin bertambah.

Ustadz ini memiliki sebuah kebiasaan yang berkebalikan dengan Sang Imam tadi. Sang Ustadz justru selalu membaca ayat-ayat yang tidak terlalu panjang atau membaca surah-surah yang pendek dalam shalatnya.

Pada suatu ketika ada salah satu murid dari Sang Ustadz yang bertanya pada Sang Ustadz.

“ Ustadz, kenapa ketika menjadi imam shalat, Ustadz seringnya selalu membaca ayat-ayat atau surah yang pendek ? Padahal Ustadz ini kan hafidz, bacaannya sangat bagus dan bersuara merdu. Tidak sebagaimana yang sering saya temui di tempat lain di mana seseorang yang ketika shalat sendirian bacaan Qurannya pendek-pendek, tetapi ketika menjadi imam ia akan memanjangkan bacaan Qur’annya. Mohon penjelasannya Ustadz, agar menjawab rasa penasaran saya dan agar menjadi tambahan ilmu bagi saya”.

Sang Ustadz tersenyum mendengar pertanyaan itu dan kemudian menjawab dengan tenang.

“ Sebenarnya aku suka memanjangkan bacaan Qur’anku ketika shalat, tetapi aku hanya melakukannya dalam shalat malamku yang tak jarang sering membuatku menangis ketika sampai pada ayat-ayat yang menggetarkan jiwa.

Aku tidak pernah melakukannya ketika sedang menjadi imam di masjid yang ma’mumnya banyak orang tua dan anak-anak. Tetapi ketika aku menjadi imam di sebuah masjid yang ma’mumnya terbiasa dengan bacan Qur’an yang panjang, barulah aku akan memanjangkan bacaaan Qur’anku.

Karena bagiku, seorang imam itu harus memudahkan ma’mumnya dan membuat ma’mumnya nyaman agar ma’mum itu mencintai shalat berjamaah. Memanjangkan bacaan Qur’an barangkali memang lebih berpahala bagi seorang imam yang artinya hanya bermanfaat bagi diri sang imam, tetapi memberatkan ma’mum dengan bacaan Qur’an yang panjang itu dampaknya dirasakan oleh semua ma’mum.

Artinya yang berdampak pada orang banyak itu harus diutamakan daripada yang hanya berdampak pada diri sendiri. Jangan sampai imam senang dan asyik mencari keutamaan sendiri tanpa memperhitungkan kondisi ma’mumnya”.

Berdasarkan penjelasan ustadz kepada muridnya tersebut, berarti seorang imam yang asyik menikmati menangis karena larut dalam bacaan Qur’annya sendiri itu adalah orang yang egois, hanya mencari keutamaan bagi dirinya sendiri dengan tidak memperhatikan atau melupakan  kondisi ma’mumnya ?

Ah entahlah…aku hanyalah angin yang membawa cerita.

*Source images : wwww.google.com

Komentar

Tulis Komentar