Yang Cerewet Empat Jam!

Other

by nurdhania

…yang cerewet, yang gak bisa diem, belingsatan, heboh dan bawel, kayaknya yang paling sering jadi sorotan.


Sorotan dalam hal apa dulu nih? Masak iya ngerekrut detektif yang kayak gitu, kan nggak mungkin. Bisa bubar semua informasi kalau model detektifnya kayak gitu, bocor kemana-mana hehehe…


Tapi, kalau di antara anggota keluarga, saya yang cukup jadi sorotan. Sorotan untuk enak dikorek-korek beritanya kali ya (?). Sebabnya, saya ini yang termasuk kategori di atas tadi.


Tampaknya, saya memang belum cerita banyak tentang kisah-kisah pilu, sedih, senang, sampai yang menegangkan ke teman-teman di ruangobrol.id.


Eh, tapi ketika di awal-awal sih saya pernah nulis; sedikit cerita tentang kondisi air di perkemahan pengungsian dan suasana saat bulan Ramadan di Timur Tengah sana.


Bahkan, saya sendiri lebih sering menceritakan secara tersirat, bahwa saya dan keluarga pernah ke Timur Tengah dan masuk ke wilayah suatu kelompok radikal.


Mungkin teman-teman pernah ada yang sedikit bingung dengan cerita ini “Bocah Timur Tengah” ni cewek emangnya siapa sih? Princess Esmeralda! hehehehe.


Berhubung judul di atas cukup nyeleneh, tapi itulah yang sempat saya ceritakan di hadapan beberapa anak SMA pada kegiatan Muslim Leadership Exploration and Development (M-Lead) 2019 ini. Kegiatan itu diadakan oleh Milenial Islami dan Wahid Foundation.


Saya diamanahkan untuk bercerita sedikit mengenai pengalaman hidup saya dan keluarga saya yang anti-mainstream.


Saya bercerita sebagaimana biasanya di sejumlah forum yang saya ikuti. Saya bercerita sembari menampilkan beberapa gambar dan pesan di slide show yang saya buat sendiri.


Isinya mulai dari media sosial, anak muda, bagaimana bisa terpengaruh, saat di Timur Tengah hingga kembali ke Indonesia.
Semuanya berjalan lancar-lancar saja, seperti biasa, seperti acara-acara sebelumnya.


Tapi, ada hal yang menurut saya tak biasa. Adalah ketika sesi tanya jawab. Sebabnya, ada pertanyaan dari anak SMA yang menurut saya antimainstream.


Biasanya, pertanyaan yang saya dapati hanya seputaran “Kok bisa sih ke sana?” Gimana keluarga bisa ikut juga?”, “Di sana ada apa aja emangnya?,” atau “Bagaimana bisa pulang?”


Tapi pertanyaan yang dilontarkan kali ini bener-bener nggak kebayang. Dia tanyanya gini:


“Kak, bagaimana untuk menjadi pejuang sedangkan kita memiliki mental pecundang?”


Jleb! Berat banget pertanyaannya.


Jujur, saya langsung tersentak. Sebabnya, saya merasa bahwa diri ini masih pecundang juga. Masih banyak takutnya. Sebab itulah, pertanyaan itu saya jawab based on my true story aja.


Ketika saya dan keluarga sudah dijemput oleh Pemerintah Indonesia termasuk oleh Pak Huda (Noor Huda Ismail – aktivis kemanusiaan) di perbatasan Irak – Suriah, kami menuju sebuah hotel di Irak. Di sana, kami menjalani serangkaian pemeriksaan, lebih tepatnya interogasi.


Siapa sih yang pernah kepikiran, di umur baru 19 tahun bakal diinterogasi oleh beberapa pihak intelijen. Saya paham, ini adalah prosedur, mereka ingin mengorek informasi mengapa saya dan keluarga saya bisa pergi ke negeri tersebut.


Dan tak kalah penting, saya juga tahu kalau interogatornya adalah orang-orang baik. Bahkan, cara bertanya mereka pun baik.


Tapi tetap aja, saya takut banget. Nggak tau kenapa, mungkin karena saya cuma sendirian (sendiri-sendiri ketika diinterogasi).


Ketika saya diinterogasi (diwawancara), di salah satu ruangan, semua yang di situ bapak-bapak. Ada dari Kementerian Luar Negeri Indonesia, Pak Huda hingga pihak intelijen. Ada sih seorang ibu, tapi beliau nggak nanya-nanya.


Apa yang saya lakukan? Nangis? Alhamdulillah Tidak!
Saya berdoa kepada Allah, meminta kemudahan, kelancaran, sambil do'a Robbishrohlii sodrii wa yasirlii amrii wahlul 'uqdatan min lisaani yaf qohuu qowlii.


Lalu, bagaimana saya menghilangkan rasa takut? Saya hanya mencoba berkata dan mencamkan dalam hati:


"Bahwa yang berhak ditakuti hanya Allah. bapak-bapak semua ini, hanyalah manusia. Jadi gak boleh takut…gak boleh takut. Toh kan juga gak ada yang disembunyikan Dhan."


Interogasi itu berlangsung kurang lebih 4 jam. Di hari berikutnya, tidak terlalu lama, kurang lebih 2 jam. Cuma saya heran, di antara 9 orang wanita (yang diinterogasi), yang paling lama cuma saya…Kenapa ya? Apakah karena yang paling cerewet (??)


Cerita itulah yang akhirnya saya sampaikan ke adik SMA yang telah bertanya di acara M-Lead tadi.


Ternyata, gak sampai di situ. Di bulan november 2018 lalu, saya harus memutuskan sendiri lagi, di tengah waktu yang cukup mepet/sempit, tepatnya di kegiatan Indonesia Millenial Movement (IMMOVE) 2018.Ketika Pak Dani dari United Nation Development Program (UNDP) menghampiri dan bertanya tentang cerita saya, entah kenapa saya mulai takut. Ketika Pak Dani dari United Nation Development Program (UNDP) menghampiri dan bertanya tentang cerita saya, entah kenapa saya mulai takut.


Setelah itu, Pak Dani menghampiri beberapa kakak fasilitator. Di situlah saya mulai bercerita lagi. Saya pun, ditawari untuk berbagi ke para peserta IMMOVE 2018.


Saya mulai galau, "Duh.. gimana ya, kalau teman-teman pada menjauhi saya. Mereka takut, atau benci dengan saya?” dan berbagai negative thinking muncul di benak saya kala itu.


Sebelum maju, tepat waktu istirahat. Saya Salat Ashar dan berdoa mohon kepada Allah agar diberikan kelancaran, kemudahan, keteguhan dan kekuatan.


Sampai akhirnya saya memantapkan diri dan berkata pada diri sendiri:


"Kalau nanti teman-teman menjauhimu dan gak mau berteman, biarin aja. Toh aku punya Allah, kemudian keluarga dan teman-teman lain yang mau menerima aku apa adanya,"


Alhamdulillah… Semua berjalan lancar. Saya bisa bercerita, membuat para peserta kaget terheran-heran, dan mereka pun menerimanya.


Hahaha! Lebay banget yaa kayaknya, namun begitulah kenyatannya.


Makanya, sampai-sampai ada seorang peneliti yang bilang ke saya "Gak usah baper, cuek aja".


Bahkan, orang tua saya juga pernah bilang:


"Kamu ini…dikit-dikit takut! Tapi, waktu pengen pergi sendiri ke Timur Tengah, gak ada takutnya!" ?



Gambar: https://goo.gl/images/JCPY69

Komentar

Tulis Komentar