Kisah Sang Mayor dari Konflik Poso

Other

by Boaz Simanjuntak

Facebook menerapkan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang bisa mengenali ekspresi wajah manusia dan bisa paham saat manusia berbicara. Bloomberg News mengumpulkan informasi dengan AI untuk mengukur dampak demonstrasi di Hong Kong terhadap penjualan barang dan peralihan bisnis global dari Hong Kong yang juga berdampak pada sektor pariwisata.

Itu soal mesin. Jika berekspresi dihubungkan dengan demokrasi, ternyata menurut survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia, kebebasan berkspresi di kalangan sipil era rezim Jokowi pada rentang Mei-Juni 2019, cenderung memburuk. Dalam ekspresi berpendapat misalnya, 43 persen responden mengaku takut.

Membahas ketakutan, semakin canggih teknologi maka semakin besar kemungkinan data pribadi kita bisa tersebar luas. Sebuah bentuk ketakutan yang dilematis, bukan? Jika segala hal bisa dikendalikan lewat pikiran yang teredukasi dan tindakan yang terukur, setiap kemarahan pasti mengandung ketakutan. Begitu pula dengan terorisme, akomodasi ekspresi akibat kekecewaan yang memuncak atas masalah dalam diri maupun lingkungan, pilihannya sangat liar, berujung kematian.

Pankaj Mishra dalam bukunya”Age of Anger”, menjelaskan terminologi menarik yang dia sebut sebagai pandemik global dari kemarahan. Ternyata, aksi negatif punya efek tular yang besar pula. Mishra menyebut ressentiment adalah dasarnya. Sebuah kata dalam Bahasa Perancis oleh Kierkegaard yang bermakna kekuatan kemarahan yang bisa membunuh dan menjadi permanen.

Bertemu orang-orang yang pernah berada dalam lingkaran kekerasan pasti akan mengubah cara pandang kita perihal memberikan "kesempatan kedua". Seperti pengalaman saya bertemu Ateng. Saat konflik Poso, ia biasa dipanggil Mayor. “Itu nama panggilan di lapangan, Bang,” ungkapnya saat saya bertamu di rumahnya, 40 menit menjelang pusat kota Poso. Ateng bercerita bagaimana ia mengambil keputusan untuk mengakhiri keterlibatannya dalam konflik. Saya bisa memahami mengapa dia memutuskan terlibat dalam kekerasan. Dia melihat sendiri beberapa anggota keluarganya mengalami kekerasan yang mematikan.

Titik balik Ateng yang penting kita catat sebagai prestasi melawan kekerasan dengan cara yang kreatif. Pendampingan saat di dalam penjara dan memberikan  kesempatan kedua saat keluar dari penjara.

“Saya tidak menduga akan kembali lagi ke sebuah desa yang kami serang saat konflik Poso,” ujar Ateng.

Saat keluar dari penjara, ia didekati anak-anak muda yang sangat concern atas upaya damai pascakonflik Poso. Mereka tidak bicara soal perdamaian, Ateng malah ditanya apa kebutuhan dari ibu-ibu di sekitar rumahnya. Ia kembali dengan kumpulan data yang menarik, kebutuhan makanan pendamping ASI (MPASI), nutrisi untuk ibu dan anak. Bantuan datang dan Ateng beserta warga di lingkungannya yang membagikan kebutuhan tersebut. Setelah terbiasa, para anak muda pelopor perdamaian itu lalu menawarkan Ateng untuk melakukan hal yang sama di desa yang pernah ia dan rekan-rekannya serang.

Alih-alih menolak, justru Ateng tertantang untuk melakukan kebaikan yang menular tersebut. Dengan suara yang menahan haru ia mengatakan kepada saya, “Tidak pernah terpikir untuk masuk ke tempat yang sama namun melakukan hal yang berbeda”.

Dia tidak hanya membagikan MPASI tetapi juga membawa buku cerita untuk anak-anak. “Saya tidak sangka dampak konflik Poso, menghancurkan harapan ibu dan anak untuk bertumbuh dalam damai, dan saya pernah terlibat dalam prose penghancuran itu,” sesal Ateng.

Dengan jelas, saya melihat ekspresi yang berbeda dari diri Sang Mayor. Sekarang, Ateng adalah Mayor yang raut wajahnya penuh senyuman. Sebuah bentuk komunikasi nonverbal yang penting diperhatikan saat menilai perubahan dalam diri seseorang.

Mesin saja lewat AI mampu “memberikan perhatian” kepada manusia. Sebuah tantangan sebagai sesama manusia untuk memberikan "kesempatan kedua" bagi mantan teroris. Jika kemarahan adalah ekspresi yang bisa “menular”, kebaikan pun pasti memiliki kekuatan positif yang besar dan bisa kita tularkan.

Komentar

Tulis Komentar