Hijrah Kaleng-Kaleng?

Other

by Kharis Hadirin

Dewasa ini, kata hijrah banyak kita temukan di kalangan masyarakat secara luas. Hijrah bukan saja menjadi suatu bahasa yang khusus digunakan hanya kalangan tertentu saja. Jika merujuk pada asal katanya dari Bahasa Arab yang umum digunakan di kalangan pesantren atau lembaga pendidikan Islam. Tetapi saat ini sering kali merambah pada kalangan artis, pengusaha, kaum terpelajar bahkan masyarakat awam sekalipun. Maraknya fenomena ini seolah menjadi trend gaya hidup baru, terutama bagi masyarakat perkotaan seperti Jakarta.
Jika dulu atribut-atribut keislaman seperti cadar dan gamis menjadi hal yang tabu, sekarang hampir mudah ditemui di berbagai sudut kota. Pendek kata, orang-orang berbusana Islamis seperti cadar, gamis, memelihara jenggot, tak hanya melulu di masjid-masjid atau tempat pengajian saja. Bahkan seringkali dengan mudah ditemukan di tempat-tempat tongkorngan mewah seperti mall atau café.
Adanya pergeseran trend seperti ini tentu saja menarik untuk dikaji. Sebab hal-hal yang tadinya identik dengan budaya pesantren, bergeser menjadi budaya populis yang tidak hanya digunakan oleh masyarakat umum saja, namun juga kalangan publik figur sekalipun.
Misalkan saja seperti pesinetron kondang Tengku Wisnu, Claudia Cintya Bella, Dewi Sandra atau Arie Untung. Bahkan termasuk Kartika Putri, perempuan kelahiran Palembang 1991 yang kini memutuskan untuk menggunakan cadar. Tentu sangat kontras dengan masa lalunya yang hidup glamor dan selalu berpenampilan seksi.
Meski trend ini cukup marak, akan tetapi juga tidak lepas dari berbagai kontroversi. Pasalnya, definisi hijrah seringkali dipahami secara umum dan digunakan sebagai tolok ukur untuk menjustfikasi pihak tertentu. Sehingga pada akhirnya, konsep ini justru menimbulkan persepsi yang bias di tengah masyarakat. Hal ini cukup wajar, sebab selama ini, kata hijrah hanya dipahami secara general sebagai makna berpindah dari satu tempat/kondisi ke tempat/kondisi yang berbeda.
Akibatnya, ketika simbol-simbol tersebut digunakan sebagai pijakan pada definisi secara sempit, maka tak mengherankan jika definisi ini menjadi rancu. Akhirnya, orang menjadi mudah menjustifikasi pihak lain yang dianggap tidak seragam dengan dirinya. Padahal esensi dari hijrah sendiri bukan sekedar memperbaiki tampilan luar, namun juga adanya perubahan pada sikap dan perilaku yang lebih baik. Bukan sebatas kaleng-kaleng, yang gemar menebar dalil kesana-kemari namun mengabaikan budi pekerti.

Hijrah dalam Konsep Islam

Istilah hijrah bukanlah sesuatu yang asing dalam ajaran Islam. Para pengikut awal Nabi Muhammad pernah pindah ke Abbysinia (sekarang: Ethiopia) untuk menghindari kekerasan dan persekusi yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy di Mekkah. Di Ethiopia, para pengikut Nabi mendapatkan perlindungan keamanan dari seorang raja Kristen yang adil dan bijaksana yang bergelar Raja Negus (Najasyi). Momen ini dapat disebut sebagai hijrah gelombang pertama.
Hijrah gelombang kedua adalah ketika Nabi Muhammad dan pengikutnya berpindah dari Mekkah ke Madinah. Saking pentingnya, momen Nabi ke Madinah menjadi batu pijakan dalam penetapan kalender Hijriyah.
Hijrah memiliki dua makna. Ada secara makna atau ma’nawiyyah dan ada secara fisik atau makaniyyah. Hijrah secara makna adalah perubahan kepribadian, dari keadaan pribadi sebelumnya kepada keadaan pribadi yang lebih baik secara lahir dan batin.
Adapun hijrah secara fisik adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain yang situasinya lebih baik. Hal ini tentunya merujuk pada sejarah hijrah itu sendiri dimana Nabi Muhammad melakukan perjalanan bersama dengan para sahabatnya dari Kota Mekkah menuju Kota Madinah dan berharap bisa menemukan kondisi lingkungan baru yang lebih baik.
Sedangkan ada juga yang berpendapat bahwa kata hijrah dimaknai dan diartikan dalam berbagai sudut pandang berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Disebutkan pula bahwa hijrah terdiri dari tiga proses atau tahapan yakni pemikiran, perkataan dan perbuatan.
Karenanya, konsep hijrah haruslah berjalan selaras tanpa mengabaikan proses yang ada baik pemikiran, perkataan maupun perbuatan. Sebab berhijrah seharusnya membuat kita menjadi lebih dewasa dan tawadhu’ dalam beragama. Wallahu'alam.

Komentar

Tulis Komentar