PUBG Kena Fatwa?

Other

by Boaz Simanjuntak

MUI (Majelis Ulama Indonesia) berwacana mengeluarkan fatwa terhadap gim daring/dalam jaringan (online game), khususnya PUBG, yang dikaitkan dengan penembakan di mesjid, di Selandia Baru, oleh Brenton Tarrant. Ada baiknya kita mulai dari perilaku Brenton Tarrant, supaya mendapatkan pemahaman yang menyeluruh dan bisa kita gunakan untuk melakukan pencegahan kekerasan berbasis komunitas.

Jika seseorang atau sekelompok orang telah berani melakukan aksi kekerasan, setidaknya telah melewati tiga fase, yaitu: terinspirasi, tergerak, dan terlibat. Dalam konteks Brenton, ia terinspirasi melalui gim daring, tergerak melalui kesiapan dengan sumber daya (mobil, senjata, kamera), dan terlibat dengan melakukan aksi sendiri (lone wolf). Pola komunikasi yang kekinian dipertontonkan Brenton lewat aksinya, yaitu: merekam aksi sendiri (self recording) dan diseminasi aksi teror lewat medsos (media sosial) erat hubungannya dengan pengakuan terhadap identitas dan peneguhan yang bermakna sadis, serta ditambah penyebaran ketakutan yang cepat juga masif. Dalam manifesto, Brenton mengaku sebagai komunis, lalu berubah menjadi anarkis, dan terakhir menjadi eco-fasis. Jangan melihat isme yang dianutnya, tetapi cermati bagaimana pilihan perpindahan isme yang dilalui sebagai bentuk rangkaian proses untuk mencari kecocokan yang diyakini sejalan dengan pemikirannya.

Jika seseorang terlibat dalam kekerasan, ada proses pembentukan yang terjadi dari dalam dirinya dan dari luar dirinya. Brenton pun memiliki dua proses pembentukan tersebut, proses dari dalam dirinya adalah harus membuktikan siapa dirinya dan bagaimana orang lain berpendapat tentang dirinya, sedangkan proses dari luar dirinya adalah dampak yang didapat sejak kecil yaitu perundungan (bully). Jadi, ini adalah soal pergeseran identitas yang identik dengan pembuktian diri, setelah pernah menjadi obyek kekerasan maka ia berubah menjadi subyek kekerasan, dulu ditindas dan sekarang menindas.

Lalu, apa yang harus dilakukan, dalam mencegah kekerasan melalui gim daring? Pertama, batasan usia perlu diperketat, misalnya dengan verifikasi orang dewasa yang alamatnya sama. Namun, hal ini membutuhkan mekanisme kepastian perlindungan data pribadi, jangan sampai data anak di bawah umur maupun orang dewasa bisa tersebar kemana-mana sehingga dimanfaatkan untuk kejahatan siber. Kedua, perihal waktu dan dampak dari gim daring bisa dimulai dari peran keluarga, misalnya dengan pengaturan jam bermain gim daring. Artinya, pengaturan bermain gim daring lebih baik diurus di wilayah privat atau dengan bantuan komunitas terlatih yang peduli dengan ranah daring, membuat semacam panduan “game detox” atau semacam kegiatan “main gim bareng keluarga”.

Jika MUI jadi mengeluarkan fatwa, hendaknya berhati-hati karena bisa saja menghadapi resistensi dari industri kreatif yang sedang tumbuh di negara ini. Merujuk kepada Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan maka kedudukan fatwa bukan merupakan jenis perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun, sebagai sebuah pendapat terhadap suatu potensi masalah, kita harus menghargai masukan MUI sebagai bentuk rasa peduli akan dampak gim daring yang bisa saja membentuk individu untuk mencontoh tindakan kekerasan.

Pada akhirnya, orangtua harus mengkalkulasi gim daring dengan seksama, memiliki daftar, mulai dari penggunaan waktu, biaya, dan konten, baik narasi serta visual. Daftar seperti ini tentu bisa dihubungkan dengan dampak gim daring terhadap kesehatan tubuh. Jangan lupa, koneksi ke jaringan lintas komunitas bisa memperkuat pencegahan kekerasan berbasis komunitas.

Foto: gamerant, https://gamerant.com/playerunknowns-battlegrounds-cheater-ban-count/

Komentar

Tulis Komentar