SEBUAH TITIK BALIK (1)

Other

by Arif Budi Setyawan

Di awal-awal masa penahanan saya oleh kepolisian, ada sebuah kisah yang menjadi titik balik perubahan besar dalam hidup saya, yaitu ketika ada seorang kawan yang mendatangi saya untuk berdialog dan memberikan dukungan moral. Dalam dialog dengan kawan itu  ada beberapa pertanyaan yang ia ajukan yang sangat menghujam ke dalam sanubari saya. Pertanyaan itu adalah :

“ Siapakah sebenarnya yang antum perjuangkan selama ini ?”

Saya dengan tegas dan mantap menjawab : “ Saya memperjuangkan Islam dan kaum muslimin”.

Lalu dia berkata lagi, “ Jika antum memperjuangkan Islam dan kaum muslimin, coba lihat dampak yang terjadi dari hasil perjuangan antum itu pada Islam dan kaum muslimin. Apakah mereka mengerti dengan yang antum perjuangkan ? Apakah Islam jadi semakin dihormati karena perbuatan antum atau malah jadi tercoreng akibat perbuatan antum ?”

Saya terdiam tidak bisa menjawab. Tiba-tiba pikiran saya bergejolak hebat, mulai mempertanyakan apakah yang telah saya lakukan ini benar ?

Kawan saya itu menyambung lagi, “ Lihatlah akibat dari perbuatan antum yang terjadi pada diri antum saat ini yang akan terpenjara untuk beberapa waktu lamanya, lalu akibat yang akan ditanggung oleh keluarga antum yang tidak tahu apa-apa dengan yang antum lakukan selama ini, dan dampak yang terjadi pada kaum muslimin yang sangat mungkin justru akan menjauhi antum. Apakah ini jalan perjuangan yang antum anggap benar dan akan terus antum pertahankan ?”

Saya semakin dalam berpikir dan terus diam tak menjawab, tetapi saya tak bisa menahan air mata saya waktu itu. Terbayang oleh saya apa yang akan terjadi pada saya, keluarga saya, dan kaum muslimin yang saya perjuangkan selama ini.

Pertanyaan-pertanyaan itu terasa sangat dahsyat menghantam relung hati saya, bagaikan dihantam gempa 9 skala richter yang diikuti tsunami dahsyat. Selama ini saya tidak pernah memikirkannya. Bahkan orang tua dan keluarga saya pun tidak tahu apa yang selama ini saya lakukan. Bagaimana saya akan memberitahunya jika dengan memberitahunya saya khawatir mereka jadi takut dan mengkhawatirkan saya ? Bagaimanapun saya tidak ingin membebani keluarga saya. Saya menganggap apa yang saya lakukan adalah sebuah eksperimen saya pribadi yang saya tidak ingin ada orang lain yang ikut menanggung konsekwensinya.

Tapi pada saat itu seakan-akan saya baru tersadar, bahwa saat itu mau tidak mau, suka atau tidak suka, semua keluarga saya akan merasakan dampak dari apa yang saya lakukan. Meskipun selama ini saya merahasiakan apa yang saya lakukan, toh pada akhirnya mereka semua merasakan dampaknya. Saya tiba-tiba merasa sangat bersalah. Seumur hidup saya saat itulah saya merasakan menjadi orang yang paling bersalah. Orang-orang yang sangat saya cintai dan yang seharusnya saya harus berbuat baik kepada mereka, menjadi korban yang merasakan dampak buruk dari perbuatan saya. Saya menyebut mereka sebagai korban karena mereka sama sekali tidak tahu menahu dengan apa yang saya lakukan tetapi harus menanggung kesusahan akibat perbuatan saya.

Saya menangis. Menangisi kesalahan saya, menangisi kebodohan saya mengapa baru saat itu sadar, menangisi diri saya yang pada saat itu merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk meringankan beban keluarga yang saya tinggalkan, terutama anak dan istri saya. Tiba-tiba saya sebagai manusia merasa sangat mengkhawatirkan mereka. Saya khawatir bapak saya akan mengalami stroke (karena punya riwayat pernah stroke ringan) mengetahui saya ditangkap aparat, saya khawatir ibu akan bersedih berkepanjangan memikirkan saya, dan saya paling khawatir akan nasib anak istri saya.

Semalaman saya memikirkan keluarga saya. Sampai kemudian saya menemukan kembali diri saya sebagai hamba Allah SWT yang sepatutnya menyandarkan semua urusan kepadaNya semata. Saya lalu teringat dengan penggalan sebuah hadits Rasulullah s.aw yang termasuk salah satu hadits dalam himpunan Hadits Arba’in-nya Imam Nawawi yang artinya :

“ Barang siapa yang memudahkan urusan orang yang kesulitan, maka Allah memudahkan baginya dari kesulitan di dunia dan akhirat...”

Sejak saat itu saya bertekad untuk memudahkan atau meringankan urusan orang lain siapa pun itu. Dengan begitu saya berharap kepada Allah, Allah akan memudahkan semua urusan saya. Dan saya sangat yakin dalam mengamalkan hadits itu. Kekhawatiran saya itu baru perlahan menghilang ketika saya bisa menghubungi keluarga saya dan mendengar bahwa semuanya baik-baik saja dan dapat menerima dengan ikhlas cobaan berupa ditahannya saya karena kesalahan saya sebelumnya.

Saya juga berpesan agar keluarga tidak memaksakan diri untuk membesuk saya, karena hal itu akan semakin memberatkan mereka. Saya sudah cukup senang mengetahui mereka baik-baik saja di rumah. Saya tidak ingin memberatkan mereka. Kehilangan saya untuk sementara waktu itu sudah cukup berat bagi mereka. Saya juga tidak pernah ngiri dengan teman-teman yang sering dibesuk keluarganya karena kondisinya sangat berbeda dengan saya.

Komentar

Tulis Komentar