Pesan Damai dari Poso

Other

by Administrator

“Konflik itu sesuatu yang sangat merugikan, menghancurkan! Terjadi kerusuhan, orang dibunuh! Efeknya sampai panjang, trauma masih ada. Makanya, cukuplah kita yang merasakan konflik itu, orang lain tidak usah!,”

Arifuddin “Brur” Lako – Pendiri Rumah Katu

 

Kalimat itu tegas terucap dari bibir Arifuddin Lako, pada Sabtu 17 Maret 2018 ketika berbincang dengan RUANGOBROL.ID di Park Hotel, Cawang, Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Brur, sapaan akrabnya mengenang peristiwa yang sempat dialaminya sepuluh tahun yang lalu: Konflik Poso!

Ketika mengobrol, Brur tampak santai. Bercelana pendek, kaus putih, bertopi hitam, jam tangan ala militer dan dengan brewok tebal. Brur sesekali menerawang, mengingat jelas peristiwa yang sempat dialaminya itu.

Saat itu, sekira 2 tahun terakhir, terhitung dari tahun 1998 hingga 2000 terjadi rentetan konflik di Poso, Sulawesi Tengah. Konflik yang melibatkan kelompok Islam dan Kristen. Konflik itu telah menimbulkan banyak korban jiwa, orang-orang terluka, orang-orang mengungsi, tercerai berai saudara karena kerusuhan, dan kehilangan tempat tinggal.

“Konflik pecah sesaat saya tamat SMA tahun 1997, setahun kemudian mulai terjadi kerusuhan,” kata Brur.

Konflik membuat Brur beringas sekaligus ketakutan. Dari yang sebelumnya tenang dan damai, hidup berdampingan meski beda keyakinan, berubah drastis. Provokasi berhasil membuat orang-orang yang sebenarnya tidak punya banyak informasi, menjadi kejam. Berbondong-bondong saling serang.

Brur mencontohkan, sebelum konflik untuk masuk ke wilayah Tentena, kota kecil di Kabupaten Poso, masih enak. Tidak ada saling curiga apalagi saling serang. Tapi, pascakonflik, semuanya berubah. Meskipun diakui Brur, untuk saat sekarang, trauma itu sudah mulai memudar.

“Tapi efek trauma masih ada,” lanjutnya.

Konflik komunal itu juga telah menciptakan dampak lainnya. Permusuhan ternyata masih terjadi. Sekali lagi, Brur, juga akhirnya sempat terlibat lebih jauh.

Brur mengenang, pada tahun 2004, dia terlibat langsung insiden penembakan seorang jaksa bernama Ferry Silalahi. Berboncengan sepeda motor, bersama 2 kawan lain, Brur mengeksekusi Ferry yang saat itu sedang naik mobil bersama istrinya.

Berondongan tembakan membuat Ferry tewas. Sementara istrinya lari ketakutan keluar dari mobil.

“Tapi istri itu tidak kami eksekusi, karena target kami saat itu hanya jaksa Ferry,” kenang Brur.

Brur bercerita singkat, dia mengaku dendam kepada jaksa itu. Dikatakan Brur, jaksa Ferry adalah ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas dua kasus di sana.

“Pertama di kasus yang terjadi di Desa Beteleme yang merupakan tempat tinggal Tibo cs dan kasus di Palu ada ustaz yang didakwa terlibat kasus Bom Bali I,” lanjutnya.

Setelah penyerangan itu, Brur buron. Hingga akhirnya pada tahun 2009 Brur menyerahkan diri ke polisi. Ada berbagai pertimbangan pilihannya menyerahkan diri. Mulai dari dukungan keluarga, juga takut karena ada beberapa orang yang ditetapkan menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh aparat akhirnya ditembak mati sebelum diadili di persidangan ketika persembunyiannya terendus.

“Saya kena Undang-Undang Terorisme (Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme), dituntut 17 tahun diputus 8 tahun 6 bulan, saya jalani 6 tahun 4 bulan di Lapas Palu,” sambung lelaki berusia 39 tahun ini.

Pesan Damai

Seiring Brur bertahun-tahun menjalani pidana, sisa-sisa konflik juga perlahan memudar. Rekonsiliasi terus dilakukan, baik oleh para pegiat perdamaian maupun pemerintah.

Tahun 2015 Brur bebas penjara. Kebingungan jelas melandanya karena belum punya pilihan jelas arah melangkah setelah bebas. Tapi Brur punya tekad kuat: kekerasan harus ditinggalkan, kedamaian harus ditegakkan!

Sebab itulah, dia terus berusaha ambil bagian untuk itu. Sampai akhirnya, langkah Brur dipertemukan dengan berbagai orang yang mau membantu. Punya misi yang sama tentang perdamaian. Salah satunya, Celebes Institut Palu maupun Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS).

Brur dibantu beberapa kawannya, termasuk ada beberapa ikhwan yang dulu sempat sekelompok, akhirnya mendirikan Rumah Katu di Poso, Januari 2016. Brur menjelaskan, Katu itu punya filosofi jamak; bisa diartikan sebagai atap yang terbuat dari daun sagu ataupun bisa diartikan rumah kami satu.

Brur selain jadi pendiri, juga jadi ketua. Sekretarisnya dia sengaja pilih orang yang beragama Kristen dari Tentena. Ini salah satunya adalah pesan bahwa sudah tidak ada lagi dan tidak boleh lagi terjadi konflik.

Enam bulan setelah didirikan, tepatnya pada Agustus 2016 digelar Festival Rumah Katu. Kegiatan ini menggandeng beberapa komunitas, di antaranya; musik, tari tradisional hingga foto. Tujuannya untuk kampanye perdamaian. Juga tentang status sosial Brur sebagai mantan napi teroris tapi bisa ambil bagian untuk upaya reintegrasi maupun kampanye damai.

“Jadi jangan hanya melihat, mendengar dari jauh, tapi enggak mau bergaul. Poso itu aman. Event ini juga untuk mengubah image Poso yang dianggap wilayah tidak aman,” kata Brur.

Kegiatannya kini juga sarat prestasi. Tercatat, Rumah Katu yang bersekretariat di Jalan Sultan Hasanudin nomor 47, Kelurahan Bone Sampe, Kecamatan Poso Kota Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, juga membuat berbagai film berisi pesan damai.

Brur memimpin timnya membuat film. Sudah 3 film dibuat; Senjata Rakitan, 2/3 Malam dan Jalan Pulang. Dua film pertama itu adalah film pendek, di mana 2/3 Malam sempat menyabet juara pertama lomba video pendek yang digelar Tempo Institute. Sementara film Jalan Pulang merupakan film panjang, berdurasi sekira 40 menit.

 

Konsistensi

Sampai hari ini, Brur tetap konsisten menyuarakan perdamaian. Pada 14 – 16 Maret lalu, Brur juga mengikuti Counter Violence Extremism (CVE) Communication Workshop yang digelar Prasasti Production Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) di Jakarta.

Kegiatan itu mengundang 30 orang sebagai peserta. Mereka adalah para ustaz, ustazah hingga eks napi teroris. Lewat kegiatan itu Brur juga akhirnya bertemu dengan Nurshadrina Khaira Dhania, gadis yang sempat menyeberang ke Suriah bersama keluarganya karena teriming-iming propaganda kelompok radikal ISIS.

Dari obrolan dengan Dhania, Brur jadi tahu apa yang dipropagandakan ISIS lewat berbagai cara, terutama sosial media, itu tidak benar. Semuanya adalah cerita bohong. Dia akan membawa cerita Dhania ke Poso, disebarkan ke kawan-kawannya.

“Terutama untuk generasi muda, agar jangan cepat terpancing, apalagi sekarang ada isu-isu, berita hoax yang hanya menyebabkan kerusuhan,” tutup ayah 1 putri itu.

Komentar

Tulis Komentar