Ketika Pengamen Bicara ‘Radikal’ (1)

Other

by Arif Budi Setyawan

Suatu sore di sebuah terminal bis antar kota, sambil menunggu kedatangan bis yang akan saya tumpangi menuju kota tujuan saya, iseng-iseng saya duduk di dekat sekumpulan para pengamen jalanan di salah satu sudut terminal. Mereka tampak asyik mengobrol sambil sesekali memainkan alat musik yang mereka pegang, yang kebetulan semua sama-sama pengguna alat musik ukulele.

Tiba-tiba salah satu di antara mereka ada yang nyeletuk sambil mencolek teman di sampingnya yang berbadan gempal.

kowe ki nek ngamen ojo radikal ngono. Mbok yo podo karo liyane sing wis umum. Mosok nyanyi lagu rock tapi nganggo ukulele. Umume kan lagune dangdut, campursari, utowo pop”. ( kamu ini kalau ngamen jangan radikal gitu. Mbok ya sama seperti yang lain yang sudah umum. Masa’ nyanyi lagu rock tapi alat musiknya ukulele. Umumnya kan lagunya –yang biasa dimainkan dengan ukulele-  itu lagu dangdut, campursari, atau pop)

Temannya yang gempal itu hanya senyum-senyum dan menimpali, “ lha aku memang pengin tampil beda. Ben ae arep diarani opo wis terserah, iki wis gayaku” ( Lha aku ini memang ingin tampil beda. Biar saja disebut apa juga terserah, ini sudah jadi gayaku)

Mendengar kata ‘radikal’ itu radar di otak saya langsung memberi sinyal notifikasi ‘ting’. Saya jadi lebih memperhatikan percakapan mereka gara-gara ada kata ‘radikal’ itu. Ini tak biasa pikir saya. Ada pengamen ngomong ‘radikal’. Saya ini pernah disebut sebagai orang radikal, jadi kalau ada orang menyebut kata ‘radikal’ pasti langsung menarik perhatian saya. Lalu apa sih yang mereka sebut radikal itu ?

Setelah saya mendengarkan percakapan mereka, ternyata radikal menurut mereka adalah ketika ada salah satu teman mereka mencoba sebuah ‘genre’ baru dalam mengamen, yaitu menyanyikan lagu rock tapi menggunakan alat musik ukulele. Sesuatu yang tidak lazim menurut kebanyakan teman-temannya.

Hmm… jadi mereka mendefinisikan radikal itu sebagai sesuatu yang tidak lazim dilakukan oleh kebanyakan orang. Kalau meminjam definisi mereka ini, maka semua penemu dan ilmuwan yang meneliti sesuatu yang belum pernah terpikirkan sebelumnya disebut orang-orang yang radikal dong ?

Di perjalanan ketika saya sudah naik bis, untuk mengisi waktu saya membuka aplikasi web browser di smartphone saya. Ada sebuah berita yang menggelitik judulnya : “Penelitian Sebut 41 Masjid Pemerintahan Terpapar Paham Radikal” (lihat : https://nasional.tempo.co/read/1104879/penelitian-sebut-41-masjid-pemerintahan-terpapar-paham-radikal ).

Wah, ini ada kata-kata ‘radikal’ lagi. Dan seperti sebelumnya, saya pun jadi lebih memperhatikan berita itu. Saya jadi penasaran apa sih definisi radikal menurut penelitian itu ? Saya kutipkan pernyataan dari koordinator penelitian tsb sebagaimana yang dimuat dalam berita pada link di atas.

"Dari hasil survei, menunjukkan angka yang mengejutkan. Dari 100 masjid, 41 masjid terindikasi paham radikal," ujar Agus Muhammad, selaku koordinator penelitian, di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Ahad, 8 Juli 2018.

Agus menjelaskan, penelitian ini dilakukan pada sejumlah masjid di kementerian sebanyak 35 masjid, di BUMN 37 masjid, dan di lembaga negara sebanyak 28 masjid. Penelitian dilakukan pada 29 September-21 Oktober 2017, dengan merekam secara audio dan video khotbah Jumat selama periode tersebut.

Hasilnya, Agus melanjutkan, 41 masjid yang terindikasi radikal terdiri atas 21 masjid di BUMN, 12 masjid di kementerian, dan 8 masjid di lembaga negara.

Agus mengatakan, dalam penelitian ini, paham radikal yang dimaksud adalah paham yang menganggap satu kelompok paling benar dan kelompok lain salah, mudah mengkafirkan orang lain, berpaham intoleransi, cenderung memaksakan keyakinan pada orang lain, dan menganggap demokrasi produk kafir serta membolehkan segala cara atas nama negara.

Dari kata yang saya garis bawahi, saya sudah mendapatkan definisi yang dimaksud oleh penelitian tersebut.

Tetapi, sama dengan definisi radikal versi para pengamen sebelumnya, untuk mendefinisikan ‘radikal’ diperlukan sebuah perimeter. Perimeter ini penting, karena boleh jadi pada sebuah konteks pernyataan seseorang tidak dianggap paham radikal tetapi dianggap radikal pada konteks yang lain.

Misal : Para pengamen itu perimeternya adalah kelaziman dari apa yang biasa dilakukan oleh para pengamen di daerah itu. Sehingga ketika ada yang melakukan sesuatu di luar kelaziman, langsung mereka sebut dengan ‘radikal’.

Tetapi jika dilihat dari perimeter kreativitas, maka yang dilakukan oleh salah satu pengamen yang kemudian dianggap ‘radikal’ oleh kebanyakan temannya itu merupakan sebuah terobosan besar, bukan sesuatu yang ‘radikal’. Bukankah begitu ?

Lalu, pertanyaan saya adalah : Perimeter apa yang digunakan oleh para peneliti itu untuk menentukan bahwa seseorang telah menganggap satu kelompok paling benar dan kelompok lain salah, mudah mengkafirkan orang lain, berpaham intoleransi, cenderung memaksakan keyakinan pada orang lain, dan menganggap demokrasi produk kafir, dst ?

Jika Anda seorang muslim lalu ada sebuah survei dari lembaga penelitian yang menanyakan :

Islam adalah agama yang saya yakini paling benar. Jawab dengan memilih salah satu dari : sangat tidak setuju, tidak setuju, tidak yakin, setuju, sangat setuju.

Saya yakin jawaban Anda pasti minimal setuju atau sangat setuju. Jika misalnya ini  -saja- yang jadi indikator merasa paling benar, intoleran dan toleran, kan gawat jadinya ? Semua orang Islam radikal dong kalau begini ? Hehe...

Saya juga sangat yakin memang tidak hanya itu yang dijadikan indikator, pasti banyak indikator yang lainnya. Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah : perimeter atau indikator itu ditentukan oleh sang peneliti.

Jika penelitinya termasuk Islamphobia misalnya, apakah hasil  penelitiannya bisa dipakai ? Jika misalnya penelitinya adalah orang yang ultra-nasionalis apakah bisa dipakai hasil penelitiannya ? Jika penelitinya seorang yang liberal, apakah bisa dipakai hasil penelitiannya ? Jika penelitinya adalah para pengamen jalanan apakah bisa dipakai hasil penelitiannya ?

Menurut saya, hasil penelitian itu masih subyektif tergantung dari siapa penelitinya dan cara pandang sang peneliti. Tidak ada yang benar-benar obyektif 100 %. Meskipun demikian, semua hasil penelitian itu bisa dijadikan sebagai data pembanding.

Bersambung, In sya Allah

===================================================================================

Source Image : https://d2gg9evh47fn9z.cloudfront.net/800px_COLOURBOX1941455.jpg

Komentar

Tulis Komentar