Survei Indikator Perilaku Korup vs Perilaku Radikalisme

Other

by Arif Budi Setyawan

Anda pasti pernah menemui adanya para siswa sekolah yang suka mencontek. Atau yang suka datang terlambat ke sekolah. Atau sering membolos tanpa alasan. Atau yang suka berbohong pada guru maupun orangtuanya.


Hal itu sebenarnya merupakan tanda-tanda adanya potensi seseorang suka melakukan kecurangan. Kecurangan itu saudaranya korupsi. Korupsi itu merugikan banyak orang. Bahkan pada level tertentu korupsi itu bisa membunuh banyak warga negaranya.


Coba kita ambil satu contoh saja misalnya korupsi pada proyek pembangunan jalan raya. Karena adanya korupsi dari atasan sampai bawahan, maka kualitas jalan raya yang dibangun jadi jelek pakai banget. Dalam beberapa bulan sudah berlubang. Lalu banyak orang yang terlibat kecelakaan bahkan ada yang sampai meninggal dunia.


Kalau sudah begini, bukankah perilaku korupsi itu bisa membunuh orang juga? Belum lagi korupsi di sana sini yang menyebabkan negara rugi berpuluh-puluh triliun. Yang dengan angka segitu negara bisa memberi makan orang-orang miskin dan warga negara yang terlantar. Bisa mengobatkan puluhan ribu rakyatnya dengan pengobatan yang layak sehingga bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa rakyatnya.


Banyak yang kurang memperhatikan bahwa potensi korupsi itu bisa jadi sudah mulai ada sejak anak usia sekolah menengah. Kalau hal ini tidak dicegah atau dikurangi, bayangkan jika kelak anak-anak itu akan mengelola negara ini sepeninggal kita.


Saya pribadi heran dengan maraknya survei atau penelitian tentang potensi perilaku radikalisme di berbagai instansi negara dan instansi pendidikan. Tapi belum ada atau masih sangat jarang -karena saya belum menemukan- laporan hasil survei atau penelitian potensi perilaku korupsi pada instansi yang sama. Padahal menurut saya itu juga sama-sama berbahaya.


Belakangan ini muncul ide screening pegawai di beberapa instansi dari potensi perilaku radikalisme. Tapi belum pernah ada screening untuk perilaku korup. Jadi kalau ada pegawai yang terindikasi korup langsung dipindahtugaskan ke bagian yang tidak bisa dikorupsi.


Atau jika mau lebih luas lagi bisa diadakan screening potensi perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Jika seseorang lolos dari potensi perilaku korup, belum tentu ia lolos dari potensi kolusi dan nepotisme. Saya yakin masih banyak terjadi kok di negeri ini praktik-praktik KKN itu di berbagai instansi.


Betapa sering kita menjumpai orang yang begitu bangga berkata “saya punya orang dalam” ketika bisa memperoleh kemudahan dalam suatu urusan dengan pejabat negara. Padahal itu termasuk praktek perilaku kolusi.


Jadi, saya sebagai warga negara ingin sekali mengetahui seberapa besar angka potensi perilaku KKN di berbagai kalangan. Semakin banyak kalangan yang disurvei semakin bagus. Kepada para akademisi dan lembaga survei, mbok ya sering-seringlah buat survei atau penelitian tentang potensi perilaku KKN di masyarakat kita.


Meskipun barangkali jawabnya ada di ujung langit, sebagai warga negara saya berhak dong bertanya: Mengapa masih sangat super jarang sekali ada survei atu penelitian tentang potensi perilaku KKN di masyarakat kita? Kok masih jauh lebih banyak survei atau penelitian tentang potensi perilaku radikalisme? Padahal menurut saya sama-sama berbahaya.

Komentar

Tulis Komentar