MIT Punya Motif Ini di Penyerangan Sigi

Other

by Kharis Hadirin

Kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora kembali berulah. Pada Jum’at (27/11) pukul 08.00 WITA, mereka menyerang Dusun Lewonu, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Sebanyak 4 orang meninggal dunia akibat serangan tersebut. Selain itu, terdapat 6 rumah warga yang dibakar, termasuk 1 bangunan yang difungsikan sebagai pos pelayanan Gereja Bala Keselamatan.

Santer terdengar, serangan tersebut bermula dari penolakan warga setempat untuk memberikan bahan makanan pada kelompok penyerang. Namun sebuah akun Facebook bernama ‘Bebeep Pantau’ memberikan penjelasan berbeda terkait ihwal penyerangan warga Sigi.

Akun tersebut menjelaskan bahwa penyerangan yang dilakukan kelompok Ali Kalora itu bukan aksi acak. Perencanaan sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Tujuannya adalah untuk membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata atau pembocor informasi.

Indikasi tersebut menguat karena salah satu korban tewas berprofesi sebagai petani sekaligus penjerat babi hutan. Pekerjaan sebagai penjerat babi memungkinkan seseorang untuk masuk ke sisi-sisi dalam hutan di kawasan Sigi.

Kelompok MIT menduga jika warga di Dusun Lewonu tidak hanya hanya menjerat babi di hutan. Tetapi mereka dicurigai mengintai pergerakan kelompok ekstremis itu selama hidup bergerilya di atas Pegunungan Biru. Informasi pengintaian itu kemudian dilaporkan kepada pasukan Tinombala. Yakin dengan adanya pengintai, kelompok itu kemudian turun gunung dan melakukan penyerangan.

Namun, kekerasan yang mereka lakukan bukan hanya untuk menghilangkan nyama orang yang diduga sebagai pengintai. Tetapi juga memberikan ‘pelajaran’ kepada warga yang lain untuk tidak turut campur dalam operasi Tinombala. Terutama menjadi mata-mata bagi aparat.

Sementara itu, akun lain yang menggunakan nama alias Abu Abdullah Asy Syami, menuliskan bahwa tindakan MIT ini adalah aksi balasan atas konflik yang pernah terjadi di Poso pada tahun 1999 silam.

“Mujahidin akan membalas dendan atas darah yang ditumpahkan dengan cara yang sama, gereja untuk masjid, darah untuk darah, nyawa untuk nyawa.” tulis Abu Abdullah Asy Syami dalam sebuah pesan yang beredar di sosial media.
Pola Kekerasan yang Sama

Serangan kelompok MIT dengan metode pemenggalan bukan hanya sekali terjadi. Sepanjang tahun 2020 ini, paling tidak ada 2 kasus serupa yang dilakukan.

Kasus pertama terjadi pada 8 April 2020. Seorang warga Muslim bernama Daeng Tapo asal Dusun Sipatuo, Desa Kilo, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, tewas dengan luka serius pada bagian leher. Tidak berselang lama, kasus kedua terjadi. Tepatnya pada 19 April 2020, warga KM 8 Desa Kawende, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso yang diketahui bernama Ambo Ajeng dan beragama Islam, tewas dengan luka yang sama.

Kedua kasus tersebut memiliki konteks yang sama seperti halnya kasus yang terjadi di Sigi. Yaitu, memberikan ‘pelajaran’ bagi mereka yang dianggap sebagai mata-mata aparat. Kengerian yang sengaja dipertontonkan oleh kelompok MIT ini dianggap dapat menyurutkan nyali warga yang lain. Tidak hanya itu, dengan menyebarkan kengerian itu, kelompok ini secara leluasa keluar-masuk hutan dan melakukan penjarahan hasil kebun milik warga. Warga yang takut akan enggan melapor pada aparat.

Komentar

Tulis Komentar