Fenomena Takfiri: Antara Takfir Mutlaq vs Takfir Muayyan

Other

by Kharis Hadirin 1

Suatu ketika, dua orang laki-laki datang menghampiri saya yang kala itu baru selesai menjalankan ibadah salat. Salah satu dari mereka lantas bertanya, “Akhi, menurut antum, PNS itu kafir atau tidak?.

Mendapat pertanyaan seperti itu, saya kemudian menyampaikan bahwa vonis kafir hanya berhak disampaikan oleh qadi, seorang hakim yang sudah ditunjuk oleh amirul mukminin. Dan dalam konteks saat ini, vonis kafir hanya bisa diberikan oleh seorang ulama yang sudah dikenal luas akan keilmuwan agamanya. Karenanya, kita tidak boleh sembarangan memberikan label kafir kepada siapapun tanpa pengetahuan agama yang dalam.

Namun mereka punya argumentasi lain. Bahwa PNS dan siapapun yang bekerja pada pemerintah dan menolak hukum Islam, mereka terhukumi kafir meski masih berstatus sebagai Muslim. Status hukum ini sifatnya jelas tanpa harus menunggu fatwa dari seorang qadzi atau mahkamah Islam sekalipun.

Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 2008, saat saya masih menjadi santri di salah satu pesantren di Lamongan.

Dan belakangan ini, fenomena takfiri cukup meresahkan. Orang-orang yang memiliki paham ini, begitu mudahnya memberikan label kafir kepada siapapun yang dianggap berseberangan. Tak terkecuali kepada keluarga sendiri jika jelas-jelas tak sehilir.

Lalu, apa yang dimaksud dengan paham takfiri? Takfiri, umumnya merujuk pada individu atau kelompok yang mudah memberikan vonis kafir (keluar dari Islam) kepada siapapun yang dianggap menyelisihi atau melanggar prinsip keyakinan tertentu.

Misalnya, seseorang yang menggunakan sistem undang-undang Pancasila atau demokrasi, maka dianggap sudah kafir meski mereka beragama Islam.

Salah satu kelompok yang cukup gemar menggunakan istilah kafir adalah ISIS. Dengan dalih vonis kafir, kelompok ini tidak segan melakukan berbagai serangan dan aksi teror yang ditujukan kepada individu, kelompok, atau institusi yang tidak sesuai dengan prinsip keyakinan mereka.

Misalnya beberapa kasus yang ada seperti serangan di Jalan Thamrin, Jakarta pada Januari 2016 dan pengeboman tiga gereja di Surabaya pada Mei 2018 lalu. Konteks serangan ini dilakukan dengan landasan pada paham Takfiri yang mereka miliki. Termasuk juga beberapa kali serangan yang dilakukan kelompok teror dengan menargetkan aparat kepolisian.

Takfir Mutlaq vs Takfir Muayyan

Konsep "takfir" sendiri terbagi ke dalam dua hal, yaitu takfir Mutlaq dan takfir Muayyan.

Takfir muthlaq adalah bentuk pengkafiran secara umum, tanpa menentukan orang atau individu tertentu secara spesifik. Misalnya, barangsiapa yang beribadah kepada selain Allah, maka ia kafir. Atau jika seorang Muslim memutuskan untuk berpindah agama kepada keyakinan lain, maka ia kafir.

Jika dilihat pada definisi tersebut, hanya dijelaskan pada konsep takfir atau vonis kafir secara umum. Tidak menyebut pada individu tertentu.

Sementara takfir muayyan, adalah kebalikannya. Yakni memberikan vonis kafir kepada individu secara spesifik.

Misalnya, si A sudah kafir karena memilih demokrasi sebagai landasan hidup. Atau si B dianggap sudah kafir karena menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Fenomena takfir tuayyan inilah yang umum terjadi, terutama di kelompok Takfiri seperti ISIS. Mereka begitu mudah memberikan label tanpa melalui proses verifikasi.

Salah satu kasus yang sempat menghebohkan adalah ketika SBY, yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden RI, memberikan pernyataan dirinya sebagai seorang pluralis.

Peristiwa ini terjadi saat ia memberikan sambutan dalam acara pemakaman Gus Dur di Kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur (31/12/2009). Presiden SBY mengatakan bahwa almarhum adalah tokoh nasional yang sejak awal mengedepankan pluralisme dan kemajemukan di Indonesia sehingga patut disebut sebagai “Bapak Pluralisme Indonesia.”

"Sebagai pejuang reformasi, almarhum selalu ingat akan gagasan universal, bahwa kita menghargai kemajemukan melalui ucapan, sikap, dan perbuatan. Gus Dur menyadarkan sekaligus melembagakan penghormatan kita pada kemajemukan ide dan identitas, kemajemukan pada kepercayaan agama, etnik, dan kedaerahan. Beliau adalah bapak multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia," kata Presiden seperti dikutip melalui laman Kompasiana (31/12/2010).

Di Lamongan, Jawa Timur, pernyataan SBY ini sempat menimbulkan perdebatan sengit di kalangan kelompok Takfiri. Mereka menilai, sikap penghormatan SBY kepada Gus Dur dianggap telah menggugurkan keimanannya. Sebab secara tidak langsung, SBY dianggap mengakui paham pluralisme.

Lebih jauh, kelompok ini kemudian aktif melakukan kampanye di berbagai kajian. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa SBY telah kafir, dan bagi siapapun yang menolak untuk mengamini atas kekafiran SBY, maka juga dihukumi kafir.

Akibat pernyataan ini, timbul keresahan di tengah masyarakat. Umumnya, mereka khawatir pemahaman ini akan berpotensi merusak keutuhan di tengah masyarakat secara luas.

Tidak ingin pemahaman ini tumbuh subur, masyarakat bersama sejumlah elemen mengambil sikap tegas dengan menutup berbagai kajian yang diadakan oleh kelompok Takfiri. Hal ini dilakukan sebagai langkah preventif untuk mencegah penyebaran paham Takfiri lebih jauh.

Ironisnya, kini paham takfiri justru bersemi kembali. Bahkan pasca munculnya kelompok ISIS, fenomena takfiri kian menjadi-jadi. Dan lebih menyedihkannya lagi, mereka yang getol menyuarakan paham ini, justru berasal dari kalangan dengan tingkat pengetahuan agama yang cekak dan ego yang tinggi.

Komentar

Tulis Komentar