Memutus Rantai Kekerasan Lewat Agama, Mungkinkah?

Other

by Boaz Simanjuntak

Sudah sering kita temukan dalam pemberitaan media perihal agama yang menjadi “pembungkus” kekerasan. Salah satu yang jadi amatan adalah yang terjadi di India, perihal sekelompok orang menyerang seorang pria setelah dituduh mencuri. Walaupun polisi telah menangkap para pelaku namun pria tersebut tewas. Kejahatan kebencian terhadap yang berbeda etnis dan agama melonjak di India sejak perdana menteri Modi berkuasa pada tahun 2014. Kelompok masyarakat sipil India mencatat terdapat 13 aksi pengeroyokan terhadap yang berbeda etnis dan agama dalam tiga tahun terakhir. Bahkan, pada bulan Februari 2018, sebuah tempat ibadah di Karawang, Jawa Barat, kena ancaman bom oleh seseorang yang akhirnya dalam pengakuannya kepada polisi terdapat unsur pemerasan.

Dalam “When Religion Becomes Evil”, Charles Kimball menyebutkan ada lima fenomena agama yang mempunyai potensi menjadi jahat, yaitu: mengajarkan klaim kebenaran yang meyakini bahwa hanya agama yang diyakini memegang kebenaran mutlak, mengikuti seruan pemimpin agama tanpa sikap kritis, mengunakan segala cara untuk mencapai tujuan, mengidealkan masa lalu untuk dikembalikan ke zaman sekarang, dan selalu menyerukan “perang suci” yang dipahami sempit. Merujuk definisi dari Kimball, rasanya tepat untuk ditujukan kepada kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan dengan “bungkus” agama.

Tindak kekerasan yang menggunakan agama dapat kita lihat dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah substansialis, melihat agama sebagai akar kekerasan melalui pengajaran bahwa kelompok lain di luar agama yang diyakinin sebagai musuh. Kelompok kedua adalah instrumentalis, melihat agama bukan sebagai sumber kekerasan dan jika terjadi kekerasan berbasis agama, hal tersebut terjadi karena agama digunakan sebagai alat. Kelompok ketiga adalah konstruktivis, melihat agama bukan sebagai sumber kekerasan namun agama juga tidak sepenuhnya lepas dari kekerasan.

Lalu, dimana energi positif agama yang kita bisa perkuat? Salah satu sumber penggerak ada pada religious peacebuilding (bina damai oleh agamawan). Bina damai berarti tidak hanya proaktif melainkan juga preventif. Tidak hanya negative peace melainkan juga positive peace. Sebuah contoh positive peace ada pada hubungan Muhammad Nuraya Ashafa dan James Movel Wuye yang pernah menjadi musuh bebuyutan. Pada cerita mereka dari Nigeria, kita di Indonesia bisa banyak belajar, terutama dalam hal konflik Islam-Kristen.

Ashafa dan James pernah saling serang dengan kelompok masing-masing di Kaduna, sebuah provinsi yang jaraknya ratusan kilometer dari Abuja, ibu kota Nigeria. Ashafa dan James adalah contoh bagaimana gairah beragama yang tinggi bisa menjadi peletak dasar pembenaran untuk melawan keyakinan orang lain. Perseteruan keduanya bermula dari organisasi yang mereka pimpin. Ashafa memimpin Majelis Pemuda Muslim yang menyerukan syariat Islam dan propaganda anti Amerika. James memimpin Asosiasi Pemuda Kristen yang menentang syariat Islam. Saat konflik pecah di Kadana pada 1992, keduanya membentuk kelompok milisi berbendera agama.

Warisan kolonialisme meninggalkan luka lama yang belum pulih. Saat penjajahan dengan taktik adu domba, di utara Nigeria terjadi Islamisasi yang meminggirkan Nasrani. Sedangkan di selatan terjadi Kristenisasi yang meminggirkan Muslim. Masa lalu yang tidak selesai berpadu dengan dominasi militer, ketergantungan pada gas dan minyak, korupsi akut, kemiskinan dan pembangunan yang tersendat, dan layanan sosial yang buruk menjadi api yang membakar militansi agama. Kerusuhan pada 1992 berdampak pada James yang kehilangan satu tangannya dan Ashafa yang kehilangan guru serta kedua sepupunya.

Keduanya bertemu pada 1995 justru karena alasan kesehatan publik. Pada tahun tersebut muncul isu suntikan imunisasi kepada anak-anak oleh pemerintah dianggap sebagai bagian dari proses mensterilkan perempuan dalam konteks keluarga berencana. Keduanya sepakat membantu pemerintah untuk meluruskan isu imunisasi dan upaya tersebut berhasil. Saat harapan untuk berdamai seolah hilang atau saat agamawan sulit terlibat dalam proses perdamaian, ternyata banyak sekali peluang bisa muncul di luar perkiraan. Setelah isu imunisasi tersebut, Ashafa dan James melakukan proses rekonsiliasi. Hasilnya adalah Pusat Mediasi Lintas Iman. Organisasi beranggotakan orang-orang yang aktif mendorong dialog antar agama dan melatih anak-anak muda Nigeria menjadi pelaku dalam upaya perdamaian.

Agama masih mampu untuk mendorong sikap saling memaafkan dan bekerjasama. Kemampuan agamawan melawan narasi kebencian perlu ditingkatkan melalui manajemen konflik dan ketrampilan mediasi. Karena tidak ada yang mustahil untuk wujudkan perdamaian, bahkan lewat agama dan agamawan.

Foto: Matthew Fearnley/Creative Commons

Komentar

Tulis Komentar