Si Kecil Pembawa Pesan Kekerasan (1)

Other

by Boaz Simanjuntak

Dalam industri penyiaran, menurut mentor yang saya kenal, ada istilah radio adalah kakak dari televisi. Semacam pertanda bahwa radio “lahir” lebih dulu. Sebagai pengingat bahwa jika karir sebagai penyiar ingin cemerlang maka lebih baik kenal dengan dunia radio lebih dulu, baru kemudian dunia televisi. Memang banyak bukti menunjukkan bahwa penyiar televisi yang memiliki kemampuan siaran yang “baik” adalah mantan penyiar radio.

Pada era konvergensi media, bisnis radio menghadapi tantangan kecepatan internet. Bahkan kabar bohong dan ujaran kebencian sangat cepat saat beredar di media sosial melalui dukungan internet. Di Indonesia, publik seolah kehabisan akal. Di satu sisi membutuhkan internet untuk banyak keperluan. Di sisi lain merasa “gerah” dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan akal sehat beredar di dunia maya. Sebenarnya, terdapat ceruk khusus bernama radio, yang jika dikelola dengan kesungguhan hati, dampaknya luar biasa.

Tidak mudah mengelola bisnis suara di era kecepatan informasi saat ini. Publik lebih suka melihat media sosial dan menonton video pendek dalam hal mencari informasi. Tidak ada yang salah dalam memilih kanal untuk mendapat berita tekini. Namun, publik harus sadar bahwa kecepatan informasi tidak sama dengan akurasi informasi. Bisa saja penyedia informasi memang “sengaja” memilah beritanya dalam bentuk berseri demi kondisi psikologis publik di Indonesia. Publik yang mengkonsumsi informasi di Indonesia senang menanti keberlanjutan berita karena sebuah isu sering diulang-ulang atau merasa harus yang paling pertama untuk menyebarkan pesan atau karena suka bicara sebagai bentuk relasi sosial yang luas.

Apa yang bisa kita harapkan dari kotak kecil yang mengeluarkan suara untuk mencegah orang untuk masuk dalam lingkaran kekerasan? Ketiga tulisan berseri ini akan memberi pembuktian bahwa dari si kotak kecil kita bisa belajar untuk berdampak besar, sebagai pembawa damai. Walaupun, saya harus memulai dengan hubungan si kotak kecil dengan kekerasan. Beberapa orang pernah ingatkan saya, kalau mau bicara perdamaian jangan analisa dengan pendekatan konflik tetapi harus dengan pendekatan perdamaian. Namun, studi konflik dan perdamaian adalah satu rangkaian yang tak terpisahkan. Saya yakin setiap manusia mengawali hidupnya dengan perdamaian bukan dengan kekerasan.

Konflik di benua Afrika memperlihatkan peran radio menebar kebencian yang berujung teror pembantaian etnik. Pada tahun 1992-1993 siaran radio milik pemerintah Zaire menyerukan kebencian terhadap orang-orang yang berasal dari Kasaia dan Baluba. Warga dari kedua provinsi tersebut dianggap memonopoli lapangan kerja dan kekayaan negara. Banyak orang Kasaia dan Baluba diusir dan banyak dari mereka yang meninggal di kamp pengungsian. Di Afrika Selatan, radio Pretoria yang berhaluan ekstrim mengudara secara ilegal pada tahun 1993-1994. Pemerintah yang tidak tegas terhadap radio Pretoria justru membuat orang-orang dari kelompok Neo Nazi bernama Afrikaner Weerstandbeweging (Gerakan Perlawanan Afrika) menjaga stasiun radio Pretoria untuk terus menyiarkan konten-konten rasis. Peristiwa genosida di Rwanda bulan April-Juli 1994. Radio-Television Libre des Milles Collines (RTLM) menjadi corong kebencian. Siaran-siarannya menghasut suku Hutu yang mayoritas untuk membantai suku Tutsi yang minoritas.

Konflik berdarah di negara bekas Yugoslavia sepanjang 1990-1991, diantaranya juga disumbang dan disokong oleh radio. Serbian Radio and Televison (SRT) menyiarkan hal yang negatif terhadap Muslim Bosnia. Menghubungkan Bosnia dengan kamp penyekapan Nazi selama Perang Dunia II. Mengkampanyekan warga Kosovo suka memperbudak perempuan dan anak-anak. Penyiaran hal-hal yang buruk secara berulang menjadi pembenaran bagi Presiden Yugoslavia, Slobodan Milosevic untuk melakukan serangan brutal dan pembantaian etnis.

Saat konflik memanas di Ambon antara 1999-2000, Radio Republik Indonesia (RRI) dianggap sebagai representasi suara Kristen dan Radio Suara Perjuangan Muslim Maluku (SPMM) dianggap sebagai representasi suara Islam. Stempel yang dianggap membela kepentingan kelompok tertentu dalam konflik di Ambon berawal dari tidak berimbangnya pemberitaan terhadap kedua kelompok. Radio SPMM adalah organ resmi Laskar Jihad yang didirikan Jafar Umar Thalib. SPMM berdiri pertengahan tahun 2000, tidak lama setelah kedatangan Laskar Jihad ke Ambon. Orang-orang yang dikirim ke Ambon ini adalah hasil latihan perang di Bogor yang dinamakan Latihan Gabungan Nasional Laskar Jihad. RRI dianggap tidak berimbang dalam pemberitaan. RRI juga sempat memindahkan lokasi studio siaran ke wilayah pihak Kristen.

Abu Bakar Baasyir, yang masih ditahan dengan dakwaan terlibat dalam terorisme, dan Hasan Basri di tahun 1967 pernah mendirikan Radio Dakwah Islam ABC (Al Irsyad Broadcasting Comission). Keduanya bersama Abdullah Sungkar rajin berdakwah di radio tersebut. Namun, sebagai sebuah perkumpulan, Al Irsyad melalui pengurusnya kurang menyukai mereka karena dakwahnya dianggap keras. Pada 1969, ketiganya lalu mendirikan RADIS (Radio Dakwah Islamiyah Surakarta). Pendirian RADIS adalah hasil kerjasama dengan Abdullah Latif, pemilik Yayasan Pendidikan Islam dan Asuhan Yatim/Miskin (YPIA) Al Mukmin, Solo. YPIA Al Mukmin inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Pesantren Ngruki Solo yang dianggap sebagai basis ideologi Jamaah Islamiyah. Konten siaran RADIS berisi ceramah-ceramah yang dianggap keras oleh aparat keamanan karena merongrong kewibawaan pemerintah dan ideologi negara.

Pada beberapa contoh kasus radio dengan konten kekerasan, dengan tujuan untuk menyingkirkan etnis dan pemeluk agama tertentu atau untuk mengganti ideologi tertentu dalam konteks politik, sebuah pertanyaan mendasar muncul “Apakah dengan membredel media akan menghentikan konten-konten kebencian atau permusuhan?” Sebenarnya tanpa stasiun radio seperti RTLM, pembersihan etnis di Rwanda tetap bisa terjadi karena pemerintah yang berkuasa saat itu memang sudah punya rencana untuk genosida. Tanpa RTLM, pelaku genosida hanya militer. Tetapi, dengan siaran menghasut RTLM, pelaku genosida bertambah dengan terlibatnya masyarakat.

Penutupan, pemberangusan, dan pembredelan media mengandung watak anti demokrasi, karena media adalah salah satu pilar demokrasi. Nuansa dari pembredelan oleh otoritas, seperti yang terjadi pada RADIS, memiliki kepentingan yang bisa menyalahgunakan kekuasaan. Tetapi tindakan tegas terhadap media penyebar kebencian adalah hal yang penting untuk mencegah tindakan kekejaman dan perlakuan di luar hukum terjadi. Otoritas yang mengambil tindakan tegas harus tetap diawasi lewat mekanisme pengadilan yang independen dan organisasi masyarakat sipil yang kuat. Pengawasan terhadap otoritas diperlukan supaya kewenangan untuk menutup media penyebar kebencian, kekerasan, dan kekejaman tidak disalahgunakan.

Dalam masyarakat yang demokratis, biasanya orang dapat berharap pada peran hukum untuk membatasi kebebasan. Hal demikian diterima sebagai praktik demokrasi yang sehat. Gelombang radio, adalah aset publik yang terbatas. Oleh sebab itu harus digunakan untuk kepentingan publik bukan untuk memusuhi kelompok tertentu. Di Inggris, radio tidak boleh digunakan untuk menyebarkan permusuhan sesama anggota masyarakat. Radio tidak boleh dipakai untuk siaran anti ras, anti agama, atau mengajurkan kekerasan. Frekuensi yang terbatas perlu diatur penggunaannya. Kasus Jafar Umar Thalib yang terkena tuduhan menghina kepala negara dan hasilnya dibebaskan, justru menutup pemeriksaan terhadap kasus konten siaran yang menganjurkan perang pada konflik Ambon. Dari si kotak kecil kita bisa belajar banyak tentang “kebebasan dan batas-batasnya”.

 

 

SUMBER GAMBAR: www.google.com.

Komentar

Tulis Komentar