Pilkada Hingga Habib Rizieq dan Kebiasaan Konsumsi Hoax

Other

by Rizka Nurul

Minggu ini bisa jadi menjadi minggu paling panas sepanjang tahun 2020. Ada dua isu yang saling mempengaruhi yaitu penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) 2020 dan kasus penembakan 6 anggota FPI pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS).

Penembakan anggota FPI terjadi ketika HRS menuju arah Cikampek ketika akan mengikuti proses pemanggilan sebagai saksi di Polda Metro Jaya. Pemanggilan ini terkait dengan kerumunan yang terjadi di Bandara, Petamburan dan Megamendung pasca kepulangannya. Beberapa pihak mempertanyakan kasus kerumunan ini dengan penyelenggaraan Pilkada yang jelas juga mengundang kerumunan.

Polisi berdalih bahwa kerumunan Pilkada menjadi tugas dari Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Sedangkan kerumunan massa melanggar protokol kesehatan yang ditetapkan selama Pandemi Covid-19. Penyidik sempat memanggil Gubernur DKI, Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW), satpam atau linmas, lurah dan camat setempat serta Wali Kota Jakarta Pusat.

Seiring penyidikan kasus dan persiapan penyelenggaraan Pilkada, informasi di media digital semakin rancu. Masyarakat bahkan nyaris tak bisa membedakan antara keterkaitan emosi dengan objektivitas fakta, semua serasa nyata. Hoax tak jarang menjadi penengah diantara kerancuan tersebut karena mudah dicerna dari sekelumit permasalahan yang ada.
Menghentikan Kebiasaan Konsumsi Hoax

Hoax berdampak cukup besar pada kesehatan mental yang bisa menimbulkan post-traumatic stress syndrome (PTSD), kecemasan, sampai kekerasan. Lalu adapun beberapa cara menghentikan kebiasaan konsumsi Hoax.

  • Skeptis


Baik video maupun berita saat ini sering menggunakan clickbait pada judul. Judul yang memprovokasi akhirnya membuat banyak orang senang membagikan berita tersebut meski isinya berbeda dengan judul. Oleh karena itu, skeptis terhadap judul juga diperlukan agar kita lebih terdorong untuk mencari informasi lebih.

  • Cari Pendapat Ahli


Tak ada salahnya kita bertanya pada ahli terkait suatu isu. Hal ini agar kita mendapatkan pencerahan dan pengetahuan mengenai isu tersebut. Dalam mencari pendapat ahli juga kita perlu hati-hati karena jika ahli tersebut tidak tersertifikasi atau bahkan tak ada nama yang jelas, maka bisa jadi itu juga hoax.

  • Perhatikan URL


Kita juga perlu mengetahui sumber mana yang patut dipercaya dan mana yang tidak. Perhatikan URL berita tersebut apakah merupakan blog pribadi, sumber yang credible ataukah sumber hoax.

  • Lihat Informasi Lain


Untuk memastikan keabsahan berita, kita perlu membandingkan sumber lain. Jika tidak informasi lain, bisa jadi informasi tersebut palsu sehingga perlu ditelusuri kembali informasi lebih lanjut. Jika ada perbandingan informasi yang sama dari sumber terpercaya, maka kemungkinan informasi tersebut benar.

  • Berhenti Sementara


Ada saatnya kita berhenti sejenak dalam mengkonsumsi informasi digital untuk mengurangi dampaknya. Proses detoksivikasi ini akan membantumu lebih berpikir secara tenang karena tidak diserbu berbagai informasi yang beragam dan emosimu pun lebih terjaga.
Hoax dan Isu Terkini

Pandemi COVID-19 membuat masyarakat semakin banyak mendapatkan informasi secara tunggal dari media sosial atau media massa online. Algoritma yang ditimbulkan di mesin pencarian menjadi terbentuk semakin tajam sehingga akan lebih mendorong pengguna mendapatkan informasi tunggal.

Lagi-lagi, peningkatan penggunaan media digital tidak dibarengi dengan pengetahuan menggunakannya atau digital literacy . Tak jarang masyarakat seakan dibiarkan mengasumsi informasi yang bertebaran. Sejauh ini, baik pemerintah maupun platform melakukan pembatasan di media-media digital bukan edukasi.

Selama masa kampanye Pilkada, Menkominfo mengatakan bahwa ada 47 isu hoax dengan 602 konten yang tersebar di media sosial. Hampir semua isu ini berkenaan dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan). Diakuinya, Keminfo sejauh ini melakukan pembatasan ruang digital.

Begitupun pada kasus penembakan pengawal Habib Rizieq beredar banyak hoax baik tentang kepolisian maupun mengenai pihak FPI. Dari pemantauan ruangobrol.id , twitter berkali-kali take down trending topic Indonesia sejak tanggal 7 Desember lalu. Berbagai macam perdebatan pendukung kedua belah pihak juga belum mereda di berbagai macam platform.

Karena pemerintah dan platform hanya bergerak dalam pembatasan, ini tidak bisa mendorong objektivitas pengguna digital. Perkembangan yang terjadi adalah bagaimana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah mempengaruhi seberapa besar seseorang mempercayai keterangan polisi pada kasus penembakan anggota FPI. Begitupun dengan Pilkada, bagaimana masyarakat akan merespon isu Pilkada bergantung pada segmentasi SARA yang berkaitan dengan individu tersebut.

Komentar

Tulis Komentar