Masa Remaja Yang Penuh Warna (3)

Other

by Arif Budi Setyawan

Menginjak tahun kedua saya di pesantren itu saya mulai sering sakit-sakitan sehingga akhirnya di akhir tahun kedua, orangtua saya memutuskan menarik saya dari pesantren untk melanjutkan sekolah di rumah saja. Selanjutnya saya mengikuti Kejar Paket B sampai kemudian mendapatkan ijazah setahun kemudian.


Tahun 1999 saya mempergunakan ijazah itu untuk mendaftar sekolah di sebuah SMK Swasta jurusan Mekanik Otomotif di sebuah kota yang berjarak 1,5 jam perjalanan dari rumah. Di kota itu saya indekost di rumah keluarga seorang purnawirawan TNI yang sangat baik dan ramah. Selain untuk memudahkan dalam menjangkau sekolah, dengan indekos saya juga ingin belajar berinteraksi dengan para aktivis Islam yang ada di kota itu.


Di awal-awal saya tinggal di kota, dengan berbekal sepeda mini Phoenix warna merah saya kemudian menelusuri kota untuk mempelajari kehidupan masyarakat kota itu. Sesuatu yang baru bagi saya setelah sebelumnya hanya mengenal lingkungan di kampung dan dua tahun di pesantren.


Pertama kali saya bertemu aktivis pergerakan Islam adalah di Panti Asuhan Hidayatullah di mana saya kemudian sempat mengajar bahasa Arab dasar beberapa bulan di sana. Dari situlah saya kemudian bertemu dengan para aktivis dari Partai Keadilan (sebelum jadi PKS) dan mengetahui adanya berbagai kelompok gerakan Islam yang ada di lota itu.


Selain itu saya beruntung karena menjadi salah satu remaja masjid di masjid dekat tempat kos saya di mana di masjid itu ternyata sering diadakan kegiatan-kegiatan kajian dari berbagai kelompok gerakan Islam, mulai PKS, HTI, sampai Jamaah Tabligh. Dari situlah saya semakin akrab dengan dunia aktivis pergerakan Islam.


Keberadaan saya di kota itu juga akhirnya diketahui oleh para ustadz saya di pesantren dulu yang kemudian membawa saya pada perjumpaan dengan kawan-kawan ustadz di pesantren saya dulu yang berada di sekitar kota itu. Dan kawan-kawan ustadz saya itu sudah memiliki beberapa tempat pembinaan yang ada di sekitar kota itu sehingga saya pun kemudian mengikuti salah satu kegiatan pembinaan mereka di lokasi terdekat dengan tempat kost saya.


Tetapi saya juga masih mengikuti kegiatan berbagai kelompok pergerakan yang lain yang ada di kota itu yang masih bisa saya jangkau. Hal ini membuat pengalaman saya semakin luas dan saya senang bisa menimba ilmu dan wawasan dari berbagai macam kelompok pergerakan.


Dari sisi aqidah dan manhaj perjuangan saya mengambil dari pesantren saya dan para ustadz yang satu jaringan dengan ustadz-ustadz pesantren saya. Dari sisi cara menggaet simpati masyarakat saya belajar pada PKS, dan dalam hal adab dan akhlaq saya belajar dari Jamaah Tabligh.


Di awal tahun 2001 saya mendapat tugas dari salah satu ustadz ‘jaringan pesantren saya’ (sebut saja begitu karena pada waktu itu saya belum tahu apa-apa tentang JI) untuk menyebarkan sebuah tabloid yang khusus memberitakan perkembangan jihad di Ambon dan Poso yang waktu itu masih berlangsung. Kebetulan memang waktu itu saya nyambi bantu jualan buku dan majalah Islam punya kawan di sebuah masjid besar setiap Ahad pagi. Kata ustadz tersebut kita perlu menyampaikan kepada ummat berita-berita jihad yang masih berlangsung di Ambon dan Poso dari sumbernya langsung, agar ummat tahu apa yang sebenarnya terjadi dan fakta-fakta yang tidak diberitakan oleh media umum.


Reaksi teman-teman aktivis ketika tahu saya menyebarkan tabloid berita jihad Ambon-Poso rata-rata terkejut dan kemudian bertanya dari mana saya mendapatkan tabloid itu. Setelah saya beritahu dari mana saya mendapatkannya, sikap mereka terhadap saya agak berubah. Mereka jadi agak segan dan terkesan lebih menghormati saya.


Salah seorang kawan menyampaikan kepada saya bahwa tabloid itu telah cukup membuktikan adanya hubungan jaringan antara para mujahidin Ambon dengan para aktivis di balik redaksi tabloid tersebut dan para aktivis yang mengedarkan tabloid tersebut. Dan hal itulah yang membuat dia terkesan dengan saya yang menurutnya masih belia tapi bisa berhubungan dengan ‘jaringan yang tak biasa’.


Saya lalu berpikir pada saat itu, jangan-jangan saya memang sengaja diuji apakah saya berani ataukah tidak percaya diri untuk menyebarkan tabloid yang akan menunjukkan eksistensi kelompok kami ? Hal ini kemudian sedikit terbukti karena saya hanya menyebarkan satu atau dua edisi saja selama sebulan dan setelah itu tidak ada lagi.


 (Bersambung, In sya Allah)

Komentar

Tulis Komentar