Kisah Residivisme Pelaku Kriminal Umum

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Dari sekian banyak narapidana (napi) kriminal umum yang saya kenal di lembaga pemasyarakatan (lapas), beberapa di antaranya adalah residivis. Bahkan ada yang sudah tua dan telah puluhan kali masuk penjara sejak muda. Dari merekalah saya mendapatkan cerita bagaimana mereka kok tidak jera masuk penjara. Padahal hidup di penjara itu tidak enak. Semua serba dibatasi.


Ketika di penjara mereka juga disadari atau tidak telah merepotkan keluarga mereka. Padahal dulu konon katanya melakukan kejahatan adalah demi ekonomi keluarga. Saya awalnya tak habis pikir, bagaimana mungkin keluarganya membiarkan mereka kembali melakukan tindakan kriminal lagi. Bukankah sudah merasakan susahnya ketika ditinggal masuk penjara?


Belakangan saya baru tahu bahwa tidak semua keluarga yang ditinggalkan mengalami kesusahan hidup. Setidaknya tidak mengalami masalah ekonomi. Kalau masalah nafkah batin itu lain lagi.


Ada residivis kasus pencurian dengan kekerasan yang hampir setiap pekan dikunjungi anak dan istrinya. Saya beberapa kali melihatnya di aula besukan ketika sama-sama dibesuk. Saya sering nongkrong di koperasi yang berada di ruang kunjungan sehingga sering melihat aktivitas di ruang kunjungan. Dan salah satu hobi saya adalah mengamati keramaian dari kejauhan.


Dari pakaian, aksesoris, dan buah tangan yang dibawa saya bisa menyimpulkan bahwa istrinya bukan dalam keadaan ekonomi yang susah. Di lain hari akhirnya saya tahu bahwa istrinya punya usaha warung makan di daerah Jakarta Timur. Dan sambil berbisik dan lantas tertawa ia menyebutkan modal membuka warung itu adalah dari hasil merampok. What?


Pantas saja beberapa waktu sebelumnya ia mengungkapkan masih ingin melanjutkan karir sebagai perampok. Ia dan komplotannya berencana akan merampok dengan hasil yang diperkirakan mencapai beberapa milyar. Ia mau membuka bengkel dari hasil merampok itu.


Hal yang serupa juga terjadi pada residivis kasus narkoba. Dia sangat terkenal royal kepada sesama napi. Dan saya beberapa kali juga melihat bagaimana istri dan anak-anaknya yang berpakaian mewah ketika membesuknya.


Dengar-dengar dari napi lain ternyata si residivis narkoba itu memiliki beberapa toko di beberapa pasar. Karirnya di bidang narkoba sudah lebih dari lima tahun dan telah memiliki anak buah di luar sana. Istrinyalah yang menerima setoran dari toko dan anak buah pekerja di jaringan narkobanya.


Tapi saya tetap tidak habis pikir, apa enaknya punya banyak harta tapi dipenjara? Kan tidak bisa dinikmati?


Dari dua contoh di atas, residivisme mereka berdua disebabkan karena ketagihan uang haram yang lebih mudah mendapatkannya dan didukung oleh keluarganya. Bagi saya mereka ini benar-benar bajingan sekeluarga. Apapun motifnya, keluarganya sama sekali tidak mendukung agar si napi berhenti melakukan kejahatan.


Ada lagi kasus yang lain. Seorang residivis yang menceritakan bahwa dirinya masuk penjara lagi karena  keluarga, kerabat-kerabatnya, dan teman-temannya yang peduli dengan nasibnya dan keluarga yang ditnggalkannya. Merekalah yang membantu ekonomi keluarganya ketika dirinya dipenjara. Bagaimana bisa?


Begini ceritanya.


Selepas keluar dari penjara yang pertama kalinya, ia sulit mendapatkan pekerjaan yang halal. Apalagi ditambah stigma mantan napi membuatnya tidak pede untuk mencari pekerjaan lebih serius. Ditambah lagi sejak bebas teman-teman dan kerabatnya sudah tidak memperhatikan keluarganya lagi. Dipikirnya kalau si napi sudah bebas sudah selesai.


Ia lalu berfikir untuk kembali menjadi kurir narkoba. Kalaupun toh nanti tertangkap dan masuk penjara, banyak keluarga dan teman-teman yang akan membantu mengurus keluarga yang ditinggalkannya. Syukur-syukur kalau tidak tertangkap, bisa mengumpulkan modal buat buka usaha.


Ia salah menafsirkan kebaikan keluarga, kerabat, dan teman-temannya itu. Seharusnya ia malu dan tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama. Tapi malah sebaliknya. Memanfaatkan kebaikan mereka.


Akhirnya ia memang benar-benar berhenti setelah bebas dari penjara yang kedua kalinya. Saya dengar ia sudah dapat pekerjaan yang halal. Saya ikut senang mendengarnya.


Contoh kasus terakhir : Menjadi residivis karena hidupnya yang sangat suram.


Singkat saja karena tulisan ini sudah cukup panjang.


Ketika dipenjara istrinya selingkuh. Lalu diceraikanlah istrinya itu. Pulang dari penjara mau ketemu anaknya malah dimaki-maki dan direndahkan oleh mantan istrinya. Akhirnya karena frustasi ia pun nekat kembali melakukan kejahatan. Dan tertangkap. Masuk penjara yang kedua kalinya.


Itulah beberapa kisah residivisme pada beberapa napi yang saya temui di penjara. Semoga bisa menjadi tambahan pengetahuan dan pelajaran bagi kita semua.


Nantikan tulisan selanjutnya tentang residivisme pada pelaku terorisme.



Foto: ruangobrol.id/eka setiawan


Suasana di Blok L (Lesmana) Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang alias Lapas Kedungpane, Rabu (15/4/2020).

Komentar

Tulis Komentar