Boleh Iri Tapi Harus Tahu Diri

Other

by Arif Budi Setyawan

Mengapa kesuksesan seorang artis atau tokoh selebriti atau atlet olahraga selalu menjadi pusat perhatian dan kemudian menjadi trend setter dalam banyak hal kehidupannya?


Itu karena orang-orang menganggap apa yang telah dicapai dan dilakukan oleh sang tokoh adalah sesuatu yang hebat, sesuatu yang keren, sesuatu yang ingin diraih, dan seterusnya.


Seseorang yang kemudian iri dengan sebuah perbuatan baik atau kesuksesan orang lain itu bagus untuk tambahan motivasi bagi dirinya. Tapi ia tetap harus memperhitungkan kemampuan dan kondisi dirinya sehingga tidak memaksakan diri.


Misalnya orang yang secara genetik -maaf- berkulit hitam mbok ya jangan lantas iri dan ingin kulitnya jadi putih. Atau jangan kayak saya dulu. Dulu saya iri dengan orang-orang yang berjihad di luar negeri, lalu mencoba menghidupkannya di Indonesia bersama kawan-kawan saya. Padahal Indonesia belum membutuhkan jihad. Akhirnya akibatnya justru menimbulkan masalah baru.


Tabiat manusia memang selalu ingin meniru atau mengikuti orang lain atau lingkungannya yang dianggap sebagai sesuatu yang baik baginya. Manusia belajar merangkak, berjalan, berlari, berbicara, mengendarai kendaraan, dan seterusnya adalah dari meniru orang-orang di sekitarnya.


Tetapi seiring perkembangan akal pikirannya, manusia kemudian memiliki kemampuan untuk memilih mana yang akan diikuti atau ditirunya berdasarkan daya pikir dan imajinasinya. Ia akan mulai mempertimbangkan tentang kenyamanan, keselamatan, tren yang sedang terjadi, tujuan hidupnya, dan lain-lain.


Sebagai contoh kita ambil kasus yang terjadi pada anak saya. Ia dulu sangat bersemangat belajar mengendarai sepeda. Ketika sudah mahir ia pun bermain bersepeda dengan teman-temannya mencari kesenangan dan tantangan.


Tapi setelah ia mengalami insiden terjatuh karena mencoba atraksi keren bersama teman-temannya yang membuat kepalanya bocor, ia jadi trauma dan kemudian menganggap beraksi dengan sepeda bukan sesuatu yang keren baginya.


Ia mulai mempertimbangkan keselamatan dan kenyamanan dalam meniru orang-orang di sekitarnya yang tadinya ia angap keren. Begitulah manusia. Ia akan belajar dari pengalaman. Sesuatu yang tadinya dianggap keren bisa berubah karena sebuah peristiwa.


Nah, apa yang membuat anak saya menganggap atraksi dengan sepeda adalah keren? Karena ia sering menonton sinetron Go BMX dan melihat teman-temannya yang sering membahas aksi-aksi di sinetron itu.


Hal itu membuatnya berimajinasi kalau bisa meniru hal itu tentu akan terlihat keren. Dan ia merasa dia bakalan bisa menirunya karena telah memiliki modal sepeda yang mirip. Ia sama sekali belum terpikirkan bahwa hal itu perlu latihan keras, butuh waktu yang tidak sebentar, ada risiko yang harus dihadapi, dan seterusnya. Pokoknya ingin meniru saja.


Hal yang sama juga terjadi pada diri para mayoritas jihadis radikal yang ramai muncul karena pengaruh media sosial belakangan ini.


Awalnya mereka adalah orang-orang yang mencoba mencari pencerahan atau inspirasi di tengah kejenuhan menjalani kehidupan yang dirasa semakin susah atau cenderung membosankan.


Sampai di sini tidak ada yang salah. Salahnya adalah ketika mereka hanya mencarinya di internet dan malas mengikuti kajian ilmiah para ustaz di masjid-masjid. Mereka merasa cukup hanya belajar dari internet. Sehingga gambaran ideal dari materi yang ia dapat dari internet itu adalah berdasarkan dari imajinasinya.


Jika misalnya yang ia dapatkan di internet adalah pemahaman dan propaganda kelompok radikal, maka gambaran idealnya adalah apa yang telah dilakukan dan dicapai oleh kelompok radikal tersebut.


Ketika seseorang telah jatuh hati pada pesona propaganda kelompok radikal, lalu ia setiap hari berinteraksi dengan sesama pengagum kelompok radikal itu di berbagai platform media sosial, maka ia akan menjadikan apa yang telah dicapai oleh kelompok radikal tersebut sebagai gambaran ideal yang perlu ditiru dan diikuti.


Semakin masif propaganda yang ia terima, semakin tumpullah kemampuan nalarnya untuk memperhitungkan risiko dan menganalisa kondisi dirinya dan lingkungannya. Yang ia tahu hanyalah seperti anak saya tadi, yaitu bahwa meniru aksi-aksi itu merupakan sesuatu yang keren.


Orang-orang yang seperti ini mungkin sadarnya adalah harus terjatuh dulu seperti anak saya. Mungkin harus dipenjara dulu seperti saya. Tapi semoga saja banyak yang sadar sebelum mengalami kejadian yang buruk dalam hidupnya.



sumber ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar