Hubungan antarStakeholder Penanganan Terorisme di Tingkat Bawah Tidak Harmonis?

Other

by Arif Budi Setyawan

Pada kegiatan pelatihan terakhir Program Penguatan Peran Aparat Desa/Kelurahan KPP di Desa Wonorejo akhir Desember yang lalu, ada sebuah kejadian yang mengungkapkan adanya miskoordinasi dan miskomunikasi antar para stakeholder dalam penanganan napiter dan keluarganya selama ini.


Kejadian itu adalah hadirnya rombongan dari Satuan Intelijen dan Keamanan (Sat Intelkam) Polres Probolinggo yang dipimpin oleh salah satu Kanit( Kepala Unit)-nya ke tempat acara, padahal mereka tidak kami undang. Dan selama ini tidak ada masalah meskipun mereka tidak kami undang karena biasanya kami melaporkan bila kegiatan sudah selesai.


Semuanya terkejut. Termasuk kami dari KPP. Usut punya usut mereka ini mendapat bocoran informasi dari rekan-rekan Sat Intelkam Polres Kota Probolinggo yang memang mengetahui kehadiran kami di kota tersebut.


Kanit Keamanan Negara (Kamneg) Sat Intelkam Polres Probolinggo, yang memimpin rombongan ‘memarahi’ para aparat desa dan khususnya ibu-ibu yang hadir. Karena pada bulan November lalu mereka mengikuti kegiatan pembinaan keluarga napiter yang diinisiasi oleh Fasilitator Daerah (FASDA) BNPT.


Menurut Bapak dari kepolisian itu, setiap kegiatan yang berkaitan dengan penanganan dan penanggulangan terorisme harus berkoordinasi dengan pihaknya. Kami sengaja membiarkan bapak itu puas menumpahkan kekesalannya agar kami tahu di mana titik permasalahannya dan seberapa pentingnya koordinasi itu bagi pihaknya.


Setelah puas dan mulai mereda, kami mulai angkat bicara. Menjelaskan bahwa kegiatan pelatihan para istri napiter yang didampingi ibu-ibu itu adalah kegiatan yang diinisiasi oleh FASDA BNPT. Aparat desa dan ibu-ibu itu hanya memenuhi undangan kegiatan itu. Sedangkan urusan koordinasi seharusnya menjadi tugas dari FASDA BNPT. Jadi bukan salah aparat desa dan ibu-ibu itu. Mereka ini mana tahu bahwa kegiatan tersebut belum berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait.


Yang menarik adalah, pihak Polres (minimal Bapak dari Polres itu) tidak tahu adanya FASDA BNPT di Kabupaten Probolinggo. Lah, kok bisa? Padahal seharusnya mereka bekerjasama dalam penanganan, pencegahan, dan penanggulangan radikalisme-terorisme di wilayah yang sama. Satu lagi, FASDA BNPT itu sudah ada sejak April 2020. Sudah selama itu tapi tidak ada koordinasi di antara kedua pihak.


FASDA adalah sebuah unit kerja baru di BNPT yang mulai dirintis sejak tahun 2020. sebagai tahap awal FASDA baru dibentuk di 3 provinsi, yaitu: Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur. Di Jawa Timur sendiri –kalau tidak salah-- baru ada di 6 kota/kabupaten. Salah satunya di Kabupaten Probolinggo.


Tugas FASDA BNPT itu sendiri adalah mencari data, melakukan analisis dan pemetaan keluarga/kelompok radikal untuk mmbantu merubah mindset mereka menjadi NKRI kembali dengan menggunakan pendekatan program. Di mana untuk menyelenggarakan program itu FASDA punya wewenang untuk melibatkan semua instansi pemerintah dan BUMN yang ada di wilayah kerjanya.


Kejadian atau peristiwa tak terduga di Wonorejo itu malah menghasilkan beberapa temuan baru, di antaranya:










Adanya miskoordinasi antar stakeholder yang bergerak di isu radikalisme-terorisme di tingkatan bawah.










Masyarakat dan aparat desa menjadi sasaran ‘kemarahan’ para stakeholder ketika terjadi miskoordinasi di antara mereka










Masyarakat yang kebingungan dengan tingkah para stakeholder terkait. Padahal masyarakat adalah pelaku akhir di lapangan yang mencerminkan kebijakan para stakeholder itu.


Dari temuan-temuan di atas, kehadiran lembaga independen seperti KPP menjadi penting bagi masyarakat yang ‘kebingungan’ dengan tingkah para stakeholder itu. KPP bisa menjadi tempat curhat, menjadi mediator, dantempat meminta masukan terkait apa yang sedang mereka hadapi.


Pihak Polres Probolinggo pun akhirnya berterimakasih kepada KPP dengan adanya program KPP di desa Wonorejo. Di mana akhirnya bisa memberi pencerahan bahwa ada banyak pihak yang bermain di isu ini dan tidak semuanya punya semangat kolaborasi yang sama. Sedangkan masyarakat adalah pelaku di tingkat akhir dari kebijakan para stakeholder yang seharusnya mendapat perhatian dan pembinaan.


Dalam kegiatan itu lebih banyak diisi dengan diskusi dan tanya jawab dengan para peserta terkait apa yang ingin dilakukan dalam pembinaan keluarga napiter serta apa yang masih dibutuhkan agar mereka cukup percaya diri untuk melakukan pembinaan.


Satu hal yang kemudian disepakati oleh semua peserta saat itu, bahwa mereka butuh pendampingan dari pihak KPP ketika melakukan kegiatan pembinaan keluarga napiter. Tujuannya adalah agar keluarga napiter semakin yakin dan percaya bahwa ada pihak-pihak yang memperhatikan mereka. Tidak hanya ibu-ibu dan aparat desa itu saja. Dan pada bulan Januari dan Februari kemarin kami pun melakukan pendampingan kepada tim ibu-ibu itu sesuai dengan kesepakatan tersebut.


ilustrasi: pixabay.com



Komentar

Tulis Komentar