‘Celah’ Kecil yang Bisa Menjadi Awal Masuknya Pemikiran Radikal (1)

Other

by Arif Budi Setyawan

Sebagai aktivis pergerakan Islam sejak masuk SMU tahun 1999, saya cukup terbiasa dengan berbagai model pembinaan dari beberapa kelompok pergerakan (harakah) yang saya ikuti. Meskipun sejak tahun 2001 saya mulai condong kepada para ustadz Jamaah Islamiyah (JI), saya masih tetap mengikuti beberapa kegiatan bersama kelompok pergerakan yang lain.


Karena pada dasarnya saya suka bergaul, maka tidak heran saya punya hubungan yang baik dengan teman-teman dari Jamaah Tabligh, HTI, PKS, Hidayatullah, Pemuda Muhammadiyah, sampai IPNU. Dan sekarang setelah saya bebas dari penjara, saya mulai menyambung kembali hubungan dengan teman-teman lama dulu yang masih bisa dihubungi.


Ketika saya merantau ke suatu daerah, saya selalu menjalin hubungan baik dengan kelompok (harakah) yang ada di daerah tersebut. Hal itu saya lakukan untuk mengetahui peta dakwah dan kualitas keislaman masyarakat di daerah tersebut.


Dari situ saya kemudian dapat menentukan langkah-langkah dalam mengkover diri saya yang pro jihadis. Jadi, kalau soal berinteraksi dengan aktivis dari berbagai harakah, saya masih selalu melakukannya sampai saat-saat terakhir sebelum saya tertangkap.


Dari pengalaman saya berinteraksi dengan aktivis dari berbagai harakah, saya mendapati ada beberapa kekurangan yang menurut saya perlu segera diperbaiki, karena beberapa kekurangan atau kelemahan yang saya temukan itu bisa dieksploitasi oleh kelompok radikal untuk mempengaruhi dan mengarahkan pemikiran seseorang kepada pemahaman yang lebih ekstrim.


Saya tidak akan menyebut kekurangan atau kelemahan itu terjadi di kelompok mana saja, tapi saya hanya akan fokus membahas kekurangan atau kelemahan itu. Dengan begitu, semua pihak akan memperbaiki dirinya masing-masing setelah mengetahui adanya kekurangan atau kelemahan itu.


Setidaknya ada dua kelemahan yang dianggap sepele dan yang selalu menjadi celah yang dieksploitasi oleh orang-orang radikal tak bertanggungjawab.


Kelemahan pertama : Meremehkan materi Sirah Nabawiyah ( Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW ) yang urut dan lengkap dalam kajian-kajian mereka.


Materi Sirah Nabawiyah ini sangat penting untuk disampaikan secara lengkap, urut, dan sistematis. Karena dengan memahami bagaimana sejarah Rasulullah SAW dalam berdakwah dan membina masyarakat Islam. Kita akan mengetahui tahapan-tahapan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sampai terwujudnya sebuah tatanan masyarakat yang menjadi awal peradaban terbaik dari sejarah kaum muslimin.


Kita akan mengetahui bagaimana sikap Rasulullah SAW dan para sahabatnya ketika dalam kondisi lemah, dalam kondisi membangun masyarakat, dalam kondisi sudah punya kekuatan, dan kondisi ketika meraih kemenangan atas musuh-musuh Islam. Semua telah ada contohnya.


Dengan mengetahui Sirah Nabawiyah, seseorang akan mengetahui bahwa perjalanan perjuangan dakwah Rasul SAW itu melalui beberapa tahapan dan butuh waktu yang panjang. Ia akan lebih bijak dalam melihat kondisi di sekelilingnya, dan tidak mudah terprovokasi oleh orang-orang yang tidak sabar meniti jalan perjuangan yang sesuai dengan kondisi yang ada.


Orang-orang yang berpikiran sempit dan berpemahaman radikal suka mengutip penggalan kisah perjuangan Rasulullah SAW pada salah satu tahap atau fase untuk membenarkan tindakan yang mereka lakukan atau yang akan mereka lakukan.


Padahal jika diteliti lebih jauh, apa yang mereka kutip itu harus memenuhi beberapa syarat dan kondisi yang harus terpenuhi sebelum kita boleh melakukan hal yang sama. Di sinilah pentingnya orang memiliki pengetahuan yang cukup akan Sirah Nabawiyah. Sehingga tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi, serta akan lebih sabar dalam meniti jalan perjuangan sesuai dengan jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW.


Kelemahan kedua : Kalimat “ ‘Isy Kariiman aw Mut Syahiidan” yang sering dijadikan motto perjuangan atau jargon yang sering diungkapkan.


Kalimat ‘Isy Kariiman aw Mut Syahiidan yang berarti “ Hidup Mulia atau Mati Syahid” seringkali kita lihat dan kita dengar sebagai kalimat yang sering diucapkan oleh para aktivis, sering dikutip dan dituliskan di sudut-sudut buku atau ruangan sebagai kalimat penggugah jiwa atau sebagai motto hidup.


Padahal penerapan dari makna kalimat ini sebenarnya hanya berlaku pada kondisi dalam peperangan, yaitu sebagai kalimat pembakar semangat bagi pasukan Islam yang sedang menghadapi musuh yang kuat.

Komentar

Tulis Komentar