Bom Medan: Keluarga dan Kekuatan Kelompok Ekstremis

Other

by Rosyid Nurul Hakiim

Selepas peristiwa bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Sumatera Utara, media massa ramai menuliskan soal peran dari istri pelaku. Bernada mirip, pemberitaan menjurus pada pengaruh yang diberikan sang istri pada si pelaku dan kerapnya sang istri menemui salah seorang narapidana teroris di Medan.

Berbagai berita yang mengutip keterangan dari Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo itu menerangkan bahwa RDM (sang pelaku) terpapar radikalisme sejak menikah. Dia diduga banyak menyambangi situs-situs online yang direkomendasikan oleh sang istri. Perlahan RDM masuk dalam pola pemahaman sang istri dan ke dalam jaringannya.

Suami istri menjadi tim dalam melakukan serangan teror bukan hal yang baru. Pertengahan Oktober silam, suami istri menjadi pelaku utama penusukan Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto. Bergerak ke belakang lebih jauh, tidak hanya suami istri, tetapi satu keluarga menjadi pelaku bom bunuh diri di Surabaya.

Radikalisme dan terorisme memang tidak hadir dalam ruang kosong. Tidak pula hanya berfokus pada simpangan intepretasi dalil dan ideologi. Tetapi perlu dicermati tentang hubungan sosial dari mereka yang ada dalam jaringan kekerasan tersebut. Suami, istri, dan anak, adalah bagian terkecil dari unit hubungan sosial yang memiliki peran efektif dalam penyebaran narasi radikalisme. Selain itu, unit tersebut juga memungkinkan adanya pola pengaruh yang kuat satu sama lain, suami kepada istri, istri kepada suami, dan orang tua pada anak.

Soal hubungan keluarga dan kaitannya dengan mobiliasi jaringan kelompok ekstrimis, Noor Huda Ismail, seorang aktivis dalam isu radikalisme dan terorisme, pernah menuliskan hal ini. Bahkan, tinjauan dari Pemenang Ahoska Awards ini jauh sebelum adanya deklarasi ISIS.

Dalam artikelnya yang berjudul Familial Kinship among Islamist di tahun 2006, Pria yang mengupas soal maskulinitas pada tesis doctoralnya ini menyebutkan bahwa salah satu upaya untuk memperkuat jaringan dari kelompok-kelompok ini adalah lewat jalur pernikahan dan persaudaraan. Kelompok lama seperti Jamaah Islamiyah (JI) memang menggunakan metode pernikahan untuk menjaga keamanan dan keutuhan jaringan. Pemimpin senior mereka biasanya menjodohkan anggota mudanya pada adik perempuannya atau adik iparnya. Seperti yang terjadi pada Yassin Sawwal, seorang pemuda yang sudah mendapatkan pelatihan di Afghanistan, yang dinikahkan dengan anak perempuan dari salah satu pimpinan JI.

Tidak hanya pada pernikahan saja, tetapi hubungan keluarga ini juga melebar pada kakak beradik, keponakan, ipar, dan menantu. Pelaku utama Bom Bali melibatkan kakak beradik. Pelaku pemboman Kedutaan Australia, Iwan Dharmawan, adalah keponakan dari Kang Jaja, salah satu pendiri Ring Banten yang merupakan bagian dari JI di daerah. Kemudian, Muhammad Rais yang terlibat dalam Bom JW Marriot adalah saudara ipar dari Noordin M. Top.

Noor Huda menjelaskan bahwa hubungan kekeluargaan inilah yang kemudian mengikat tindak tanduk dari setiap anggota kelompok itu. Meskipun mungkin ada perbedaan di dalam visi kelompok, tetapi mereka akan sulit untuk mengkhianati keluarga. Hal inilah yang menjaga loyalitas mereka.

Keluarga dan hubungan sosial yang kental sebagai elemen penting dalam transfer narasi dan ideologi tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Dalam konteks global kita akan menemukan Tsarnev bersaudara yang berada dibalik Bom Boston, Amerika Serikat. Ada pula Kouachi bersaudara dalam serangan ke kantor koran satire Charlie Hebdo, Paris, Perancis. Lalu pelaku penembakan di San Bernardino, Amerika Serikat, yang melibatkan suami istri, Bahkan dalam serangan paling fenomenal di menara kembar, World Trade Center, Amerika Serikat, ada kakak beradik yang menjadi pelaku pembajakan pesawatnya.

Masa dan kelompok boleh saja berganti, namun keluarga atau hubungan sosial masih menjadi unit paling penting dalam menggerakan jaringan. Oleh karena itu, dalam upaya untuk mencegah radikalisme, penguatan dalam keluarga menjadi sangat penting. Keterbukan terhadap diskusi dan aliran pengaruh yang berjalan seimbang, dapat menjadi kekuatan penangkal.

 

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar