Merasakan Puasa dan Lebaran di Penjara Kobanî Suriah

Other

by Febri Ramdani

Lebaran sebentar lagi. . . berpuasa sekeluarga… kutipan lagu Lebaran Sebentar Lagi ciptaan Bimbo yang dipopulerkan grup musik Gigi kerap terdengar saat Ramadan mulai berakhir.  

Insya Allah, besok atau lusa bulan Syawal akan tiba. Subhanallah, di tahun 2019 ini adalah kali kedua saya melaksanakan ibadah puasa Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri di negeri kelahiran saya sendiri, Indonesia.

Hiruk pikuk ibu kota Jakarta, padatnya lalu lintas plus teriknya mentari kadang membuat saya masih sering tak menyangka, bahwa 2 tahun lalu, Ramadan dan Idul Fitri saya lalui di Kobanî, sebuah kota yang berada di negara Suriah.

Bulan Juni tahun 2017, saya dan keluarga berhasil melarikan diri dari wilayah kekuasan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan menyerahkan diri kepada Syrian Democratic Forces (SDF) atau Pasukan Demokratik Suriah. SDF adalah salah satu pasukan oposisi pemerintah Suriah -pasukan anti ISIS- yang didukung negara-negara Barat seperti; Amerika Serikat, Inggris dan Perancis.

Rasa sedih, senang, galau, resah, dan banyak lagi, spekulasi bercampur di dalam diri saya pada saat itu. Entah sampai kapan saya dan keluarga akan ditahan di sini.

Para laki-laki di masukkan ke dalam penjara dengan waktu yang tidak menentu. Begitu pula dengan para wanita dan anak-anak yang dipisahkan oleh pihak SDF dan berada di kamp pengungsian United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Ain Issa.

Bersama dengan 4 orang anggota keluarga saya yang laki-laki, kami mendekam di dalam sebuah ruangan isolasi selama kurang lebih 3 minggu.

Kata-kata kasar dan keras seringkali terdengar di balik jeruji besi oleh para tentara pasukan SDF. Bahkan, dalam beberapa waktu saya juga mendengar teriakan yang disertai tangisan para tahanan lain yang sedang disiksa.

Entah seperti apa penyiksaan yang dilakukan, namun dari suaranya jelas terdengar bahwa para tahanan tersebut mendapatkan kekerasan fisik yang sangat menyakitkan.

Kami berlima hanya bisa diam dan terus berdoa agar jangan sampai perlakuan tersebut menimpa kami.

Proses interogasi pun juga rutin saya jalani saat berada di sana. Dengan memakai penutup kepala, satu-persatu dari kami dituntun untuk masuk ke dalam ruangan interogasi.

Masih sangat terekam jelas di dalam memori saya mengenai proses pertama interogasi. Saya hanya duduk diam di dalam sebuah ruangan dengan keringat yang banyak keluar dari seluruh tubuh. Padahal, di sana telah dinyalakan pendingin udara yang dingin dan sejuk.

Setelah beberapa waktu, pihak SDF menyuruh saya untuk membuka penutup kepala di kepala saya. Saat dibuka, terlihatlah 3 orang pria dewasa berbadan tegap dan gagah.

Satu di antara nya adalah orang Amerika. Dia mengaku hanya seorang militer yang ditugaskan ke Suriah untuk mencari informasi tentang ISIS. Dua orang sisanya adalah seorang penerjemah, dan satu orang tentara SDF.

Sebuah kalimat perkenalan Bahasa Inggris dengan logat Amerika yang kental memulai percakapan di dalam ruangan tersebut.

Mereka mulai menanyakan identitas, asal-usul, dan motif saya mengapa sampai berani ‘hijrah’ ke Suriah. Tak luput, sebuah alat pemindai sidik jari dan retina mata juga disiapkan oleh mereka untuk menyimpan data-data saya. Tentunya hal itu untuk keperluan intelijen.

Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan dengan jelas dan baik. Tanpa ada sedikitpun kata-kata yang mengintimidasi. Saya pun juga menjawabnya dengan jujur, toh saya sudah ingin pulang dan segera bertemu dengan keluarga lagi.

Tiga minggu telah berlalu dan jika perhitungan saya tepat maka bulan Ramadan telah usai. Kami berlima dipindahkan pihak SDF untuk menempati ruangan baru. Sebuah ruangan dengan kapasitas sekitar 50 orang, namun diisi sampai sekitar 100 orang manusia.

Mungkin saya tidak akan menjelaskan secara detil mengenai apa yang terjadi selama berada di penjara, hal-hal pahit dan tidak mengenakkan selama berada di sana.

(Untuk lebih lengkapnya, Insya Allah akan saya tulis kisah hidup saya selama berada di Suriah ke dalam sebuah buku yang saat ini masih dalam proses)

Pengalaman menjalani ibadah puasa dan Hari Raya Idul Fitri di Suriah sangat jauh berbeda dengan yang ada di negara Indonesia. Di Indonesia, tidak ada desingan peluru dan bom yang berjatuhan pagi dan malam, bangunan serta taman-taman yang rusak terkena efek dari ledakan.

So, pergunakanlah waktu yang kalian miliki selama bulan Ramadan, Idul Fitri, maupun bulan-bulan lainnya. Baik itu dengan orang tua, saudara, sahabat, maupun teman.

Perbanyak wawasan dan ber-tabayyun atas datangnya informasi-informasi yang kalian dapatkan. Jangan sampai “disetir” hawa nafsu yang akhirnya menjadi penyesalan di kemudian hari.

Seperti apa yang telah saya alami, karena terbuai oleh janji-janji manis akan kehidupan yang lebih baik hingga membawa saya sampai mendatangi sebuah wilayah yang katanya menerapkan sistem pemerintahan ala zaman Nabi Muhammad.

Tapi ternyata, semua itu hanyalah tipu daya belaka. Karut marut kehidupan di tempat konflik, pahitnya hidup di penjara, kehilangan harta benda hingga anggota keluarga telah saya alami.

Semoga, tidak ada lagi orang-orang yang memiliki pengalaman pahit seperti saya. Dan mudah-mudahan kedamaian bisa tercipta di seluruh penjuru dunia. Amin.

Wassalamu’alaikum.

 

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 H.

Komentar

Tulis Komentar