Kisah Kejujuran dan Kedermawanan dari Kalimantan Selatan

Other

by Arif Budi Setyawan

Ramainya pemberitaan mengenai banjir di Kalimantan Selatan beberapa hari terakhir ini mengingatkan saya akan seorang pejuang di bidang pendidikan dan sosial yang saya temui di sebuah desa di Kalimantan Selatan. Saya mengenalnya karena teman saya menjadi menantunya dan saya sering berkunjung ke rumah teman saya itu. Kebetulan tidak jauh dari tempat tinggal saya selama merantau di Kalimantan Selatan di tahun 2012-2014.


Beliau biasa dipanggil dengan nama Pak Ju. Orangnya sangat sederhana, rajin ibadah, tapi memiliki kebun karet dan sawit puluhan hektar. Di kampungnya beliau dikenal sebagai orang yang sangat dermawan. Kekayaannya tidak terlihat dari penampilan atau mewahnya barang miliknya, tetapi dari banyaknya amal sosial yang dilakukannya.


Kalau ada orang yang meminjam uang untuk makan atau biaya pendidikan anak-anak, beliau tidak pernah menagihnya. Semampunya orang itu bayar. Entah kapan tidak peduli. Bahkan banyak yang diikhlaskan menjadi sedekah. Menurutnya ia hanya menjadi perantara rezeki atau pertolongan Allah SWT kepada orang tersebut. Tapi di situlah mungkin menjadi sebab hartanya menjadi berkah. Buktinya semakin lama semakin meningkat jumlah aset dan infaknya.


Cerita bagaimana akhirnya ia bisa memiliki kebun sawit dan karet puluhan hektar pun berawal dari panggilan jiwa ingin menolong orang-orang yang sedang kesulitan. Saya sangat terinspirasi dari kisah kedermawanan beliau dan bagaimana beliau begitu remeh memandang harta dunia. Ijinkan saya berbagi kisah kejujuran dan kedermawanan beliau.


Pak Ju adalah seorang PNS asal Brebes Jawa Tengah yang pada tahun 80-an ditugaskan di sebuah daerah transmigrasi di Kalimantan Selatan. Di situ ada sebuah Sekolah Dasar (SD) yang baru saja dibuka oleh pemerintah setempat. Dan beliau diangkat sebagai Kepala Sekolah di SD tersebut.


Di awal-awal ia bertugas, murid yang bersekolah masih sangat sedikit. Mayoritas penduduk lokal maupun para transmigran masih kurang mementingkan pendidikan. Alasan utamanya adalah jauhnya tempat belajar dan akses jalan yang kurang memadai. Di samping itu mayoritas transmigran menganggap membantu pekerjaan di kebun itu lebih urgen dan lebih menguntungkan daripada sekolah karena pada saat itu susah merekrut tenaga kerja untuk merintis kebun.


Pak Ju sampai harus turun ke lapangan mendatangi dari rumah ke rumah untuk membujuk orang-orang agar menyekolahkan anak-anaknya. Hingga beberapa tahun kemudian usaha itu mulai menampakkan hasil dengan semakin banyaknya anak-anak yang mau bersekolah. Dan Pak Ju menjadi sangat dikenal di kalangan warga karena kegigihan usahanya itu.


Yang paling heroik adalah Pak Ju sampai membantu membelikan seragam dan alat tulis bagi siswa-siswa yang tidak mampu. Ia menyisihkan sebagian gaji dan insentif yang ia terima dari pemerintah untuk membantu anak-anak tidak mampu agar bisa bersekolah.


Hal itu rupanya membuat warga di kampung yang rata-rata merupakan transmigran itu menganggap Pak Ju adalah sosok yang kaya dan memiliki banyak uang. Akhirnya ketika ada yang kepepet tidak mampu melanjutkan usaha perkebunan dan ingin balik ke kampung halamannya di Jawa, mereka menjual tanah yang mereka dapatkan dari pemerintah untuk dikelola kepada Pak Ju. Karena kasihan Pak Ju kemudian membelinya meskipun sebagian uangnya ia dapatkan dari berhutang ke kerabatnya di Jawa. Mereka itu jualnya sangat murah, karena pada dasarnya hanya menjual hak pengelolaan tanah kebun pemberian pemerintah.


Semakin lama semakin banyak yang menjual tanah semacam itu. Jadilah Pak Ju memliki hak pengelolaan puluhan hektar perkebunan karet dan sawit. Dari hasil perkebunan itu dan dibantu oleh warga sekitar yang mampu Pak Ju berhasil merenovasi gedung sekolah dasar tempatnya mengabdi. Ia adalah satu-satunya kepala sekolah se kabupaten atau mungkin malah se provinsi Kalimantan Selatan yang menolak dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).


Kok menolak dana BOS? Padahal sekolah-sekolah yang lain banyak yang masih berusaha agar bisa mendapatkan dana BOS. Ada kisah heroik dan legendaris di balik penolakan dana BOS itu.


Waktu itu pihak pemerintah kabupaten setempat ‘meminta jatah’ 20% dari dana BOS yang menjadi hak sekolah tersebut, barulah dana BOS itu bisa dicairkan. Pak Ju dengan tegas menolak bantuan yang dipotong seperti itu. Itu sama saja dengan menerima duit haram dan mendukung perilaku korupsi.


“Biar saja sekolah ini roboh atau akan kami perbaiki sendiri dengan swadaya semampu kami daripada menerima duit haram seperti itu”, begitu kata-kata Pak Ju yang paling diingat oleh guru-guru dan didukung penuh oleh komite sekolah.


Kata-kata itu rupanya membuat para wali murid bangga dan menginspirasi banyak orang soal kejujuran. Apalagi selama ini warga di kampung itu telah mengetahui kegigihan perjuangan Pak Ju di bidang pendidikan dan sosial. Akhirnya mereka bergotong royong merenovasi gedung sekolah tersebut sedikit demi sedikit.


Hingga akhirnya beberapa tahun kemudian sekolah tersebut mendapatkan dana BOS tanpa potongan. Semua itu karena kegigihan Pak Ju memegang prinsip kejujuran.


Kejujuran dan contoh kerja nyata yang baik terbukti lebih disukai warga di situ daripada bantuan pemerintah. Ini menurut saya adalah keberhasilan dakwah berbasis perilaku atau akhlak sosial. Pak Ju menjadi sosok yang dicintai masyarakat karena perjuangan dan akhlaknya. Ini sungguh menginspirasi saya, dan semoga bisa menginspirasi bagi yang lain.



Ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar