Rantai Kekerasan: Kapan Mau Putus?

Analisa

by Boaz Simanjuntak

Tidak ada satupun manusia di dunia menyetujui kekerasan adalah bakat yang ada sejak lahir. Memiliki bakat berarti mempunyai kemampuan belajar lebih cepat jika dibandingkan dengan orang lain namun hasilnya lebih baik daripada orang-orang pada umumnya.

Bakat merupakan potensi seseorang yang dimiliki sejak dilahirkan. Walaupun, bakat membutuhkan latihan yang tekun untuk terus berkembang. Manusia lahir tidak pernah dengan unsur kekerasan. Seorang bayi selalu dinanti untuk hadir di dunia, disambut dengan sukacita.

Heran juga dengan manusia yang hidupnya lekat dengan kekerasan. Mesra kok dengan kekerasan? Seperti rantai, sambung-menyambung, kemesraan harusnya yang melekat. Bukan berarti bisa mesra sembarangan loh, mesra dengan kebaikan, mesra dengan perdamaian, mesra juga kan?

Tidak ada yang mau putus jika berhubungan dengan hal-hal yang baik dan damai. Namun, dengan kekerasan, katakan putus lah. Apa sih yang dituju dengan aksi kekerasan selain membuat ketakutan, menambah kebencian dan perubahan fungsi dari korban menjadi pelaku.

Saya tidak setuju jika seseorang terlibat dengan kekerasan lalu dilabeli “memang bakat dari kecil sih”. Pelaku kekerasan seperti teroris pun tidak memiliki bakat terlibat terorisme. Teroris itu perpaduan yang rumit. Sudah memakai hati, pikiran, dan tangan untuk melakukan aksi teror.

Melakukan pendekatan yang sama akan lebih efektif dibanding pendekatan keamanan semata. Metode hati, pikiran, dan tangan untuk putus dari rantai kelompok teror bukan upaya yang mudah. Perlu kerja sama banyak pihak untuk bantu melepaskan individu dari kekerasan.

Teroris yang senang menggunakan agama sebagai “kendaraan” untuk aksinya kerap dihubungkan dengan radikalisme. Kata ‘radikal’ digunakan sebagai indikator sikap penolakan total terhadap seluruh kondisi yang sedang berlangsung. Horace M. Kallen yang menulis tentang “Radicalism” dalam Encyclopedia of the Social Sciences tahun 1972, menjelaskan bahwa radikalisme paling tidak dicirikan oleh tiga kecenderungan umum.

Pertama, radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung, biasanya muncul dalam bentuk penolakan atau bahkan perlawanan. Hal-hal yang menjadi penolakan dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang bertanggungjawab terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak.

Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan yang sudah ada dengan tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu pandangan tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan menurut pandangannya sebagai ganti tatanan lama.

Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa dan dibarengi dengan penolakan kebenaran sistem lain yang akan diganti.

Terorisme identik dengan pembalasan. Rantai kekerasan dalam bentuk balas dendam bisa kita lihat sejak politik imperialis Amerika Serikat dijadikan alasan penyerangan oleh Al Qaeda pada 11 September 2001. Selanjutnya Amerika Serikat membalas untuk menyerang Al Qaeda di Afghanistan.

Penyerangan di markas Al Qaeda berimbas ke Indonesia dengan bom di Kuta, Bali. Bom di Bali berujung dengan eksekusi mati trio pengebom.

Berhentikah teror di Indonesia? Belum.

Setelah eksekusi mati ada lagi pembalasan dengan bom Marriot dan bom kedutaan besar Australia. Dampak pembalasan adalah dengan vonis hukuman mati terhadap Ahmad Hasan dan Iwan Darmawan. hingga kini masih banyak daftar saling balas dalam konteks aksi teror dan anti teror.

Lalu, kapan gelombang kekerasan berakhir? Hanah Arendt dalam “The Origins of Totalitarianism” menjelaskan bahwa jika manusia hidup di bawah pengaruh teror seperti pembalasan, kemarahan, agresi, kekerasan atau ketakutan, maka bisa dipastikan di masa teror tidak ada tempat yang aman.

Pengadilan tidak melindungi manusia karena kontrol meningkat atas nama antiteror. Hak asasi manusia dapat dilanggar atas nama keamanan masyarakat. Jika masyarakat menjadi takut, semua dapat dimungkinkan atas nama “keamanan”, termasuk penyiksaan pun dapat dilakukan dalam nama demokrasi.

Jika kita tidak mau mengupayakan putus dengan rantai kekerasan sekarang, soal balas membalas dengan kekerasan hanya akan tunggu tanggal mainnya saja. Menakutkan bukan?

 

FOTO RUANGOBROL.ID/EKA SETIAWAN

Monumen Chinkon no Hi atau Monumen Ketenangan Jiwa di tepi muara Sungai Banjir Kanal Barat Kota Semarang didirikan untuk menghormati sekira 150 orang Jepang yang tewas pada Peristiwa Pertempuran 5 Hari di Semarang. Keberadaannya juga sebagai pesan bahwa konflik harus dihentikan tak perlu diperpanjang.

Komentar

Tulis Komentar