PPKM dan Juli Kelabu

Other

by Kharis Hadirin

Bulan Juli ini, agaknya akan menjadi bulan paling kelabu bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Pasalnya, selain angka kasus positif covid-19 yang kian merangkak naik tajam, juga tidak lepas adanya kebijakan baru dari pemerintah tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sejak tanggal 3 - 20 Juli yang belakangan diperpanjang.

Pemerintah terpaksa melanjutkan kembali kebijakan itu dengan mengubahnya menjadi PPKM Level 3 & 4 yang berlaku mulai 21-25 Juli sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 22 Tahun 2021.

Imbas diberlakukannya pembatasan kegiatan, jalanan Ibu Kota yang biasa riuh dengan suara klakson kendaraan, mendadak senyap. Mal-mal atau pusat perbelanjaan yang biasa menjadi pusat tujuan kalangan milenial dan kaum modernis, terlihat gelap gulita bak gedung yang dibiarkan terbengkalai. Ekonomi sedang lesu, demikian istilah yang sering digunakan oleh para politisi negeri ini. Banyak perusahan minus keuangan, tak cukup untuk menutupi gaji karyawan. Akibatnya, banyak pegawai terpaksa dirumahkan.

Di jalanan, sesekali terlihat ojek online dan taksi yang nampak lalu-lalang tanpa penumpang atau mobil-mobil ambulan yang sering terlihat hilir mudik di jalanan dengan suara alarm yang memekakkan telinga.

Tidak saja berdampak pada roda ekonomi nasional, aktivitas ibadah berjamaah pun terpaksa harus ditiadakan, diganti dengan ibadah di rumah masing-masing.

Alam seolah telah mengambil alih kuasa atas diri manusia, memaksa mereka untuk bertahan dan tidak keluar layaknya tahanan rumah.

Pada Selasa (20/7) lalu, umat Islam di seluruh dunia sedang merayakan hari raya Idul Adha 1442 H.Seperti yang kita tahu, Idul Adha, seperti halnya lebaran Idul Fitri, merupakan hari raya besar yang sangat dinanti oleh banyak umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Selain sebagai momentum untuk meningkatkan spiritualitas dan keimanan, juga sering digunakan sebagai media untuk merekatkan kembali hubungan silaturahmi antarkerabat dan sanak saudara. Arak-arakan takbir keliling yang menghiasi jalanan kota dan desa-desa. Dan yang paling penting,  Salat Id di tanah lapang secara berjamaah dan bisa menikmati santapan daging kurban tentunya.

Namun, lebaran kali ini terasa cukup berbeda dari lebaran-lebaran sebelumnya. Mungkin ini akan menjadi momen penting dalam catatan sejarah umat manusia. Jika dulu, momen lebaran seperti ini dirayakan dengan penuh suka cita. Seluruh keluarga, rekan, sahabat, sejawat akan berkumpul bersama tanpa pernah sekalipun melewati hidangan daging kurban dengan berbagai olahan yang ada.

Namun kini, gambaran seperti itu tak akan pernah lagi sama. Perayaan mewah yang biasa terjadi di setiap rumah-rumah, perlahan redup dan berlalu seperti hari-hari biasa. Dan entah jenis perayaan seperti apa yang hendak kita lakukan, sementara di saat yang sama banyak orang-orang terkasih yang telah pergi meninggalkan sanak keluarga?

Semua terjadi akibat wabah pandemi yang menyeret umat manusia pada titik terendah. Alam benar-benar telah berkuasa dan menjadikan manusia sebagai makhluk yang lemah dan tak berdaya.

Kematian demi kematian seolah menjadi berita lumrah dan sangat biasa. Tidak ada lagi kelas ataupun kasta, wabah datang dan menjangkiti siapapun tanpa memandang jenis gender.

Hari Minggu (11/7) lalu, datang telpon dari keluarga di Lamongan. Empat panggilan tak terjawab. Hal seperti ini, tentu tak biasa terjadi. Sampai panggilan kelima terjawab, suara seorang perempuan dengan nada berat menyahut, “Ris, tolong kamu ikhlaskan! Pakdemu sudah meninggal.

Mendengar berita itu, saya hanya terdiam. Sejenak kemudian yang muncul hanyalah ingatan, tentang suasana desa, wajah orang tua, kasih sayang, perhatian, hingga janji-janji temu yang telah lama direncanakan.

Belum juga kering luka itu, kabar duka kembali datang. Hanya berselang sehari saja, pada Senin (12/7) malam sebuah berita duka kembali datang.

Innalillahi wa innalillahi rojiun. Hakiim telah dipanggil oleh Alloh karena serangan jantung,” demikian pesan singkat yang muncul melalui WAG Ruangobrol.id.

Lalu, pada Selasa (20/7) pagi saat hendak berberes, tiba-tiba salah satu keluarga datang ke rumah dan memberikan kabar, “Bang, Cing Ob meninggal.Innalillahi wainna ilaihi raji’un, saat harusnya keluarga bisa merayakan hari besar Idul Adha, justru kabar duka yang datang. Bukannya kebahagiaan yang muncul, sebaliknya malah berubah menjadi tangis pilu.

Baik Pakde, Mas Hakiim, maupun Cing Ob, hanyalah tiga dari sekian banyak berita duka yang hilir mudik mengisi beranda story media sosial kita. Entah mereka yang meninggal akibat terpapar wabah virus corona atau bukan.

Tragedi kematian ini tentu harusnya membuat kita untuk lebih mensyukuri kehidupan yang tersisa dan membuatnya menjadi lebih bermakna. Bukan justru menjadikan diri sebagai pribadi yang jumawa, gagah, dan merasa seolah malaikat maut segan untuk mencabut nyawa kita.

Kematian tersebut seolah hendak meledek umat manusia bahwa kita memang benar-benar tidak memiliki daya dan kuasa. Sebagaimana firman-Nya dalam surat An Nahl ayat 61, “Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.

Tentu, tak satupun dapat menduga kapan kematian akan tiba. Pakde yang dua minggu sebelumnya sempat bercerita bahwa dirinya berencana hendak ke Madura. Mas Hakiim, yang tepat satu jam sebelumnya sempat menelpon dan mengabarkan bahwa dirinya baik-baik saja dan sedang menikmati makan malamnya. Dan Cing Ob yang sempat bercanda dengan suaminya yang tetap memaksa untuk salat Idul Adha sendiri di masjid di tengah larangan pemerintah tepat 30 menit sebelum kematiannya.

 

Komentar

Tulis Komentar