Korupsi yang Merusak Cinta

Other

by Arif Budi Setyawan

Kita sudah sering mendengar dan membaca hasil survei tentang tingkat keterpaparan seseorang oleh pemikiran yang menjurus pada radikalisme. Radikalisme dalam hal ini -menurut makna yang disepakati oleh negara-. dikategorikan sebagai seseorang yang menganggap adanya ‘sistem lain’ yang lebih baik dari Pancasila dan UUD 1945. Itu seringkali dianggap termasuk radikal atau setidaknya memiliki potensi jadi radikal.


Padahal boleh jadi orang tersebut mempunyai anggapan seperti itu karena melihat bukti bahwa Pancasila dan UUD 1945 tidak mampu mencegah seseorang untuk korupsi dan menyalahgunakan jabatan. Seandainya negara Indonesia ini adil makmur sejahtera sentosa, mungkin akan sangat sedikit orang yang berpikir untuk mencari ‘jalan alternatif’ berbangsa dan bernegara.


Orang-orang yang memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa Indonesia akan memiliki kesempatan dan peluang sangat bagus untuk mempengaruhi masyarakat Indonesia ketika masyarakat kecewa dengan kondisi yang ada akibat adanya kesalahan dalam mengurus bangsa dan negara.


Orang yang kecewa itu selalu akan mencoba mencari alternatif. Itu sudah hukum alam. Orang yang sedang pacaran dan kecewa dengan pacar yang selingkuh pasti akan membuka peluang untuk cari pacar yang baru. Kecewa dengan pelayanan sebuah toko atau sebuah produk akan membuat seseorang mencari toko dan produk lain. Jika ingin orang mencintai toko kita atau produk kita ya jangan sampai mengecewakan pelanggan.


Begitu juga dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak ingin anak bangsa mencari jalan alternatif dalam berbangsa dan bernegara, maka jangan kecewakan mereka. Kita tidak bisa sepenuhnya hanya menyalahkan orang-orang yang menawarkan jalan alternatif itu, tetapi pada saat yang sama yang kita pertontonkan kepada rakyat Indonesia adalah budaya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan. Atau pada saat yang sama kita membiarkan kemiskinan dan kebobrokan mental anak bangsa semakin berlarut-larut.


Saya pribadi heran mengapa saya tidak pernah menjumpai sebuah lembaga riset yang meneliti potensi seseorang untuk melakukan kebohongan yang merupakan saudara dari korupsi? Yang ada adalah survei seputar radikalisme, kepuasan publik, kecenderungan politik, dan sebagainya.


Padahal virus perilaku korup dan kebohongan itu sangat berbahaya dan kecenderungan itu bisa jadi sudah muncul sejak anak-anak. Anak-anak sekolah yang suka datang terlambat tanpa alasan yang jelas atau yang suka membolos tanpa alasan adalah contoh perilaku korup. Korupsi kewajiban atau tugas seorang anak sekolah. Anak-anak sekolah yang suka mencontek ketika ujian adalah contoh nyata mereka suka berbuat curang.


Bayangkan jika anak-anak ini nantinya menjadi pejabat atau pemimpin bangsa. Apa nggak semakin hancur negeri kita?


Perilaku korup itu sangat merugikan kehidupan orang banyak. Sebagai contoh misalnya korupsi pada proyek pembangunan jalan raya yang kemudian menyebabkan kualitas jalannya jelek. Tak lama kemudian sudah banyak berlubang dan menyebabkan terjadinya kecelakaan yang tak jarang merenggut korban jiwa. Dan korban jiwa karena kecelakaan yang diakibatkan oleh infrastruktur yang kurang memadai ini saya yakin jumlahnya jauh lebih banyak dari korban aksi terorisme.


Kalau menjadi korban aksi terorisme bisa mendapat kompensasi dari negara berdasarkan undang-undang yang baru. Tapi bagaimana dengan korban kecelakaan akibat buruknya infrastruktur karena budaya korupsi dan kecurangan itu?


Bahaya korupsi benar-benar merusak cinta. Cinta tanah air dan bangsa hancur karena korupsi. Cinta terhadap sesama juga hancur karena korupsi. Apakah orang yang tega untuk korupsi dana yang seharusnya menjadi hak masyarakat banyak itu layak menyebut dirinya mencintai sesamanya?



SUMBER ILUSTRASI: Pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar