Rurouni Kenshin: The Final dan Doktrin Terorisme

Other

by Kharis Hadirin

Bagi pecinta anime Jepang, pasti tidak asing dengan sosok Kenshin dalam serial film Rurouni Kenshin. Film aksi serial asal Negeri Sakura ini diadaptasi ulang secara epic dari serial anime berjudul Samurai X. Di Indonesia, serial Samurai X sendiri pernah masuk dalam jajaran anime yang cukup hits bagi generasi tahun 90-an. Selain karakter tokoh utama yang kuat, alur cerita yang disajikan juga cukup menarik.

Pada 23 April 2021 kemarin, Netflix kembali merilis lanjutan serial laga terbaru dari Samurai X berjudul Rurouni Kenshin: The Final yang digarap oleh rumah produksi asal Amerika, Warner Bros. Setelah film-film sebelumnya sukses di pasaran, kali ini dalam film Rurouni Kenshin juga membawakan cerita dan aksi pertarungan yang tidak kalah seru dan menegangkan. Bahkan IMDb (Internet Movie Database), situs web yang menyediakan informasi tentang film dari seluruh dunia sampai memberikan rating 7,3 dari 10 untuk film ini.

Film Rurouni Kenshin: The Final sendiri bercerita tentang sosok Kenshin Himura yang berjuluk Battousai atau “Sang Pembantai” dan diperankan oleh aktor Jepang, Takeru Satoh. Battousai yang dikenal sebagai pembantai, akhirnya memilih hidup mengembara tanpa arah. Ini merupakan bentuk penebusan dosa atas berbagai kejahatan yang pernah dilakukannya di masa silam. Sosoknya yang hidup bak legenda samurai, memutuskan berjanji tak akan pernah lagi menggunakan pedangnya yang telah membunuh ratusan nyawa.

Namun siapa sangka, di tengah pengembaraannya yang tak berujung, ia harus dihadapkan dengan berbagai rintangan. Terutama dari orang-orang yang ingin menuntut balas atas kematian keluarga, rekan, dan kerabat yang terbunuh akibat tebasan pedang miliknya.
Kenshin dan Fenomena di Kelompok Terorisme

Cerita dalam film sendiri bermula pada setting tahun 1879, dimana Jepang pada saat itu mulai menata diri menuju zaman baru melalui sistem kekaisaran Soghun yang berpusat di Tokyo setelah berhasil menyatukan berbagai organisasi. Meski Jepang sedang menuju fase kemajuan, faktanya masih banyak kelompok yang belum siap dengan perubahan dan memilih jalan pemberontakan.

Sampai suatu ketika, Kota Yokohama yang tadinya tenang nan damai dan berada di bawah kendali kekaisaran Jepang, tiba-tiba bergumuruh akibat hantaman peluru-peluru mortar yang ditembakkan dari atas perbukitan. Korban pun bergelimpangan di pinggir-pinggir jalan. Rumah, restoran, dan fasilitas publik lainnya hancur berantakan. Kobaran api menyalak hebat di tengah pusat kota dimana kontruksi bangunan umumnya dibuat dari bahan kayu.

Battousai yang saat kejadian berada di pusat kota, bersama kepolisian setempat segera menyisir lokasi yang diduga sebagai tempat asal ditembakkannya peluru-peluru mortar tersebut. Namun setibanya disana, kondisinya sudah kosong. Tidak ada siapaun, kecuali hanya menemukan secarik kain putih yang seolah sengaja ditinggalkan para pelaku sebagai pesan. Di atas secarik kain putih tersebut, tertulis sebuah pesan dengan tinta merah menyala, “Penghakiman Manusia”.

Lalu pada scene ini, terjadi sebuah dialog yang cukup menarik. Seorang Kapol (Kepala Kepolisian) Soghun bertanya kepada Battousai, “Kenapa ‘Penghakiman Manusia’? Biasanya ‘Penghakiman Langit’. Apa mereka tidak tahu itu?

Lalu dijawab oleh Battousai, “Bukan! Seseorang sepertinya sedang melakukan penghakiman menggantikan Langit (Tuhan). Kurasa maksudnya adalah jika Langit tak menghakimi, maka mereka akan melakukannya. Mereka menjustifikasi pembunuhan dengan cara itu (Penghakiman Manusia)”.

Jadi ini artinya?” tanya Kapol.

Kurasa maksudnya adalah jika Langit tak menghakimi, mereka akan melakukannya (sebagai justifikasi untuk melakukan eksekusi),” tegas Battousai.

Ketika menonton film ini, nampak seperti pemikiran yang digunakan kelompok Jihadis. Dialog yang muncul dalam film Rurouri Kenshin: The Final tentang konsep ‘Penghakiman Manusia’, itu juga terjadi pada kelompok yang selama ini gemar menarasikan jihad fii sabilillah dalam bentuk perang, terutama pada kelompok Takfiri.

Kelompok Takfiri, yaitu mereka yang gemar mengkafirkan sana-sini bagi siapapun yang dianggap tidak sepemikiran. Mereka selalu mengklaim diri sebagai ‘Anshoruddien’ atau Para Penolong Agama dan menyematkan label ‘Anshorut Thoghut’ atau Para Penolong Thoghut bagi mereka yang berlawanan arah.

Lalu, mereka menggunakan justifikasi agama secara membabi-buta sebagai pembenar atas semua tindakannya, termasuk jika harus menghilangkan nyawa. Bagi mereka, itu adalah hukuman bagi siapapun yang dianggap ‘menentang’ perintah Tuhan.

Kita bisa ambil contoh bagaimana perilaku kelompok ISIS di Suriah. Berbekal beberapa potongan ayat, lalu mereka membunuh orang-orang sesuka hatinya sambil teriak, “Ini adalah perintah Tuhan untuk menghukum manusia yang ingkar”. Seolah-olah Tuhan telah berbicara padanya secara langsung, lalu dengan mudahnya membunuh seraya menunjuk diri sebagai Jundullah (Tentara Allah).

Atau kasus lain seperti pengeboman yang terjadi di depan Gereja Katedral Makassar, Minggu (28/3) lalu. Seperti diketahui, pelakunya merupakan pasangan suami-istri, Muhammad Lukman Al Farizi (25) dan Yogi Safitri Fortuna alias Dewi Juwariya (22), dimana keduanya meledakkan diri sebagai martir jihad. Entah apa maksudnya, hingga menggiring keduanya untuk nekat melakukan aksi bunuh diri seolah sedang hidup dalam zona perang.

Lebih memilukannya lagi, seringkali ditemukan narasi “Jika bukan kami yang memulai, lalu siapa lagi?”. Doktrin seperti ini seolah ingin menunjukkan bahwa kondisi sekarang sedang tidak baik-baik saja, sehingga perlu adanya orang-orang yang harus merelakan diri sebagai martir. Jika tidak, maka dunia akan hancur.
Konsep ‘Penghakiman’ dalam kelompok teror

Gairah sebagai polisi moral seperti ini memang tak ubahnya seperti toxic. Orang menjadi begitu mudah melakukan berbagai aksi teror dengan mendompleng agama sebagai justifikasi seolah apa yang dilakukannya adalah benar dan berasal dari titah Tuhan. Hanya karena dianggap ‘berbeda’, orang begitu mudah menyakiti yang lain dan mengabaikan prinsip kemanusiaan itu sendiri.

Seperti halnya dalam kelompok Takfiri, mereka menyebut seseorang telah kafir dan murtad karena melakukan sesuatu yang dianggap tidak sesuai dalam pandangannya. Bahkan keluarga dan orang tuanya sendiri terkadang tidak luput dari label tersebut. Dan ketika melakukan aksi teror, mereka meyakininya sebagai perintah Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan ‘meminjam’ tangan-tangan mereka untuk menghukum manusia yang dipandang berdosa.

Seperti itulah doktrin yang digunakan oleh kelompok-kelompok teror baik yang terjadi di Indonesia maupun seluruh dunia yang tertuang dalam dialog singkat di film Rurouni Kenshin: The Final. Dan tentu, jika boleh berandai, ingin rasanya negeri ini bisa memiliki Kenshin-Kenshin lain yang selalu berada di tengah masyarakat untuk melindungi diri dari berbagai aksi teror. Sayang sekali, cerita seperti itu hanya terjadi dalam kisah fiksi belaka!

Komentar

Tulis Komentar